*Oleh: Yogi Dwi Pradana
Seorang perempuan sedang duduk di atas batu yang terbelah separo. Kakinya menggantung di atas pasir putih dan ombak yang ingin membasuh. Tubuhnya menghadap ke selatan, menunggu pagi datang. Ia teringat cerita Nenek tentang kelahiran seorang bayi di pinggir laut. Nenek mengatakan bahwa kelahiran bayi tersebut tepat tengah malam dan ombak sedang pasang. Seorang perempuan yang lahir pada tengah malam akan menjadi seorang yang pemberani. Terlebih ketika ada ombak yang sedang pasang, perempuan tersebut akan menjadi orang yang berjiwa besar.
Nama perempuan itu Rona. Asal-usul pemberian nama tersebut karena langit malam ketika ia dilahirkan sangat indah dan mampu menghipnotis mata perempuan yang mengandung selama sembilan bulan itu. Nenek bisa bercerita panjang lebar mengenai asal usul Rona karena ia tahu betul siapa Ibunya dan siapa Rona. Saat peristiwa lahirnya Rona, di pinggir laut hanya ada Nenek dan Ibunya. Namun, ketika Rona bertanya siapa Ibunya, Nenek tak pernah jujur. Rona juga belum pernah melihat ayah biologisnya sama sekali. Nenek hanya berkata kepada Rona, bahwa Rona adalah anak dari laut.
***
Tempat tinggal Rona tak begitu dekat dengan jarak laut. Ia hanya tinggal berdua dengan Nenek. Rona sudah tumbuh menjadi seorang perempuan yang dewasa, cerdas, dan terampil. Sudah beberapa kali Rona menolak pinangan laki-laki yang ada di desanya maupun dari luar desa. Rona selalu berdalih ingin menemukan siapa ayah dan ibunya terlebih dahulu. Rona tak ingin tak punya wali nikah ketika menikah nanti.
“Nek, Rona pergi ke laut dulu, ya,” ucap Rona.
“Sebentar, Cu. Nenek titip sesuatu,” jawab Nenek.
“Baik, Nek,” ucap Rona.
Nenek datang dari bilik kamar dengan membawa kotak. Kotak yang warnanya sudah coklat, kotor, dan tak enak dipandang diberikan kepada perempuan itu. Rona bingung dengan isi kotak tersebut, ia menduga-duga dalam hati apa isi dari kotak tersebut.
“Jangan dibuka ya, Cu. Nanti larung kotak itu di laut dari arah dekat batu terbelah separo,” pinta Nenek.
“Baik, Nek,” jawab Rona.
***
Teripang, bintang laut, udang, kepiting, dan cacing laut sedang menghangatkan suhu tubuh mereka. Matahari ingin menyapa hewan laut yang tinggal di litoral. Matahari memelihara hewan laut tersebut dengan baik, matahari memberi makan hewan-hewan tersebut dengan sinarnya. Kehidupan di bawah laut selalu menjadi hal yang menyenangkan untuk matahari.
Matahari mengenal akrab hewan-hewan laut. Daerah-daerahnya pun matahari sudah sangat hafal. Matahari yang baru saja terbangun dari tidurnya juga tak lupa merengkuh plankton, nekton, neston, dan bentos dengan tangannya. Mereka ini adalah penghuni neritik. Kedalaman 200 meter tak menjadi masalah untuk mengulurkan sinar matahari.
***
Di laut ini tak ada perbedaan antara siang dan malam—laut sedang sepi. Lumba-lumba sedang senang-senangnya menampakkan diri dan bermain bersama sekawanannya. Hampir tak ada pengunjung setiap harinya. Covid-19 melumpuhkan ekonomi warga pesisir laut. Mereka tak punya penghasilan yang pasti. Kapal-kapal nelayan juga teronggok di pinggir laut. Hanya ada satu dua nelayan tangguh yang menaklukkan ombak dan datang dari arah selatan ke pesisir.
Keberhasilan Rona menembus portal pintu masuk laut karena ia kenal baik dengan penjaga. Penjaga tahu betul bahwa setiap hari Rona selalu datang ke laut hanya untuk memandang air. Karena tak ada pengunjung yang datang di laut, warga sekitar juga malas untuk menjaga kebersihan sekitar laut. Sampah plastik, ranting-ranting pohon, daun, dan kertas berserakan di atas pasir putih.
Sebagian besar dari penduduk pesisir laut memilih untuk tinggal di rumah dengan menyaksikan siaran berita di televisi. Mereka menakut-nakuti diri mereka sendiri dengan melihat pemberitaan tentang Covid-19. Wabah yang kian merebak menyebabkan mereka penduduk pesisir laut tak ingin meninggalkan rumah berlama-lama, lebih baik mereka mengikuti perkembangan Covid-19 daripada harus membersihkan sekitar laut. Ditambah ketakutan yang mereka ciptakan sendiri dengan melihat pemberitaan tentang tsunami yang terjadi karena gerhana bulan. Ketakutan semakin merusak jiwa penduduk sekitar laut. Namun, mereka tak segera beranjak untuk melakukan kegiatan lain dengan dalih Covid-19 dan berita-berita yang menakutkan.
***
Rona duduk di atas batu terbelah separo. Kotak titipan nenek masih ada di genggaman tangannya. Rona penasaran dengan isi kotak yang diberikan Nenek. Hati Rona memberontak ingin membuka isi kotak tersebut, tapi ia takut melanggar kepercayaan Nenek padanya. Selama ini ia sangat patuh kepada Nenek, tak pernah membangkang. Karena ia tahu betul cara berterima kasih yang baik dan benar kepada Nenek yang telah membesarkannya.
Rona melihat sebuah kapal yang ada di depan gulungan ombak sedang menuju pesisir laut. Ia memerhatikan dengan seksama kapal tersebut. Rona menggerak-gerakkan jari kakinya ke permukaan air laut. Ikan-ikan kecil menyambar dan menggelitiki jari-jari kaki Rona. Ikan-ikan kecil lapar. Di tengah laut tak ada makanan. Mereka pergi ke pinggir laut untuk meminta belas kasih manusia.
Rona melihat ikan-ikan kecil yang menggelitiki kakinya, merasa kasihan. Rona membuka kotak yang ada di genggamannya. Untung saja Rona menemukan sepotong roti kecil. Ia lalu melemparkan sepotong roti itu kepada ikan-ikan kecil yang kelaparan. Ikan-ikan kecil berebutan untuk menikmati roti pemberian Rona.
***
“Sedang apa kau di sini, Nak?” tanya Kakek Nelayan yang baru saja mendarat di pesisir laut.
“Memandang air laut, Kek,” jawab Rona.
Nelayan tersebut mengikatkan kapalnya di sebuah tiang kayu yang sudah dikubur di pesisir laut. Ia mengikatkan dengan kencang agar kapalnya bisa terparkir dengan baik. Nelayan itu mengeluarkan isi yang ada di kapalnya. Ada beberapa ikan yang berhasil ia tangkap. Jaring yang berisi ikan tersebut ia sampirkan pada cadik kiri kapal. Ia lantas mengeluarkan sesuatu dari kapalnya. Nampaknya yang ia keluarkan adalah sampah.
Rona berjalan mendekat ke arah kapal nelayan. Ia menggenggam erat kotak titipan Nenek. Dan ia semakin dekat dengan kapal nelayan tersebut. Ada bau menyengat ketika ia semakin dekat.
“Kok baunya seperti ini, Kek?” tanya Rona.
“Lihat kemari!” seru Kakek Nelayan.
Rona berjalan mendekat ke kapal dan ia melihat seisi kapal milik nelayan. Rona menutup hidungnya menggunakan tangan kanan yang masih memegang kotak titipan Nenek. Hidung Rona masih saja bisa ditembus oleh bau tak sedap dari dalam kapal. Di dalam kapal ada bangkai ikan yang jumlahnya lumayan banyak dan sampah-sampah yang membusuk.
“Kotak apa itu?” tanya Kakek Nelayan. “Kotak titipan Nenek,” Rona berjalan mundur mulai menjauhi kapal nelayan.
***
Rona meninggalkan kapal nelayan karena tak kuat mencium baunya. Ia kembali duduk di atas batu terbelah separo. Memandang laut dan mungkin ini waktu yang tepat untuk melarung kotak tersebut. Tiba-tiba ada yang menahan tangan Rona. Rona memalingkan wajahnya ke belakang.
“Ada apa, Kek?” tanya Rona.
“Tunggu, jangan kau larung dulu kotak itu. Ikut denganku sekarang,” pinta Kakek Nelayan.
Kakek berjalan menggandeng tangan Rona menuju sebuah tempat yang masih di sekitar pesisir laut. Di tempat yang Rona dan Kakek Nelayan kunjungi ini ada sebuah pohon kelapa yang tinggi. Kakek meminta Rona untuk menunggu di bawah pohon kelapa tersebut. Dan Kakek Nelayan berjalan memunggungi Rona ke arah balik kelapa yang tinggi. Di sana ada semak belukar hijau yang tingginya 1,5 meter. Kakek masuk ke dalam semak belukar tersebut.
Kakek Nelayan muncul dengan membawa sesuatu di tangan kanan dan kirinya. Di tangan kanan Kakek membawa 3 kotak dan di tangan kiri Kakek membawa 2 kotak. Kakek berjalan menuju tempat Rona.
“Lihat, kotak yang kita punya sama,” ucap Kakek.
“Iya, Kek,” jawab Rona penasaran.
“Dari mana kamu punya kotak itu?” tanya Kakek.
“Dari Nenek,” jawab Rona.
***
Nenek datang ke laut untuk mencari Rona. Tak biasanya ia pergi hingga lama sekali. Nenek berjalan dengan lemah ke arah batu yang terbelah separo tempat biasa Rona memandang laut. Namun, Nenek tak menemukan Rona di sana.
“Nenek!” teriak Rona.
“Rona, kamu di mana?” Nenek bingung mencari Rona.
Tiba-tiba Rona datang dari arah belakang Nenek. Rona tak datang sendirian, di belakangnya ada Kakek Nelayan.
“Rona, kemari, jangan dekati dia. Dia orang jahat,” seru Nenek.
“Aku sudah mendengar semua cerita darinya, Nek,” jawab Rona.
“Kau masih sama saja seperti dulu, Nila,” ucap Kakek Nelayan.
Kakek Nelayan tak pernah muncul di pesisir laut karena ia sibuk membersihkan sampah yang ada di laut. Ia mencoba mengatur ekosistem laut agar kembali normal. Kakek Nelayan pergi bukan karena ia seorang pengecut, tapi ia pergi karena tanggung jawab kepada laut yang telah membantu melahirkan anaknya dengan menyediakan tempat.
Yogi Dwi Pradana. Lahir tahun 2001. Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta. Aktif di Komunitas Lampu Tidur. Menulis cerpen, puisi, dan esai. Karyanya telah tersebar di berbagai media. Bisa disapa melalui Email yogidp91@gmail.com dan akun Instagram @yogidwipradana.
Ilustrasi: Muhammad Dzaky Samsul Anwar