Percaya atau tidak, saat ini aku berada pada ketinggian 100 meter. Menelantangkan tangan seolah membayangkan bahwa aku adalah seekor anak burung yang tengah atau hendak belajar terbang. Menerawang ke langit, sama sekali tak ada yang tampak. Hanya kelam, hitam, suram. Gejolak hati ini juga tak kalah kacau. Gelisah, galau, atau apalah bahasa yang populer saat ini. Tadi sore, saat menonton TV, aku melihat berita tentang seorang gadis berusia 14 tahun yang juga melakukan aksi yang hampir sama dengan yang aku lakukan saat ini. Gadis kecil itu tersesat, dengan niat mencari sanak saudara, sehingga ia terlantar dan tak ada yang mempedulikannya. Namun dia membatalkan niatnya, karena orang-orang berhasil membujuknya untuk membatalkan niat gila ini. Saat pertama melihat berita itu, bertanya aku dalam kesunyian. Kenapa memilih ingin mengakhiri hidup hanya karena tersesat di Ibu Kota? Kenapa tak membiarkan diri terlontan-lonta, kelaparan, hingga akhirnya mati juga kan? Kemudian aku menganggap bahwa akulah yang lebih pantas melakukan aksi ini. Berteriak lantang memaki Tuhan mungkin, memaki kehidupan yang gila ini, memaki diri sendiri juga boleh. Sekarang aku sangat sepakat apa yang dikatan oleh Soe Hok Gie, orang yang paling beruntung adalah yang tidak pernah dilahirkan, yang kedua, dilahirkan dan mati muda, yang paling rugi adalah orang yang hidup lama dan mati tua. Aku sudah tidak menjadi orang yang beruntung menurut Gie, tapi aku ingin menjadi orang yang kedua beruntung. Tapi ada yang aneh malam ini, mana manusia-manusia yang dipilih Tuhan untuk menyaksikan kematianku? Kenapa tidak ada satupun manusia di bawah sana? Kemana mereka? Aku tidak mau mati dengan kesendirian. Aku sudah hidup dengan kesendirian. Kenapa mati juga harus sendiri? Ah gila!
***
“Kak, aku lapar.” Nina Adikku, membangunkanku saat tengah terlelap tidur. Dengan rasa letih dan penat yang tiada tara, aku mencoba membuka mata ini. Ku pandangi wajah Nina yang pucat pasi. Ingin menagis rasanya melihat wajah yang dulu terlihat lucu itu. Namun kini wajah itu harus menanggung beban yang menyiksa batin. Sehingga lambat laun wajah yang lucu itu harus tampak seperti lebih tua dari usianya.
“Kamu belum makan Nin?” tanyaku balik.
“Belum kak.”
“:Ya sudah. Kamu tunggu sebentar. Kakak belikan makan ya.” Kutinggalkan Nina dengan kesendirian dan kegetirannya. Satu yang tak pernah bisa aku mengerti tentang hidup ini, kenapa segala hal begitu cepat berubah. Bahkan dengan segala kesiapan yang telah dimatangkanpun, belum cukup untuk menjadikan diri kita dapat menerima dan mengahadapi masalah itu dengan sikap yang bijak. Nina adalah korban. Begitu juga aku. Kami adalah korban dari keadaan yang berubah dalam waktu yang relatif singkat. Seolah baru kemarin kami bercanda ria, menertawakan hal yang dialami oleh orang lain. Terkait apapun itu. Tapi kini mungkin nasib kami lah yang tengah ditertawakan oleh orang lain. Atau mungkin, mereka tidak tertawa, tapi menangis melihat nasibku yang tragis. Tentu saja banyak hal yang membuat semua orang bebas bersikap melihat keadaanku saat ini. Mungkin ada yang berpandang perlu untuk mengasihaniku, tapi dirasa sangatlah kecil kemungkinannya. Apa yang bisa dikasihani atas setiap tindak kejahatan moral? Apa yang bisa dikasihani atas tindakan meraup uang rakyat, ditengah gejolak masalah kemiskinan yang menjerit bangsa ini? Apa juga yang bisa dikasihani atas tindakan pelecehan seksual? Rasanya lengkap sudah. Bahkan aku sendiri tidak bisa menerima itu semua. Begitu juga dengan Ibuku. Bahkan Ibuku, harus rela mengakhiri hidupnya sendiri demi meminta pertanggungjawaban Sang pemberi takdir. Begitulah Ibuku berucap. Dalam surat yang ia tinggalkan untuk aku dan Nina.
“Kalian harus mengerti kenapa Ibu melakukan ini. Bukannya Ibu tidak sayang kepada kalian. Bukan juga Ibu bosan merawat kalian. Hanya saja ini merupakan beban yang sungguh tak sanggup Ibu memikulnya. Ibu tidak tahu lagi harus bagaimana. Hingga dalam perenungan yang memakan waktu singkat, Ibu merasa harus bertindak Anakku, Ibu ingin menemui Tuhan. Ibu ingin menagih janjinya yang bilang bahwa Ia tidak akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya melebihi batas kemampuan dari hamba tersebut. Tidak lebih. Hanya itu yang ingin Ibu cari saat ini. Setelah itu ibu akan pulang. Kembali menemui kalian berdua. Merawat kalian sepert biasa dengan membawa bekal yang akan diberikan Tuhan. Tunggu lah Ibu sayang. Bersabarlah. Namun dalam penantian yang Ibu juga tidak tahu seberapa lama itu, Ibu ingin meminta satu hal kepada kalian berdua. Jangan membenci Ibu, juga Ayahmu. Kami tidak lebih dari dua orang manusia yang harus memikul takdir yang telah ditetapkan Tuhan. Jika kalian ingin marah, marahlah kepada Tuhan. Bencilah Tuhan. Dialah sutradara dari sandiwara yang tengah kita lakoni ini. Mintalah pertanggungjawaban-Nya. Seperti halnya yang Ibu lakukan ini. Pasir di pantai itu tentulah putih. Yang menyebabkan tampak bercak diantaranya adalah kerikil. Kalian, Ibu, dan juga Ayah tentulah suci. Yang menyebabkan noda adalah dosa, dan mereka yang yang memberi patokan tentang noda yang berdosa.”
Harus bagaimana aku gambarkan saat-saat dimana aku membaca secarik kertas bertulis tangan, dengan beberapa tetes air mata Ibuku yang menambah ngeri hati ini. Sementara disampingku, tergantung mayat Ibuku yang sudah membeku. Adakah yang bisa memahamiku? Atau sekedar bersimpati sajapun tidak apa-apa.
Pada Nina, aku katakan akan pergi membelikannya makanan untuk mengganjal perut yang memang sudah sejak kemarin tak terisi. Aku tidaklah bohong, sekarang makanannya sudah ada. Dengan kalung emas beberapa gram yang dulu Ibuku beli dengan harga jutaan rupiah. Kemudian aku tukar saja dengan sebungkus nasi, lengkap dengan lauknya yang termewah. Dengan beberapa tetes air mata yang mulai menetes, tampak olehku raut wajah si penjual nasi yang riang gembira. Bahkan saking gembiranya, tak sempat pula ia tanyakan kenapa harus menukarkan kalung itu dengan sebungkus nasi. Inikah gambaran wajah sekelompok manusia yang menghakimi kami? Yang setiap harinya meneriakkan tuntutan, “Hukum mati KORUPTOR dan sita semua asetnya!!!!” .
Setelah mendapatkan sebungkus nasi untuk Nina, aku tidak langsung pulang. Entah kenapa langkah kaki ini tak kuat rasanya untuk menuju ke Nina. Seolah aku dan Nina itu dua kutub magnet yang sama, sehingga ingin selalu saling menjauhi. Seperti yang telah aku katakan tadi, aku berada pada ketinggian 100 meter, pada sebuah bangunan tua tak berpenghuni dipinggiran kota. Sejak kecil aku dan Nina selalu dididik menjadi anak yang baik-baik. Kami keluarga yang patuh dan taat pada Agama. Nilai-nilai budi luhur selalu ditanamkan sedari kecil dulu. Ayah dan Ibuku adalah tipe orang tua yang paling sempurna di mataku. Mereka panutanku. Tak sedikitpun nasihat mereka yang aku bantah. Kalian harus tahu, aku dan Nina juga tidak pernah membuat masalah. Bahkan pada masa dimana semua orang ingin mencari perhatian dengan kenakalannya. Tapi aku dan Nina, sudah mendapatkan perhatian yang lebih dari cukup. Maka tak perlulah untuk berbuat yang tidak-tidak. Nina patuh pada aku, Ibu, dan Ayahku. Aku patuh pada Ibu dan Ayahku. Ibuku patuh pada Ayahku. Sementara Ayahku patuh pada rasa sayangnya pada kami semua. tidak ada yang salah dengan keluarga kami selama ini. Oleh sebab itu, aku akan tetap mematuhi nasihat Ibuku. Aku marah kepada Tuhan, aku ingin Tuhan bertanggung jawab sepenuhnya.
Tapi sebelum itu, wajib bagiku untuk meninggalkan pesan kepada Nina. Akan kutinggalkan beberapa nasihat untuk ia patuhi. Aku yakin Nina akan mematuhi nasihatku. Sangat yakin sekali. Belum pernah Nina itu membantah setiap kata-kataku selama ini. Kemudian kuletakkan di samping nasi bungkus yang aku belikan untuknya tadi. Selamat tinggal wahai kalian para pembaca, selamat tinggal wahai kalian para penegak keadilan dimuka bumi, dan selamat tinggal wahai kalian yang selalu meneriaki kami seperti meneriaki sampah. Selamat tinggal Nina.
“Nina Adikku. Ninaku yang lucu. Ninaku yang manis dan cantik. Tidak ada kata yang pantas untuk kakak katakan saat ini, selain memujimu sayang. Boleh kakak tebak? Pasti saat ini Nina sedang duduk di bawah pohon beringin di depan rumah kita. Betul tidak? hayo, jangan bohong. Kamu tidak bisa bohong pada kakak. Kan di situ tempat kamu selalu menyendiri jika sedang sedih, marah, kecewa, atau merajuk. Tolong dong, ukir nama kakak dipohon itu. Tepat di bawah nama Nina. Setelah itu nama Ibu, kemudian nama Ayah. Karena di pohon itu cuma ada nama Nina. Padahal bukan Nina yang tanam, pohon itu Kakek yang menanamnya. Jangan dianggap punya sendiri lah. Hahhaha. Adikku Nina, tak perlulah kakak jelaskan apa yang sekarang tengah terjadi. Kamu sudah cukup untuk mengerti semua ini. walaupun kamu masih sangat kecil, tapi keadaan berhasil membuat kamu menjadi dewasa. Maafkan kakak Nina, maafkan Ibu, juga Ayah. Maafkan kami yang sangat bodoh ini, karena menyia-nyiakan Nina, anugerah Tuhan yang terindah. Tidak pantas rasanya kami dinobatkan sebagai penerima anugerah itu. Tuhan juga bilang seperti itu kan, manusia itu bodoh, karena mau menerima tanggung jawab, padahal bumi, lautan, dan semuanya tidak ada yang mau menerima. Tapi tidaklah sepenuhnya demikian, kami memang bersalah atas semua yang menimpa Nina, tapi kami yang akan bertanggung jawab sayang. Jadi tenang saja. Nina harus dengarkan kakak ya. Hidup itu anugerah Nina. Jika sekarang Nina lihat Ayah, Ibu, dan Kakak seperti tidak menghargai hidup, Nina salah. Karena bagi kami, Nina adalah hidup kami. Pasti Nina bertanya begini, ‘Kalau Nina hidup kalian, kenapa kalian tinggalin Nina?’. Iya kan? Jawabannya seperti ini. Karena kami rasa sudah saatnyalah suatu anugerah yang terbaik, dirawat oleh yang terbaik pula. Siapa dia? Tuhan. Kenapa? Karena Tuhanlah yang telah menciptakan Nina. Juga yang menciptakan kami. Tuhan itu Maha Pengasih. Dia ciptakan manusia, tapi Dia juga memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya masing-masing. Tapi hebatnya, tidak ada orang jahat di dunia ini. Yang membuat mereka jahat adalah cara pandang kita kepada mereka. Tidak ada kan orang yang mengelompokan dirinya ke golongan orang yang jahat. Kita yang bilang orang tersebut jahat atau baik. Maka, Nina jangan begitu. Jangan pernah menganggap orang lain jahat. Dengan begitu, tidak ada alasan bagi Nina untuk membenci orang lain. Tidak ada alasan bagi Nina untuk marah pada orang lain. Apalagi dendam. Jangan ya Adikku sayang. Jangan kotori hati polosmu dengan itu. Hidup itu memang pilihan sayang, tapi tidak ada pilihan untuk menjadi orang jahat. Mau tidak mau Nina harus jadi orang baik. Nina ingat, Tuhan pernah bilang kalau tidak akan memberikan cobaan kepada manusia diluar batas kemampuan manusia itu sendiri. Itu benar. Karena lagi-lagi cobaan itu tidak ada. Lagi-lagi manusia yang bilang itu sebagai cobaan. Kenapa tidak dianggap sebagai anugerah? Bingung ya? Hahaha. Hiduplah dengan apa yang sudah Tuhan anugerahkan kepada Nina. Jangan hidup dengan apa yang tidak Tuhan anugerahkan kepada Nina, karena itu tidak ada. Pasir di pantai itu tentulah putih. Yang menyebabkan tampak bercak diantaranya adalah kerikil. Tapi kerikil tidak akan tampak menjadi bercak, jika saja ditutupi pasir. Ayah, Ibu, kakak, dan juga kamu tentulah suci. Yang menyebabkan noda adalah dosa, dan mereka yang memberi patokan tentang noda yang berdosa. Tapi noda tidaklah harus menjadi dosa, jika saja noda itu dianggap warna. Bukankah baju polos membutuhkan warna agar tampak lebih indah? Hidup juga perlu terpeleset dan berdosa, agar Tuhan dapat menunjukan Kuasa. Berjanjilah kepada kakak bahwa Nina akan menjadi pasir yang menutupi kerikil. Berjanjilah kepada kakak bahwa Nina akan menjadi noda yang termodifikasi menjadi warna. Berjanjilah kepada kakak ketika Nina terpeleset dan berdosa, Nina akan meminta ampun dan bertaubat atas itu semua. Maka itulah yang kakak maksud Tuhan yang tengah menunjukan Kuasa.”
JANUARDI HUSIN S
Wartawan LPM ARENA