Oleh : Puji Harianto
Tulisan ini sebenarnya adalah bentuk “kompensasi” terhadap kawan-kawan ARENA atas ketidakhadiran kami dalam diskusi beberapa waktu yang lalu. Tema “teologi pembebasan” yang diangkat kawan-kawan pada diskusi tempo hari, adalah tema yang sekiranya menjadi salah satu sentral pokok dari masyarakat dunia ketiga dalam melawan kolonialisme bangsa barat. Entah, penggunaan kata ‘teologi’ tersebut disetujui atau tidak. Yang jelas, dengan menggunakan kata itu (teologi), masyarakat akan kagum, terperangah, terpengaruh, tertarik dan berujung pada “taqlid massal” terhadap gerakan tersebut. Berbicara masalah teologi, berarti berbicara Tuhan, doktrin dan ajaran agama. Jika sudah membicarakan masalah Tuhan, berarti membicarakan ‘Yang Kuasa”. Nyata sudah, kita berada di posisi yang lemah. Sehingga, mau tidak mau, harus tunduk dan mengakui kekuasaan Yang Kuasa tersebut. Dalam tulisan ini, kami akan menyajikan teologi pembebasan “khas” Kristen.
Ada sekitar 2000 jenis teologi dalam agama Kristen, begitu kata Huston Smith dalam bukunya yang berjudul “ Agama-Agama Manusia”. Teologi Ortodoks, Katholik, Protestan, Anglican, Arians, Koptik, Ekumenis, Dialektis, Liberal, Evangelicals, Pembebasan, Neo-Ortodoks, Lutheran, Calvinis, Jawi Wetan, Fundamental, Ashram Movement dan Teologi Kristen Afrika adalah beberapa contoh teologi besar dalam agama Kristen. Setiap teologi memiliki ciri yang khas. Teologi yang berkhas-kan pembaharuan digawangi oleh Teologi Protestan dan Liberal, kembali ke teks-teks suci digawangi oleh teologi Fundamental dan Dialektis, sedangkan berorientasi ke peran sosial digawangi oleh teologi Pembebasan.
Teologi pembebasan menjadi wacana yang menarik di dunia ketiga. Sisi menarik dari teologi pembebasan itu sendiri adalah pertama di wilayah geografis (konteks), sisi kajian dan semangat para pelakunya. Berbicara teologi pembebasan, berarti berbicara tentang Amerika Latin, Teologi Kristen, Karl Marx, Leonardo Boff, Gustavo Gutierrez cs dan tentunya bicara masalah kolonialisme. Teologi pembebasan di Amerika Latin memberikan semangat baru dalam ber-teologi umat beragama (Kristen), dalam hal membebaskan diri dari cengkraman kolonialisme. Teologi ini cepat menyebar dengan luas karena dianggap dapat memberikan warna baru bagi kehidupan sosial masyarakat.
Membahas teologi pembebasan dalam dunia Kristen (Amerika Latin), berarti membahas tentang teologi Kristen. Berbicara teologi Kristen berarti berbicara tidak hanya masalah ketuhanan, tetapi berbicara aspek-aspek dalam agama Kristen. Ini berbeda dengan berbicara teologi dalam wacana agama wahyu selain Kristen, ambil contoh teologi dalam wacana Islam dan Yahudi. Teologi dalam wacana Islam dan Yahudi, adalah murni berbicara masalah Tuhan (Teosentris). Berbicara teologi pembebasan ala Kristen adalah berbicara keimanan Kristen, Al Kitab, refleksi intelektual dan berbicara masalah peran Yesus dalam konteks sosial masyarakat (hidup, karya dan wafatnya Yesus).
Selanjutnya, berbicara teologi pembebasan (khas Kristen tentunya) juga tidak bisa meninggalkan Amerika Latin, tempat dimana teologi ini lahir. Amerika Latin, bukanlah termasuk kategori “Barat”, tetapi kategori dunia ketiga. Ia merupakan salah satu obyek eksploitasi negara Barat. Kawasan yang juga dapat dibilang masih setara dengan Asia dan Afrika, dalam hal nasib dan kondisi sosialnya. Nasib Amerika Latin tak ubahnya seperti Asia dan Afrika, terjajah. Tetapi keunikan Amerika Latin (dibanding Asia dan Afrika) adalah pada komposisi penduduknya. Penduduk Amerika Latin terdiri dari ras campuran, Indian, Afrika, Mongoloid, Jawa, Portugas, Spanyol dan suku-suku pribumi. Dalam periode abad 16-20 M, bangsa Portugis dan Spanyol menjadi “Raja” diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di Amerika Latin melalui kolonialisme-nya.
Metodologi Teologi Pembebasan
Ada beberapa poin pemikiran dalam teologi pembebasan Kristen. Pemikiran ini didasarkan pada pemahaman terhadap Al Kitab yang kemudian dia benturkan dengan kondisi sosial lingkungan. Point pemikirannya antara lain :
- Lahir dari kondisi sosial kemasyarakatan. Teologi harus bersentuhan dengan kondisi sosial, karena ia lahir dari kondisi sosial. Teologi tidak bisa hanya dipahami sebagai yang “transenden” tetapi dia juga dipahami sebagai yang “immanent”. Teologi haruslah bersifat kontekstual, begitu ucap para penganut aliran ini. Teologi merupakan refleksi kritis dalam masyarakat. Artinya, teologi merupakan hasil dari pengamatan langsung realita, yang darinya bisa diambil sebuah pemikiran dan diwujudkan dengan aksi nyata. Gutierrez menyatakan jika “teologi harus berani keluar dari pakem otentik, sakral, gerejawi dan sempurna”. Justru dengan turun langsung ke masyarakat (miskin), teologi akan menjadi doktrin yang dinamis dan tetap pada status “otentik”.
- Menempatkan “aksi sosial” sebagai peran utama dalam pembebasan masyarakat tertindas. Teori dari aksi sosial ini didapatkan dari Al Kitab. Al Kitab dalam hal ini mendorong pelakunya untuk merealisasikan ajaran agamanya. Dalam Kristen, konsep ini tertera pada sosok Yesus yang senantiasa menebarkan kasih kepada umat-Nya. Sehingga, jika tidak menebarkan kasih saying (utamanya kepada kaum miskin), maka secara tidak langsung, pemeluk Kristen telah “berkhianat” terhadap ajarannya.
Selain point diatas, teologi pembebasan juga sangat dipengaruhi oleh ajaran Marx. Setidaknya ada dua ajaran Karl Marx yang masuk dalam konsep teologi pembebasan Amerika Latin.
- Konsep perjuangan kelas, kaitannya dengan kemandirian individu. Setiap orang, begitu kata Gutierrez, haruslah memperjuangkan nasibnya dengan cara dan metode apapun. Jika perjuangan kelas Karl Marx lebih menekankan pada aspek ekonomi, maka perjuangan ala Gutierrez menekankan pada semangat “kemerdekaan dalam tatanan sosial”. Status sebagai orang merdeka, bebas dari penindasan, berdikari dan merumuskan/menjalani kehidupan sesuai dengan kehendaknya sendiri. Individu menjadi salah satu “juru selamat” bagi dirinya sendiri.
- Pengutukan terhadap kepemilikan pribadi. Dalam masyarakat Amerika Latin saat itu, harta kekayaan menjadi milik pribadi individu, dalam hal ini milik Spanyol dan Portugal. Pribumi hanyalah menjadi alat untuk meng-kaya-kan bangsa asing. Konsep “menebar kasih” telah dihilangkan oleh pemerintah colonial. Dan jelas, konsep menebar kasih ini telah ada di ajaran Kristen, agama yang juga dipeluk oleh bangsa Spanyol dan Portugal.
Dari uraian itulah, kemudian Gutierrez merumuskan kompilasi (kesesuaian) antara ajaran Marx dan konsep kekristenan (Al Kitab). Rumusan singkatnya antara lain :
- Mengubah arti khas dari konsep pertobatan. Jika dalam ajaran Kristen pertobatan dilakukan di gereja (ekaristi, sakramen, baptis), maka dalam tatanan kolonialisme, pertobatan dapat dilakukan dengan membebaskan masyarakat dari cengkeraman kolonialisme, pengentasan kemiskinan dan kesengsaraan.
- Konsep kasih dapat dimaknai sebagai perlawanan terhadap penguasa yang menindas. Dengan menumbangkan rezim penindas, berarti kita membebaskan dan menyenangkan masyarakat dari kesengsaraan. Disinilah letak konsep kasih tersebut (hasil dari perlawanan).
- Konsep kesengsaraan, dalam konteks Amerika Latin bukan sebagai ujian dari Tuhan dan bukan pula karena bencana. Tetapi, kesengsaraan itu “diciptakan” oleh penjajah. Dan dialah lawan utama karena penjajah adalah faktor utama dari kesengsaraan masyarakat Amerika Latin.
- Tuhan telah menurunkan karunia-Nya kepada semua manusia di muka bumi (kesejahteraan, kenikmatan, kemakmuran). Jika ada yang mengubah hal itu, maka ia telah ingkar kepada ajaran Tuhan.
- Menjadikan Tuhan “sebagai” Marx pertama. Artinya, ajaran Marx telah ada dalam ajaran Tuhan. Ajaran Marx lahir dari refleksi kritisnya, yang sebenarnya sudah ada dalam ajaran Kristen. Marx yang menekankan pada kemakmuran semua, saling berbagi, tidak monopoli telah terangkum dalam konsep “kasih Tuhan” melalui terciptanya dunia dan seluruh isinya.
Itulah beberapa key words dari teologi pembebasan Amerika Latin. Gutierrez, sebagai duta utama (walaupun ada tokoh teologi pembebasan sebelum Gutierrez, seperti Bartolome de Las Casas dan JB Metz di Amerika Utara) telah mengajarkan bagi kaum beragama bahwa membicarakan teologi itu tidak melulu berbicara tentang Yang Sakral (Tuhan), tetapi juga harus menyinggung aspek Yang Profan (manusia dan sosialnya). Teologi tidak bersifat statis, tetap dinamis karena ada pelakunya, manusia. Manusia selalu berubah sesuai dengan kondisi lingkungannya, maka dalam hal ini, teologi (semua agama) juga mengalami perubahan dalam beberapa aspeknya. Individu bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kehidupan sendirinya melalui ajaran Tuhan dan lingkungan. Tinggal bagaimana si individu ini bersikap dan berbuat !