lpmarena.com, “Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan belum terjamin. Seperti diskriminasi atas kaum minoritas yang sering terjadi,” demikian M. Akil Mukhtar, ketua Mahmah Konstitusi Republik Indonesia menganalisis penyebab kekerasan dan konflik yang mengatasnamakan agama yang kerap kali terjadi di Indonesia, dalam Kuliah Umum yang mengusung tema “Konstitusionalitas Kebebabasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia” pada Sabtu (14/6). Padahal menurutnya, konstitusi telah sedemikian jelas menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Dalam acara Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus Kuliah Umum itu Mukhtar mengungkapkan bahwa UUD hanya memiliki nilai nominal. Artinya, konstitusi yang ada itu berlaku namun tidak efektif. Pasalnya, kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan bergerak dalam ranah konseptual konstitusi. Akan tetapi ia tampak dalam ruang aplikasi.
“Di Indonesia, pemenuhan hak asasi manusia dalam beragama dan berkeyakinan tidak dilakukan secara sekuler, seperti di Negara barat,’ Mukhtar menjelaskan perbedaan yang signifikan dalam pemenuhan hak asasi beragama dan berkeyakinan yang ada di Indonesia dan di Negara-negara lainnya di tengah para mahasiswa yang memadati Convention Hall UIN Sunan Kalijaga.
Menurutnya, dalam konteks ini, Negara harus hadir setidaknya dalam empat hal. Pertama, memberikan perlindungan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kedua, menjamin keamanan pemeluk agama dalam melaksanakan ajaran agamanya. Ketiga, melindungi agama dari penodaan. Keempat, mengatur kehidupan antarumat beragama.
“Saya mengingatkan pada kita semua tentang pentingnya pemaknaan yang tepat mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jangan direduksi hanya pada kebebasan mengekspresikan keagamaan, tapi juga kemampuan menghormati keyakinan orang lain,” tutur Mukhtar mengakhiri kuliahnya. [Noer Hasanatul Hafshaniyah]