“Apa yang telah UIN berikan terhadap kemanusiaan? Dan apa yang telah UIN berikan terhadap keindonesiaan?”
lpmarena.com, Pertanyaan tersebut diucapkan oleh Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga, Amin Abdullah beberapa tahun silam. “Mungkin Pak Amin lupa, tapi kita selalu mengingatnya,” kata Arif Mafthuhin dalam acara ulang tahun Suka TV ke-3 di Convention Hall, Selasa (28/05).
Dari pertanyaan tersebut, lanjut Maftuhin, beberapa orang kemudian merumuskan sumbangan UIN Suka terhadap kemanusiaan ke dalam sebuah layanan terhadap diffable. Sementara untuk keindonesiaan, UIN Suka mewujudkannya dengan masjid yang ramah terhadap diffabel.
Dari latar belakang tersebut maka didirikanlah Pusat Layanan Diffabel (PLD) pada 2 Mei 2007 sebagai pusat unit layanan dan penelitian terhadap layanan diffabel. Selama 6 tahun PLD secara struktural berdiri sendiri, baru tahun 2013 PLD dimasukkan dalam struktur tata kelola UIN Suka.
Kendala
Selama ini kendala yang dihadapi PLD adalah masih minimnya kesadaran tentang isu diffabel di kalangan civitas akademika UIN Suka serta kurang sensitifnya civitas akademika UIN Suka terhadap diffabel. Terbukti dengan masih minimnya kesadaran parkir rapi. “Parkir sembarangan menjadikan akses diffabel kesulitan,” ujar Maftuhin, ketua PLD.
Ia mencontohkan adanya parkir sembarangan di kampus timur terutama di depan gedung PKSI dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. “Kita sempat membuat pengumuman seperti ini “Terimakasih telah memarkir kendaraan anda di Jalan Diffabel. Anda memang luar biasa” ada yang memang jera tapi masih ada yang ngeyel seperti di depan Fakultas dakwah,” kata Maftuhin yang disambut gelak tawa audien. Oleh karena itu, Maftuhin berharap agar civitas akademika UIN Suka mulai menyadari akan pentingnya saling menghormati terhadap diffabel. Minimal dengan parkir yang sesuai rapi atau sesuai dengan tempatnya.
Inclusive Award
Meski demikian pada 18 November 2013 kemarin UIN Suka menyabet penghargaan Inclusive Award dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Penghargaan tersebut kami jadikan sebagai motivasi untuk memicu pelayanan kami terhadap diffabel yang lebih baik,” kata Maftuhin.
Namun lanjutnya, semangat tersebut kadang berbenturan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ambil contoh soal diskriminasi pelayanan SNPTN terhadap diffatel beberapa waktu lalu. “Daftar saja belum, sudah ditakut-takuti untuk tidak bisa masuk kuliah,” kritik Maftuhin menyanyangkan.
Seharusnya, kata Maftuhin, pemerintah, kampus maupun masyarakat itu mendorong terhadap para diffabel untuk kuliah bukan justru menghambatnya sejak awal. Maka isu Inklusi sebenarnya adalah langkah awal untuk menciptakan public awareness akan hak-hak yang harus diperoleh diffabel. “ Oleh karena itu, kita berharap kepada berbagai pihak untuk membantu menumbuhkan public awareness tersebut, seperti Suka TV ini. Kita bisa bekerjasama membuat film dokumenter atau semacamnya,” kata Maftuhin sebelum mengakhiri presentasinya. (Taufiqurrahman)
Editor : Ulfatul Fikriyah