Setiap 17 Agustus tiba, banyak orang bertanya tentang makna “kemerdekaan”. Entah karena merasa belum benar-benar merdeka atau cuma sekedar bertanya. Yang pasti, ini perayaan kesekian yang juga muncul berjubel pertanyaan serupa.
Mulanya, ada teman berkicau di akun media sosialnya, what does it mean to be “independent”? (Apa itu kemerdekaan?). Pagi benar kicau itu diunggah, 04.21 AM, tertanggal 17 Agustus 2014. Mungkin ia baru saja terjaga dari tidur, setelah melamun sebentar dan melirik kalender, tersadarlah ia bahwa hari ini 17 Agustus.
Berselang dua jam, kawan sarjana yang baru wisuda kemarén mengunggah status, semoga Indonesia akan benar2 merdeka. amin tulisnya. Entah ini benar-benar doa, harapan, atau ungkapan keprihatinan. Beranjak siang, semakin banyak saja fenomena serupa. Pertanyaan, protes, pernyataan, dan ucapan dirgahayu kemerdekaan terus berhamburan. Bagai silau bunga api yang meletup di malam perayaan bertajuk kemerdekaan.
Kita yang seringkali terlena dan lupa karena tak cukup kenal sejarah ini dipaksa terkejut. Dan kejutan itu datang di saat yang kurang tepat, kala kita lelap tidur, khusyu’ sholat, bahkan galau belum bayar SPP. Yah, sontak kita merespon dengan beragam bentuk. Entah itu menyangsikan, mendoakan, atau mengutuk perayaan “kemerdekaan” yang mengagetkan ini.
Tapi mungkin tak sedangkal dan sesederhana itu alasannya. Bisa jadi semua hal tersebut adalah ekspresi yang lebih jujur dan tanpa dibuat-buat. Bukankah spontanitas ucapan/ujaran adalah sebuah realitas yang sebenarnya dalam kajian psikoanalisa? Bisa jadi.
Dengan berjubelnya imaji kemerdekaan yang ngendon di otak kita masing-masing, beragam ekspresi nyinyir di atas seolah menemu tempat berpijak. Bagaimana tidak, sejak kecil kita selalu melihat bahwa perayaan ini adalah suatu hal yang meriah, berkilap, penuh haru dan tawa. Dulu, semasa orde baru masih berkuasa ada semacam instruksi langsung dalam perayaan ini. Setiap rumah wajib pasang bendera merah-putih. Tidak cukup di situ saja, pagar-pagar harus dicat, lingkungan dibersihkan dan selamatan dilakukan di pendapa desa.
Dengan segala persiapan yang matang dan kekompakan orang sedesa-bahkan sekecamatan, perayaan kemerdekaan menjadi sangat “wah” dan berkesan dalam. Di sana seolah menampakkan karakter masyarakat kita yang (kata ibu guru) kekeluargaan, gotong royong dalam satu tumpah darah Indonesia, menjadi begitu nyata. Bertahun-tahun gambaran itu berulang, hingga menancapkan ingatan yang kuat bahwa “begitulah” kemerdekaan itu.
Pasca reformasi, pemaknaan tunggal atas kemerdekaan mulai digugat. Dalam tataran akar rumput kondisi mulai berubah, masyarakat sudah tak seantusias dulu-mungkin karena tak ada “himbauan” dari pak Harto yang dingin itu. Sebab tak ada yang “mewajibkan”, ritual perayaan kemerdekaan terasa membosankan. Lalu mulailah orang beranjak pada pemaknaan yang lebih mendalam.
Setelah mengais sejarah, kagetlah kita menemukan diri terkondisikan bisu mulut dan fikir di dalam kemerdekaan selama ini. Sadar telah diselewengkan dari tujuan awal oleh orde baru dengan pengkaburan catatan sejarah serta penumpasan sikap kritis masyarakat- kita mulai mencari lagi makna kemerdekaan ini. Mulai membuka lagi undang-undang dasar dan mencari-cari filsafat Negara.
Akhirnya ditemu pemaknaan yang otentik dan pas dalam pembukaan UUD 45. Bahwa kemerdekaan haruslah “membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Begitulah seharusnya sebuah kemerdekaan bukan? Ya, tentu saja.
Gambaran sebuah bangsa yang aman, sejahtera, cerdas dan dalam kedamaian abadi serasa begitu indah dibayangkan. Hingga selalu kita tanamkan dalam hati, dalam jiwa bahkan dalam mimpi. Lalu kita tersentak ketika terjaga, saat tersadar, dan tatkala menemu kenyataan. Ah, qta belum benar2 merdeka !!! tulis sebuah akun berprofil merah putih berkibar, 07.59 AM.
Dalam senyap, sebuah pesan masuk di ingatan, dari sang proklamator pada awal masa kemerdekaan dulu. Ia berpesan, merdeka hanyalah suatu jembatan, walaupun jembatan emas, di seberang jembatan itu pecah jadi dua: Satu ke dunia sama rata sama rasa. Satu ke dunia sama ratap sama tangis. Setelah 69 tahun, kata-kata Soekarno masih saja membuat kita tertegun.
Tentu saja, kemerdekaan adalah suatu posisi sekaligus alat. Posisi yang lepas dari belenggu penjajahan dan perbudakan Negara lain. Suatu alat yang kita gunakan untuk menentukan nasib sendiri. Entah nasib seperti apa dan akan butuh berapa lama.
Tapi sudahlah, cukup kiranya mendakwa sejarah dan pelakunya. Juga kita yang rasanya terlampau sibuk menggugat kejahatan, kesalahan, dan kecacatannya. Biarlah kemerdekaan dimaknai dan ditafsir beragam. Asal tafsir tak tinggal catatan. Pidato tak habis ditelan tepuk tangan.
Jamaludin A.