Melemahnya hukum kita di Indoensia bukan disebabkan oleh pertentangan elite politik, melainkan perencanaan penghancuran terhadap sistem hukum itu sendiri oleh pihak asing yang berkepentingan.
Lpmarena.com,Kamis, (19/02), Institut for Reserch and Empowerment (IRE) kembali mengadakan diskusi publik yang melibatkan kalangan masyarakat civil dengan tema,“Jokowi dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi.” Dipandu langsung oleh Abdur Rozaki sebagai moderator, di Joglo Winasis IRE, Jl. Palangan Tentara Pelajar, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.
Acara yang berlangsung pukul 08:30-11:30 WIB dihadiri oleh beberapa narasumber diantaranya, Busyro Muqaddas (Mantan/calon komisioner KPK), Suparman Marzuki (ketua yudisial), dan Arie Sujibto (peneliti IRE-Sosiologi UGM).
Busyro Muqaddas menceritakan tentang pengalamannya selama menjabat sebagai tim anti korupsi. Bahwasanya ketika gempuran politik internasional yang membawa misi ekonomi tersebut memasuki elemen pemerintahan daerah provinsi, betapa banyaknya kasus penggelapan. Di antaranya disektor migas. Dari beberapa kasus daerah lainnya, yang ditemukan keamanan negara memberikan sikap tegas denganmenginstruksikan ke setiap daerah agar segera memperbaikinya.
“Tapi situasi tersebut antara KPK dan Mabes Polri masi berbulan madu, sehingga kekuatan negara tidak lagi bisa diotak-atik secara hukum oleh asing,” ungkapnya.
Dari latar belakang kekuatan politik keamanan antara KPK dan Polri, Busyro merasa curiga sekali jika penyebab pertentangan antar KPK dan Polri hari ini murni dari partai politik secara politik. Melainkan perencanaan khusus perusakan sistem oleh para investor asing. Karena tidak leluasanya memasukkan investasi ke daerah.
Lelaki setengah baya itu semakin memperjelas bagimana logika politik hari ini yang sangat jauh berbeda dari Orde Baru. Jika Orda Baru aktornya adalah oknum, pebisnis, dan politik yang busuk dan sekarang kebalikannya bisnis, politik, dan oknum yang busuk.
“Pantas saja jika KPK dan Polri menjadi musuh bersama,” ungkap Suparman Marsuki, dengan membenarkan apa yang telah disampaikan oleh komisioner KPK tersebut.
Dengan tindakan asing yang mencoba menghancurkan sistem yang terkuat dalam tatanan idealnya negara pasca Orde Baru, yakni hukum menjadi panglima. Pada akhirnya mereka sukses mengadudomba keduanya (KPK dan Polri) untuk menjadi musuh besar. Sehingga roda pemerintahan kita hari ini menjadi duri dalam daging.
Kenapa harus demokrasi? Peneliti IRE itu mengungkapkan bahwa di situasi yang kacau hari ini, politik tidak bisa dijadikan panglima seperti Orde Lama, ekonomi sebagai panglima sebagaimana Orde Baru, dan bahkan hukum sebagai panglima sangat tidak bisa dipercaya lagi. Kecuali demokrasi yang menaungi sistem hukum yang praksis, politik yang praksis, ekonomi yang praksis dan peran serta politik populis masyarakt civil yang praksis pula.
Bahkan mantan/calon komisioner KPK menambahkan, kemajuan dan kesuksesan sebuah negara juga berangkat dari dunia akademik yang suci. Contohnya tidak memasung ideologi mahasiswa dalam berinspirasi, dan tidak melibatkan dosen dan mahasiswa dalam partai politik. Jika civitas akademik melakukan tindakan yang demikian bisa disebut dengan tindakan korupsi. Suparman Marsuki juga memberikan tawaran solusi yakni kekuatan moral masyarkat civil dan akademik yang terorganisir. (M Faksi Fahlevi)
Editor : Ulfatul Fikriyah