Seperti elang kami melayang. Seperti air kami mengalir. Seperti matahari kami berputar. Seperti gunung kami merenung. (Mimpi Anak Pulau – Abidah El Khalieqy)
Lpmarena.com, Ini kisah tentang seorang anak yatim miskin yang hidup di daerah pesisir laut. Anak ini melalui banyak lika-liku kehidupan. Saat dewasa, dengan tekad dan keberaniannya anak bernama Gani merantau ke Yogyakarta. Lalu ia kembali ke kampung halaman, menghidupkan para nelayan, dan membangun kotanya hingga menjadi seorang pemimpin disana.
Dramatic reading mengenai kisah Gani, anak pulau tersebut dibawakan oleh Forum Mari Membaca Puisi Indonesia dan Teater Eska dalam acara pembuka launching novel Mimpi Anak Pulau karya Abidah El Khalieqy. Novel yang berbentuk biografi novel ini Abidah buat sekitar dua tahun.
“Novel ini ditulis murni pretensi kebudayaan. Saya ingin membalik arus. Sastra Indonesia punya referensi awal yakni biografi novel,” kata Abidah saat memberi prolog mengenai bukunya di gedung convention hall UIN Suka, Sabtu (21/2).
Gani Lasa sendiri selaku tokoh nyata yang diceritakan Abidah mengatakan sejarah penulisan novel ini. Bermula saat reuni alumni dan berbicara tentang pengalaman. “Saya dulu Tafsir Hadis (IAIN Suka-red), saya bercerita tentang kapal yang tak ada hubungannya dengan kuliah. Ketemu Abidah, cerita ini perjalanan panjang saya, sulit dibayangkan anak yang renang di pesisir sekarang jadi pimpinan,” ujar Kepala Biro Protokol Kantor Otorita Batam ini, sebuah proyek mandataris nasional yang bertujuan menjadikan Batam sebagai pusat ekonomi di Indonesia wilayah barat.
Saat kelas lima SD, Gani kecil bertekad bahwa ia akan maju jika ia sekolah. Meski dalam perjalanannya ia diremehkan orang. Novel ini juga merupakan bentuk pengabdian Gani dan rangkaian mimpi yang dirajut pertemanan. Alasan utama Gani meminta Abidah menulis novel ini adalah sebagai kritik kepada orang tua yang sebenarnya mampu menyekolahkan anaknya, tetapi mereka tak menyekolahkan.
“Ini sebagai inspirasi, banyak sekali saya temui, padahal mampu tapi tak mau menyekolahkan anak. Ini bukan konsumsi politik,” kata pria yang juga perintis SMP Islam di Batam ini, yang muridya telah mampu menjadi guru untuk sekolahnya sendiri. Sebagimana harapannya, putra daerah tak sekedar menoton kotanya sendiri dibangun, tetapi juga ikut berpartisipasi aktif membangun kota.
Pembedah novel dan peneliti, Al Makin mengungkapkan bahwa novel ini sebuah frame budaya Indonesia (khususnya Batam) dari masa ke masa. Nuansa kebudayaan yang sangat penting diangkat. “Kita sering tertuju di Indonesia, khususnya Jakarta. Berkutat pada orang-orang istana, padahal Indonesia banyak sekali. Kalau pelan-pelan nggali itu akan punya peran lain di daerah dan saya kira bagus sekali,” ujar alumnus Filsafat, Universitas Heidelberg, Jerman ini. (Isma Swastiningrum)