Lpmarena.com, Beberapa kasus intoleransi yang terjadi di Yogyakarta mengundang sejumlah aktivis perempuan lintas iman mengadakan dialog berkeadilan gender. Dialog yang melibatkan antar umat beragama itu berlangsung pada Jum’at (22/01) di Pura Hindu Jaganata, Banguntapan, Bantul.
Penggagas dialog ini dari Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih Yogyakarta dan Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki kegelisahan yang sama terkait intoleransi yang marak terjadi akhir-akhir ini.
Bonnie ketua SP Kinasih mengungkapkan dengan adanya intoleransi, korban yang paling sering mengalaminya adalah perempuan. Karena keberadaan perempuan sering dipolitisir sebagai penguatan identitas. “Seperti yag dicontohkan di beberapa institusi di negeri ini,” katanya.
Dalam lingkup institusi pendidikan hal ini bisa dilihat pada intoleransi di Sekolah Dasar (SD) yang mewajibkan siswa perempuan mengenakan jilbab dan berperilaku sopan. Enika Maslahah ketua Fatayat NU Yogyakarta mengungkapkan banyak sekolah umum yang tidak berkhususkan keislaman, tetapi mewajibkan siswa perempuannya mengenakan jilbab.
“Padahal tidak semua muslimah itu nyaman memakai jilbab,” ungkapnya. Intoleransi yang menimpa perempuan yang kerap terjadi di SD ini digunakan sebagai penanda bahwa institusi itu baik dengan perempuan yang memakai jilbab.
Kejadian ini bisa terjadi karena perempuan dianggap sebagai simbol kekuatan moral. “Jika seperti ini, perempuan telah mengalami penekanan dan kekerasan karena dilakukan dengan paksa,” tambah Enika.
Tidak hanya dalam institusi pendidikan, banyak kasus yang menunjukkan adanya intoleransi dalam ranah sosial. Enika mencontohkan intoleransi terdapat pada kos sebagai tempat tinggal sementara. “Misalnya saja, kos ini hanya menerima mahasiswa atau siswa muslimah,” tambahnya.
Bonnie mengharapkan dengan adanya dialog ini kelompok perempuan perlu mengadakan sosialisasi akan nilai-nilai keberagaman. Misalnya saja melalui berbagai forum lintas iman.
Reporter: Anis Nur Nadhiroh
Redaktur: Isma Swastiningrum