Pernahkah Anda menonton anime Naruto episode pertarungan Yakushi Kabuto dan Uchiha Itachi? Jika pernah, mari kita ingat anime karya begawan Masashi Kishimoto itu. Lima menit kiranya cukup untuk refresh, syukur-syukur bisa mengambil ibrah dari cerita tersebut. Bagi anda yang belum pernah melihat/nonton, sungguh terlalu!
Dalam anime Naruto episode 334-340, diceritakan pertarungan dua shinobi (kebetulan kedua-duanya mantan intelijen), untuk saling beradu kemampuan dalam mempertahankan Jutsu Edo Tensei. Kabuto berusaha mengembalikan Itachi menjadi “mayat hidup” dan tetap mengendalikan Perang Dunia Ninja ke-4 dengan Jutsu Edo Tensei andalannya (jurus menghidupkan orang mati). Sedangkan Itachi, sang agen ganda, berusaha sebaliknya. Membatalkan Edo Tensei dan mengembalikan orang mati pada alamnya.
Singkat cerita, si Itachi menang dengan mengeluarkan jutsu tersembunyi-nya, Izanami. Sebuah jutsu yang menyebabkan orang berputar dalam samsara (proses kehidupan) dunia, dalam bahasa kerennya, Kabuto mengalami déjà vu berkepanjangan. Menurut Itachi, hanya ada satu cara untuk keluar dari perputaran samsara tersebut, yakni mengakui kesalahan dan bertobat. Pada akhirnya, Kabuto dapat tersadar dari genjutsu (semacam hipnotis) Izanami dengan mengaku “bersalah”.
Lalu apa hubungannya, Komik Naruto dan Pusat Komputer dan Sistem Informasi (PKSI)? Ada bung, tapi ya tidak banyak. Pertama, mungkin saja sebagian, syukur-syukur seluruh, petugas PKSI penikmat komik/anime Naruto. Kedua, kiranya penting sekali PKSI saat ini mengalami kondisi yang sama dengan apa yang dialami Kabuto, terjebak dalam samsara SIA (Sistem Informasi dan Akademik).
Beberapa hari ini, mahasiswa UIN Suka, tiba-tiba saja mendadak menjadi haters professional. Masalah-nya sepele, mereka tidak bisa log-in maupun menginput KRS (Kartu Rencana Studi). Bagi mahasiswa veteran (mahasiswa semester tua), hal ini sudah biasa bagi mereka. Dan mereka malah bersuka cita jika ada insiden seperti ini. Tetapi untuk mahasiswa semester satu digit (dibawah semester 10), kondisi ini bak kiamat sughro, sepele tapi menyakitkan. Bagi birokrat kampus (selain PKSI), bisa jadi mereka tersenyum kecut, setengah jengkel dan setengahnya lagi, bahagia. Bahagia karena punya “kambing hitam” jika ada mahasiswa/i protes karena tidak bisa input mata kuliah dan sebagainya. “Itu tugas PKSI, coba anda kesana mas/mbak”. Kata-kata yang semakin memojokkan bagi para petugas PKSI.
Memprihatinkan memang. Di tengah-tengah kesulitan menghadapi cacian sekitar 17.000 mahasiswa/i UIN Suka, PKSI layak disebut jenderal perang sekaligus prajurit. Dia (PKSI) berdiri tegak sendirian melayani “keperluan” ribuan mahasiswa/i. Paling banter, mereka mendapat bantuan dari bidang kemahasiswaan berupa SK perpanjangan waktu untuk input KRS. Sedikit mengulur waktu untuk sakaratul maut. Semoga saja, injury time dari rektorat ini mampu digunakan dengan sebaik-baiknya oleh PKSI.
Kami cuma mengingatkan bahwa sikap barbarian para haters SIA (mahasiswa) bisa jadi meningkat tajam dan bertambah brutal, meskipun ada perpanjangan waktu input KRS. Tagar #kamitidaktakut dari sebagian mahasiswa sepertinya hanya anget-anget tahi ayam bung. Mereka tetap saja menuntut (untuk bisa KRS-an), dan tentunya diiringi ribuan cercaan caci maki kepada PKSI.
So, mari buat tagar #kamibenerantakut. Jika anda (mahasiswa) tidak takut dengan sistem yang berjalan lambat, tinggal melakukan demo atau buat petisi untuk meliburkan perkuliahan satu semester alias cuti massal, boikot kuliah dan sebagainya. Gampang to? Itu pun jika kalian semua berani dan tidak bermental plin-plan. Tapi sepertinya kalian semua tidak berani, alias penakut!
Sejak kemunculannya di pasca konversi UIN (konon kabarnya, sistem akademik digital dimulai dari tahun 2008 melalui Godamkusuka), PKSI ini bekerja seperti halnya intelijen. Bukan dalam cara kerjanya, melainkan apresiasi terhadap kinerjanya. Kerja bagus tidak dipuji, kerja jelek, siap-siap dicaci. Harus diakui, jika sistem komunikasi dan informasi ala SIA memang canggih. Bukan hanya SIA, semua fasilitas penunjang akademik kesemuannya menggunakan fasilitas modern.
Selain PKSI, perpustakaan menjadi contoh jika UIN Suka memang benar-benar menerapkan pelayanan akademik secara digital. Tapi kembali lagi, semua sistem canggih itu selalu masuk ke dalam jurang persoalan yang sama, error saat dibutuhkan banyak orang. Menurut kabar yang beredar, terjadi mis-komunikasi “abadi” antara PKSI dan seluruh instansi di dalam kampus UIN Suka, khususnya soal penggunaan layanan digital.
Boleh kiranya kami memverifikasi kabar tersebut. Satu tahun yang lalu, tepatnya di Juli 2015, kami bertemu dengan dua orang yang berbeda di tempat yang berbeda pula. Hanya saja, mereka mempunyai keahlian yang sama, otak-atik IT. Kedua-duanya mahasiswa UIN Suka dan kebetulan sudah menginjak semester ujung tanduk (semester 13-14).
Yang pertama, menceritakan jika ia pernah membantu/bekerja menjadi petugas PKSI dalam melayani kebutuhan akademik mahasiswa. Ia menegaskan, jika PKSI itu merupakan “penyedia sekaligus pembuat jasa digital” dan instansi kampus sebagai pelaku sekaligus pelayanan kebutuhan mahasiswa yang utama. PKSI hanya membuatkan sistem akademik online, bagi dosen, karyawan, staff, TU dan mahasiswa.
PKSI memberikan password tiap person sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. sebagai contoh, dosen diberikan password dengan kewenangan untuk input nilai, absensi sekaligus merubah keduanya. Staf Tata Usaha diberi password dengan kewenangan input absensi, nilai, data mahasiswa dan sebagainya.
Anehnya, dalam banyak kasus, jika mahasiswa misalnya complain soal absensi kepada dosen/TU, justru dua manusia ini melemparkannya ke PKSI. “Itu urusan PKSI mas/mbak, coba complain ke sana”. Lalu untuk apa mereka (dosen, TU) dikasih password, jika menggunakan kewenangannya saja ogah-ogahan? Jawabannya satu: untuk log-in fesbuk, game, twitter, dan sebagainya. Atau biar kelihatan akademis, untuk log-in proyek-proyek penelitian. RIP untuk Anda semua.
Kembali ke dua kawan kami tadi, kawan yang kedua menceritakan jika ia punya kebiasaan usil di malam hari. Berkumpul dengan kawan-kawan sekosnya (kebetulan dekat dengan kampus UIN), dan “membajak” password untuk download film, game, dan tak jarang meretas website UIN. Menurutnya, website UIN Suka itu bagus, tapi kurang aman alias mudah diretas. Dia pernah bilang “lha wong bandwidth-nya UIN itu dibawah 15 juta kok harganya, ya pantes mudah diretas”. Jika dibandingkan dengan kampus besar lainnya, menurut kawan kami itu, semisal UGM, kita masih kalah jauh. UGM dan UNY misalnya, memakai bandwidth diatas 30 juta. Karena tidak terlalu paham dengan persoalan ini, kami hanya mejadi pendengar setia dari cerita-cerita kawan kami itu.
Dari semua permasalahan di atas, sudah waktunya PKSI melakukan perlawanan atas penyalahgunaan jasa yang mereka buat. Agar tidak terjebak dalam samsara abadi layaknya Kabuto serta meminimalisir mis-komunikasi antar instansi dalam kampus, setidaknya kami mengusulkan kepada PKSI agar melakukan beberapa hal:
- Adanya penguatan SDM bagi pemegang kebijakan, yang kebetulan memakai sistem buatan PKSI. Hal ini perlu dilakukan agar setiap petugas instansi kampus memiliki pemahaman dan keterampilan dalam menjalankan sistem akademik digital. Selama ini, yang dituntut hanya mahasiswa agar bisa menggunakan IT kampus. Ya, sebagai bukti jika lulus dari UIN tidak terlalu asing dengan dunia IT (melalui pelatihan dan tes ICT di PKSI). Sehingga, persoalan sepele seperti merubah absensi tidak harus diselesaikan di PKSI, cukup dengan dosen/TU yang bersangkutan.
- Membentuk pangkalan mini-PKSI di setiap fakultas. Hal ini memungkinkan untuk mempercepat pelayanan akademik kepada mahasiswa tanpa harus berjubel dan antri di Gedung PKSI. Selain menghemat tenaga, efektifitas waktu penggunaan kiranya juga menajdi alasan utama. Setiap pangkalan mini-PKSI hanya akan focus pada mahasiswa per fakultas atau per instansi dalam kampus. Meskipun, dari sisi biaya dan tenaga kerja (SDM) juga tidak kecil.
- Anggaran dana untuk sistem akademik ini ditambah. Tentunya, harus ada diskusi intens antara PKSI dan rektorat. Jika perlu, setiap tahun ada laporan tertulis yang dapat diakses oleh semua civitas akademik perihal kemajuan PKSI. Itupun jika perlu dan bisa dilakukan. Tetapi, ya seperti itu, dengan alasan “ini aset negara” transparansi dana di UIN masih jauh panggang dari api. Sekali lagi, kami hanya mengingatkan jika mahasiswa UIN tidak semuanya “buta” soal IT kampus, bisa jadi sistem error selama KRS ini adalah ulah dari mahasiswa Anda sendiri.
- Dan untuk para mahasiswa, sabar bung. Bukan di Indonesia/UIN, jika tidak error Banyak-banyak berdoa dan berusaha, agar masalah KRS-an/akademik kalian segera teratasi. Semoga kalian menjadi lulusan yang khusnul khotimah, tidak sesat dan tak tereliminasi (DO) sebelum lulus.
Terakhir, kami hanya hanya ingin mengatakan: kami bukanlah pendukung PKSI, rektorat, dan bukan pula haters barbarian. Kami hanya mengumpulkan fakta di lapangan selama beberapa hari ini ke belakang yang kebanyakan diisi oleh kekesalan mahasiswa terhadap PKSI. Kami tentu ingin PKSI dan utamanya kampus, segera berbenah demi kenyamanan dan keamanan kegiatan akademik. Jangan sampai samsara SIA ini menjadi genjutsu abadi. Dan yang lebih penting – ini tidak ada hubungannya dengan PKSI – , apakah kita sudah punya rektor baru?
#kami_beneran_takut. Save PKSI, Save UIN Suka.
Kunil Kubhot
Anggota KeMPeD freelance