Home - Reformasi Agraria dalam Bingkai Indonesia

Reformasi Agraria dalam Bingkai Indonesia

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Doel Rohim*

Tanah adalah harta yang sangat berharga bagi petani, dari sepetak tanah harapan dibumbungkan setinggi langit. Cita-cita masa depan dirangkai melalui hasil panen yang biasanya dihasilkan dari sebidang tanah yang petani miliki. Bahkan seorang petani rela menghabiskan separo hidupnya hanya untuk melihat benih-benih tumbuh dengan subur dan hasilnya dapat dinikmati untuk menyambung hidup keluarga  mereka.

Gambaran di atas memperlihatkan bagaimana tanah menjadi alat produksi yang sangat  dominan bagi masyarakat pedesaan. Keberadaan tanah menjadi hal yang mendasar bagi berjayanya kehidupan mereka. Hal inilah yang sebenarnya disadari oleh kedua tokoh proklamator bangsa kita, Soekarno dan Hatta dalam upaya menjadikan tanah menjadi penopang utama kemakmuran bangsa. Kedua tokoh Soekarno-Hatta sangat memahami bagaimana kebijakan pertanahan atau biasa disebut agraria pada masa kolonial Belanda yang kebijakan-kebijakannya sangat merugikan masyarakat petani kelas bawah.

Sejarah panjang mengenai tata klelola agraria yang ada di negeri ini dimulai dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial  menciptakan dasar-dasar hukum  bagi menjamin terjadinya akumulasi modal yang dilakukan oleh perusahan-perusahan Eropa yang menanamkan investasinya di Hindia Belanda untuk mengelola perkebunan-perkebunan kapitalis  yang memproduksi komoditi ekspor. Hal ini secara lebih terperinci diatur dalam UU Agraria (Agrarische Wet) yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1870.

Kebijakan tersebut mengakibatkan surplus komoditi bagi kaum kapitalis Belanda karena pengelolaan tanah yang hanya diperuntukkan untuk komoditi ekspor, seperti gula, kopi, karet dapat diolah dengan biaya produksi yang sangat murah, dengan penjualan yang cukup mahal di negeri Eropa. Sistem agraria yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu adalah memaksakan  kebijakan–kebijakan politik ekonomi kepada pribumi yang dilakukan untuk mendapatkan lahan dan buruh yang murah. Hal ini dilakukan untuk menopang berjalannya sistem kapitalisme yang dijalankannya. Dalam UU Agraria 1870 tersebut dijelaskan adanya hak-hak untuk mengonsensi perkebunan yang diberikan perusahan-perusahan asing untuk mengelola tanah negara. Untuk mendapatkan pekerja, perusahaan  memobilisasi  secara paksa untuk mengerjakan perkebunan  yang ia miliki. Dan setiap gerakan protes yang dilakukan oleh para pekerja, mereka mengunakan radilkalisme, milineralistik, dan represi untuk meredam gerakan protes yang dilakukan masyarakat oleh rezim kolonial Belanda.

Akar permasalah tata kelola agraria inilah yang membuat Soekarno bersikeras untuk mengubah dominasi kolonial dalam masalah penguasaan tanah yang dispesifikasikan dalam gerakan revolusi di awal masa kemerdekaan. Tetapi hal itu tak semudah yang Soekarno bayangkan. Kondisi politik yang masih labil dan belum mapan membuat gerakan untuk menata ulang sistem agraria yang ada belum bisa dijalankan secara maksimal. Kondisi setelah Soekarno menganti sisitem pemerintahan dengan demokrasi terpimpin dengan gagasan yang ingin mewujudkan dengan apa yang disebut “Sosiallisme Indonesia”  di mana dalam gagasan  tersebut wacana “Revolusi” mulai digelorakan kembali. Hal ini bertujuan untuk mengorganisir negara dan masyarakat untuk menciptakan tatan baru dalam suatu bangsa. Gagasan tersebut secara ekplisit terangkum dalam pidato Presiden Soekarno yang berjudul: Manifesto Politik, Menemukan Kembali Revolusi Kita.

Kemudian gagasan di atas mulai direalisasikan dalam kebijakan politik pada tanggal 24 September tahun 1960 untuk menetapkan sebuah peraturan Agraria baru yang termuat dalam UUPA (Undang-undang Pertanahan dan Agraria). Sebulan sebelum UUPA ini disahkan oleh presiden Soekarno, Soekarno berpidato dengan judul “Laksana Malaikat yang Menyerbu dari Langit. Jalan Revolusi Kita”  dalam pidatonya itu dia berencana untuk membuat undang-undang (UUPA) sebuah basis hukum untuk perubahan revolusioner dalam hubungan kolonial dan feodal. Soekarno menempatkan golongan petani dan buruh, sebagai soko gurunya revolusi. Hal Inilah yang dianggap kemajuan paling penting dalam revolusi Indonesia.  Pemerintahan Soekarno sangat yakin UUPA 1960 ini dapat menjadi rantai pemutus masalah-masalah agraria yang berasal dari kebijkan kolonial dan sisa-sisa feodalisme, dan menjadi landasan untuk fondasi ekonomi nasional.

Terbitnya UUPA mengawali babak baru reforma agraria yang sering disebut dengan progam land refrom yang ada di Indonesia. Progam ini bertujuan untuk menghapus kelas tuan tanah yang tanahnya digarap oleh buruh tani, dan dalam upaya mengurangi petani tanpa tanah dengan cara memberikan tanah milik atas dasar prinsip tanah untuk mereka yang mengarap di atasnya.

Gerakan aktif pun dilakukan pada tahun 1964 oleh PKI yang diorganisir oleh organisasi resmi di bawah PKI yaitu BTI. Mereka melancarkan aksi sepihak untuk pengambilalihan dan menduduki tanah-tanah yang mereka anggap didistribusikan kepada petani. Gerakan ini merupakan bentuk kekecewaan atas peranan dan penerapan land refrom  dianggap berjalan lambat, karena tuan tanah yang sebagaian besar berafiliasi dengan partai-partai Islam menghalang-halangi penerapan peraturan tersebut. Aksi-aksi yang dilancarkan oleh PKI tersebut dipandang sebagai sikap politik resmi partai untuk melawan tuan tanah yang  menolak untuk mengikuti gerakan land refrom.

Tetapi  gerakan tersebut tidak bertahan lama sebuah tragedi berdarah terjadi di pagi buta pada tanggal 30 September tahun 1965, dengan diculiknya ketujuh jenderal  AD yang dibunuh dan mayatnya dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah pangkalan udara Halim Perdana Kusuma desa Lubang Buaya. Sebuah peristiwa yang menamakan dirinya dengan G30 S PKI ini dipimpin oleh Kolonel Untung. Gerakan ini menjadi titik awal berakhirnya kekuasaan presiden Soekarno, dan menjadikan sebuah luka yang mendalam bagi bangsa Indonesia karena dari tragedi ini pembunuhan secara massal terjadi terhadap masyarakat yang dilklaim sebagai angota PKI. Gerakan yang diinisiasi oleh Soeharto yang akhirnya  menjadi catatan kelam sejarah bangsa Indonesia dan menjadi kudeta poltik atas kekuasaan Soekarno.

Berakhirnya kekuasaan Soekarno juga menandai awal baru kepemimpinan Soeharto. Kepemimpinan baru ini muncul dengan rezim yang otoriter, hak-hak sipil diberangus, Demokrasi sebagai simbol semata, dan Pancasila digunakan sebagai asas tunggal yang digunakan untuk menghegemoni masyarakat luas. Hal ini juga menandai apa yang disebut dengan era baru dengan sebutan “kontra revolusioner” yang memberangus gerakan-gerakan revolusi yang digagas oleh presiden Soekarno. Gerakan land refrom  pun tak luput untuk diberhentikan dan kondisi tentang agraria berbalik arah kembali pada kondisi awal pada zaman kolonial.

Semenjak itulah kebijakan agraria di Indonesia semakin melemahkan  rakyat kecil. Hal ini terlihat jelas di saat rezim Soeharto berkuasa kebijakan ekonomi yang mengunakan empat paradigma besar seperti yang diungkapkan oleh Robison yaitu nasionalisme, populisme, birokratisme, predatoris, dan liberalisme. Sangat mempengaruhi jalannya kebijakan untuk dimanfaatkan rezim Soeharto.

Dominasi investasi asing yang begitu kuat di awal pemerintahan Soeharto membuat nasionalisme ekonomi bisa dilihat dengan  jelas ketika pemerintah membangun Pertamina yang ditandai dengan kenaikan mendadak anggaran negara dari pendapatan minyak. Perusahaan minyak raksasa milik negara ini menjadi sumber devisa asing yang cukup besar. Hal ini diuntungkan dengan harga minyak yang melambung tinggi pada dekade 1973-1974, yang sangat membantu rezim Soeharto untuk menancapkan kekuasaan dan wewenangnya terhadap aparat negara. Sehingga anggaran yang besar dapat diarahkan pada investasi besar dalam proyek-proyek industri hulu, seperti semen, besi, dan lainnya.

Hal ini mengakibatkan semua investasi yang diarahkan pada nasionalisasi ekonomi ini telah mengakibatkan pada penciptaan sebuah kebijakan yang mengunakan atau pengambilalihan tanah untuk proyek-proyek pembangunan tersebut. Agenda nasionalisasi ekonomi diperuntukan untuk mengubah ekonomi dari yang berfokus pada produksi komoditi rendah ke komoditi industri yang lebih maju. Sehingga menciptakan surplus keuntungan yang besar yang dapat digunakan untuk agenda legitimasi kekuasaan rezim melalui pemberian kredit usaha kecil dan pertanian, subsidi kebutuhan pokok kepada masyarakat, yang dapat digunakan untuk meredam keresahan sosial dan menjaga popularitas rezim. Seperti itulah salah satu agenda awal yang dijalankan rezim Soeharto pada masa awal pemerintahahnnya. Sehingga gejolak sosial di akar rumput dapat diminimalisir bahkan tidak ada.

Dari situ mulai kelihatan bagaimana rezim Soeharto mulai melancarkan agenda ekonomi yang berdampak pada kebijakan agraria yang menguntungkan investasi asing dan negara untuk dinikmati para kroninya. Dan malapetaka pun terjadi di masyarakat desa dengan tanah yang dimilikinya. Tanah-tanah yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat kecil diambil alih oleh negara dengan alasan kesejahteraan nasional. Bukan itu saja, setelah gerakan land refrom diberhentikan kebijakan pertanahan pun menjadi ajang baru untuk memepercepat membentukan pasar tanah melalui reformasi dan menejemen pertanahan. Dalam reformasi pertanahan ini dengan jelas menyebutkan ingin merevisi UUPA 1960 dalam agenda jangka panjangnya. Agenda ini sarat dengan intervensi asing yang dilakukan oleh bank dunia dalam menetapkan kebijakan pertanahan ini.

Dari situlah perubahan total mengenai agraria di Indonesia dimulai, sebenarnnya setelah jatuhnya Soeharto gerakan land refrom sudah mulai digalakkan lagi, tetapi hal ini hanya digunakan sebagai janji politik oleh hilir mudiknya presiden Indonesia. Sehingga realisasinya masih kosong besar dominasi kapital yang sudah mengakar kuat menjadi masalah tersendiri untuk reformasi agraria di Indonesia. Salah satu gerakan penolakan pembangunan pabrik semen di Sukolilo Pati Jawa Tengah merupakan salah satu contoh  rill gerakan rakyat yang berusaha untuk mengembalikan kedaulatan tanah atas hak masyarakat untuk mengolah dan melestarikannya. Sehingga hingga saat ini terus memperjuangkan sepetak tanah yang akan menjadi tumpuan hidup masyarakat di sana.

Sebenarnya seperti itulah gerakan rill yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengupayakan reformasi agraria, dengan menyatu dengan alam sehinga kesadaran akan pentingnya kelestarikan lingkungan akan muncul. Pada akhirnya  menciptakan kesadaran kolektif untuk membentengi tanah mereka dari  kaum kapitalis yang berafiliasi dengan negara. Karna nampaknya akan sulit gerakan untuk mereformasi agraria kalau hanya mengandalkan sosok penguasa negara, tanpa adanya gerakan kolektif yang diakomodir dari kekuatan rakyat  yang sadar akan kedaulatan tanah mereka.

Lantas apa yang dapat dilakukan mahasiswa, tidak ada lain kecuali hanya ikut turun bersama rakyat untuk menekan pemerintah untuk menyegerakan reformasi sistem agraria yang ada. Karena hanya dari mahasiswalah gerkan penyadaran secara  ilmiah lebih mungkin dilakukan untuk menggalang massa yang lebih dari cukup untuk mempersatukan kekuatan dalam merobohkan dominasi kapital.[]

*Penulis Jemaat Arena dan KMPP (Keluarga Mahasiswa Pelajar Pati)

Pustaka:

Noer Fauzi Rachman, Land Refrom, Yogyakarta: 2012

Ricrad Robinson, Indonesia; The Rise of Capital, Sydney: 1989