Lpmarena.com, Dunia akademik saat ini mulai dibatasi kebebasannya. Adanya pembatasan itu, menunjukkan kondisi akademik yang semakin rapuh. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Eric Hierej dalam diskusi yang diselenggarakan Social Movement Institut bertema Memperjuangkan Kebebasan Akademik di Teatrikal Fakultas Sains dan Teknologi UIN Suka, Jum’at (20/05).
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM ini, faktor yang menjadikan dunia akademik rapuh karena keberadaan kampus yang sangat merepresif kegiatan mahasiswanya. Pembubaran diskusi-diskusi yang sedikit ada komunisnya, pembubaran nonton bareng film yang berbau PKI, dan beberapa aksi sweeping buku-buku kiri. “Kampus sekarang masih terwarisi oleh otoritarian legesie orde baru. Ya seperti sekarang ini, kita melakukan diskusi dari pihak kampus mematikan listriknya. Ini wujud sabotase dari pihak akademik,” kata Eric yang kemudian disusul suara riuh tawa audiens.
Selain kampus masih terwarisi budaya orba tersebut, kampus sekarang juga sudah terintervensi adanya state sponsor of capitalism, misalnya dosen-dosen sekarang disibukkan dengan urusan jurnal-jurnalnya. “kampus juga menarik dana super tinggi dan juga dosen dibebani dengan hal-hal yang tidak masuk akal,” tambah Eriec. Tak hanya itu, Adanya kontrol dari pemilik modal dapat kita lihat dari pembubaran film Samin VS Semen. “padahal film ini kan gak ada hubungannya dengan komunis kok dibubarkan juga. Giliran ada pembangunan yang memakai produknya semen di gedung UGM gak dibubarkan. Ini kan konyol,” tandasnya.
Eriec menambahkan adanya pembubaran itu membuktikan adanya intoleransi dari pihak kampus. “Kebebasan akademik jika tidak ada maka institusi tersebut bukan dinamakan kampus lagi. Sebab kampus itu seharusnya menjadi tempat yang nyaman untuk belajar, kok malah ditekan. Ya jadinya gak ada perkembangan.”
Senada dengan Eriec, Arie Sujito juga mengungkapkan Akademik itu seharusnya membebaskan, bukan malah menekan. Demokrasi dihadirkan untuk mencapai keadilan, kesejahteraan dan dengan adanya kebebasan akademik bukan untuk mereka yang di korporasi tapi untuk mereka masyarakat sipil.
Arie menyayangkan keberadaan intelektual yang hanya meningkatkan intelektualnya untuk daya kapital tanpa melihat keadaan sosial. Dengan melihat keadaan ini, maka gerakan pembebasan perlu ditransformasikan.
Demokrasi Indonesia mati karena mengalami kebekuan, demokrasinya mengalami stagnasi. “Dunia kampus gagal menjebol demokrasi itu. Kita melihat demokrasi kita tidak melakukan substansi dari demokrasi, mereka hanya melakukan hal-hal yang sifatnya hanya instansi-istansi. Kebebasan kita sekarang mengalami penekanan. Apa-apa dirampas, dengan demikian hal itu menjadikan demokrasi kita ini mengalami degradasi,” kata Arie.
Di akhir perbincangan Arie menghimbau dosen bahwa keberadaan dosen bukan hanya untuk meningkatkan daya kapitalis. Maka, ia mengharapkan untuk dosen supaya tidak terlalu disibukkan dengan urusan akreditasi, urusan sertifikasi, urusan hal-hal yang bersifat administrasi. Sehingga tidak menimbulkan kepekaan pada spirit perubahan mahasiswanya. Arie juga mengharapkan untuk mahasiswa sendiri supaya tidak terlalu mudah dijadikan robot korporasi kampus, dengan disibukkan berbagai tugas-tugasnya dan urusan pribadi mereka masing-masing tanpa memiliki kepedulian sosial.
Reporter: Anis Nadhiroh
Redaktur: Lugas Subarkah