Apa yang dirasakan manusia ketika lapar? Sangat lapar? Sangat-sangat-sangat lapar? Inilah kisah tokoh penderita kelaparan akut bernama ‘Aku’ dalam novel karya penulis Norwegia yang juga peraih nobel 1920, Knut Hamsun, berjudul Lapar. ‘Aku’ sebuah eulogi kedinginan di tengah hiruk pikuk dunia, dengan nuansa eksistensialis yang kental. Di sini ‘Aku’ menjadi semacam skriptural penulis bersama proses kreatifnya yang menyedihkan.
Buku ini terdiri dari empat bagian yang tiap bagiannya beralur semacam gulungan setengah gelombang tranversal yang naik pelan dan turun mendadak. Di akhir bab selalu diikuti kebaikan nasib, lalu hancur berkeping lagi di awal bab. ‘Aku’, seorang pria yang tinggal di Christiania (sekarang Oslo, ibukota Norwegia) melewati kehidupan dramatisnya untuk bisa bertahan hidup sebagai seorang penulis. ‘Aku’ dengan kesetiaan yang getir dan mengiris, megorbankan tak hanya diri dan harga diri, tapi juga menantang prinsip-prinsip dan moralitasnya sendiri.
Knut rasanya benar-benar membuat saya merasa sangat-sangat geregetan dengan tokoh rekaan (atau autobiografi)-nya itu. Kalau tokoh ‘Aku’ benar-benar hidup, ingin rasanya saya menepuk-nepuk kedua pipinya sampai dia sadar. Setidaknya saya punya lima alasan tentang karakter ‘Aku’ yang begitu dieksploitasi habis-habisan oleh Knut, dikuliti psikologinya:
Satu, ‘Aku’ sangat miskin, tapi dengan harga diri yang sangat tinggi, ia lebih memilih menolong temannya yang butuh uang dan berani memberikan hutang seolah dia orang kaya dan berada. Altruisme ini terlihat saat ‘Aku’ rela menggadaikan jasnya untuk menolong temannya yang juga kelaparan, padahal dirinya lebih kelaparan. Atau ketika dia menjanjikan Jens Olai (temannya) uang untuk Jens makan, meski tak ada sepersen pun uang di kantong.
Dua, ‘Aku’ yang papa adalah pembual yang cerdas, pengimajinasi yang ulung. Tak terhitung kebohongan yang dia lakukan dengan gengsi selangit. Hingga kebohongan ini menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Mulai dari kebohongannya pada seorang lelaki yang duduk di taman, yang ia ceritai keluarga Happoliti yang kaya. Atau saat ia berbohong mengaku bernama Andreas Tangsen (keluarga bangsawan) dan bekerja sebagai wartawan Morning Times. Ini ‘Aku’ lakukan hanya demi menjadi seorang tunawisma mulia yang bisa tidur semalam di ruang khusus kantor polisi. Namun di sana dia justru menemui kegelapan yang mengerikan dan esoknya tak mendapat karcis makan seperti tunawisma lainnya. Lalu perutnya kembali terasa tercabik-cabik.
Tiga, ‘Aku’ mungkin begitu sangat amat naif dan keras bagai monster, ia marah-marah ketika lapar, tetapi begitu luluh lantak dengan keramahan dan kebaikan seseorang. Dia tokoh protagonis sekaligus antagonis sekaligus. Misal, ia merasa berdosa dan bersalah ketika bersikap kasar pada redaktur, pada nenek tua, pada induk semang, dan lain-lainnya yang berbaik hati padanya. Dia malah menyalahkan dirinya sendiri, memaki dirinya sendiri ketika tak bisa membantu atau memenuhi harapan mereka. Ia bisa merampok kue seorang nenek, tapi juga menyisakan satu kue untuk anak kecil di tengah jalan yang diludai pria berjanggot merah—yang itu diletakkan dengan sembunyi-sembunyi. Saya jadi ingat karakter-karakter yang diciptakan Budi Darma di buku Orang-Orang Bloominton, tidak selalu orang baik itu baik dan tidak semua orang jahat selamanya akan jahat.
Empat, benar-benar karakter orang pada umumnya, ‘Aku’ sengsara ketika tak punya, berhambur-hamburan ketika berada. Ketika mendapat honor dari hasil tulisan yang mampu menghidupi beberapa Minggu, dia enak-enak makan susu, roti, stik daging sampai dia lapar lagi, nol lagi. Anehnya, apa ‘Aku’ tak punya otak untuk berpikir sedikit lebih panjang. Uangnya dilipatgandakan dengan hal lain. Ah, saya sadar lagi kalau bakatnya hanya berpikir dan menulis, tak mungkin dia akan berlagak menjadi entrepreneur karbitan. Ya, setidaknya seasketik-asketiknya dia, mengingat kondisinya melarat, setidaknya dia tidak berlaku hedon ketika punya uang.
Lima, nasib ‘Aku’ yang rasanya hampir selalu sial, tapi punya daya juang hidup yang luar biasa. Kesialan tersebut tergambar dari gagalnya bertemu temannya mahasiswa Theologia Hans Pauli Pettersen karena pulang kampung; gagalnya kisah cinta dengan perempuan yang ia namai Ylayali; gagalnya menjual selimut pinjaman dari Hans Pauli atau kancing baju jasnya yang dia cabut sendiri; sampai di akhir novel seolah mengatakan jika pekerjaan penulis tidak menjanjikan sehingga ‘Aku’ bersepakat pada nasib untuk bekerja di pelayaran. Mulianya juga bahkan ‘Aku’ tak pernah melupakan hutangnya sedikit pun pada ibu induk semang, atau pada gadis pengamen yang memintanya uang 1 ϕre (uang recehan Norwegia).
Knut gamblang menjelaskan tokoh ‘Aku’ sebagai diri yang bebas nan kesepian. ‘Aku’ yang kehilangan orientasi ketika lapar, tapi tetap setia pada idealismenya. Ketika lapar menjadi masalah pokok yang mencabik-cabik lambung, mengakibatkan ‘Aku’ mengidap (seperti yang dikatakan Sartre) perasaan Nausee, perasaan ingin mual dan muntah pada lingkungan dan orang-orang.
Maklum. Peradaban dari dulu sampai sekarang pun belum bisa lepas dari peradaban perut. Yang selalu diurusi tak jauh dari perut. Tak pelak otaknya pendek. Tak mampu berpikir panjang, sebab satu-satunya tujuan adalah bagaimana agar kenyang dengan berbagai cara. Tak peduli memakan jatah orang lain, tak takut merampok hak rakyat, tak acuh pada kebutuhan dhuafa. Penting perut sendiri kembung, yang lain kelaparan biarin. Keparat! Itu kenapa saya sepakat jika ‘Aku’ layak mencekik para koruptor—meski di sini tak ada sedikit pun peran negara.
Lapar satu garis linier dengan miskin. Meski kredo semacam to be poor is never free cukup relevan, tapi seperti protes ‘Aku’ pada tuhan, “Engkau menggunakan kuasamu terhadapku, padahal engkau tahu bahwa aku tak pernah tunduk oleh segala pertentangan” (hal. 197) ‘Aku’ justru melawan kemiskinannya tersebut dengan pola pikirnya yang aneh. Menurutnya:
“Masalahnya ialah bahwa kemiskinanku membuat inderaku semakin tajam, sehingga hal-hal yang kurang menyenangkan, ya, kuulangi sekali lagi, hal-hal yang kurang menyenangkan, terasa jauh lebih parah olehku. Tetapi ada keuntungannya juga, hal ini dapat membantu dalam keadaan tertentu. Orang cerdas yang miskin akan jauh lebih peka terhadap keadaan di sekitanya dari orang cerdas yang kaya. Orang cerdas yang miskin harus sangat berhati-hati sebelum melangkah, mendengar penuh curiga pada setiap kata yang didengarnya dari orang-orang yang berpapasan dengannya, jadi setiap langkah yang diambilnya merupakan tantangan bagi pikirannya dan perasaannya, merupakan suatu karya baginya. Ia mudah menangkap arti suatu kata dan ungkapan suatu perasaan, jiwanya penuh luka bakar.” (Lapar, hal. 212)
Entah saya pernah mendengar di mana, bahkan hanya dengan selembar tisu dan pena penulis bisa berkarya. Dunia begitu mirip kembang api dan pesta realita menjadi bahan yang tak henti-hentinya dijadikan karya. Lapar jelas menjadi proyek abadi Knut yang menjelaskan perjuangannya menjadi penulis. Kondisi lapar menjadi semacam inspirasi bagaimana kreatifitasnya sangat panjang. Mengingat Knut sendiri adalah anak dari seorang buruh miskin yang ketika Knut muda dititipkan pada pamannya yang nirkasih.
Pun di negaranya, hingga sekarang Knut masih dicap sebagai pengkhianat negara. Takkan Anda temui nama jalan di Oslo tertulis namanya, patung yang menggambarkan dirinya, sampai toko buku loak di pinggiran jalan menghujatnya. Hubungannya dengan Hitler saat Perang Dunia II dianggap mencoreng penderitaan rakyat Norwegia, ditambah dia juga memberikan hadiah nobelnya kepada Goebbels, Menteri Kebudayaan Jerman. Sebenarnya Knut menjadi kambing hitam. Padahal hubungannya dengan Hitler dan soal hadiah itu digunakan alat Knut untuk melobi pemerintah Jerman (Hitler di dalamnya) agar memberi pengampunan pada orang-orang Norwegia yang ditawan.
Pun Knut berjasa memamerkan pelosok jalan Christantia ke dunia dan hingga sekarag tetap menjadi garda depan penggagas sastra realisme modern. Bisa dilacak dari karya Knut yang lain, seperti Mysteries; Editor Lynge; Pan; Victoria. Dia menginspirasi Hermann Hesse, Ernest Hemingway, Isaac Bashevis Singer, William Faulkner, Maxim Gorky, sampai Eka Kurniawan. Lapar juga bisa dibandingkan dengan kisah sejenis, misal di “Down and Out in Paris and London” karya George Orwell atau “Notes from Underground”-nya Fyodor Dostoevsky.
Sayangnya, epistemologi novel ini tidak jelas. Tokoh ‘Aku’ tiba-tiba datang mak mbeduduk, tanpa cing cong latar belakang, darimana dia berasal, dan tidak ada konteks zaman yang dia bawa (meski dari tahunnya dibuat saat pra Perang Dunia I). Seolah sepaham dengan apa yang dianggitkan Foucault mengenai general history. Sejarah (dalam hal ini cerita) tak harus runtut dari akar sampai pucuk daun, tapi bisa dipecah serupa rhizoma, yang kita bisa bebas memulainya dari mana saja. Kekurangan lainnya, ‘Aku’ yang antisosial ini konfliknya akan lapar begitu monoton. Jika tak tahan, kadang monolognya menjemukan.
Bagaimanapun kegigihan ‘Aku’ selalu membuat saya terpukau. Bagaimana dia bisa menahan rasa sakit (sesakit dikutuk pengkhianat oleh negara sendiri). Bagaimana ketika salju turun di ‘kandang’ yang menjadi benteng terakhirnya, dengan tubuh kedinginan, dengan kulit yang mulai keriting dicengkeram suhu, dia menggigit jarinya sendiri sampai berdarah untuk mengusir dingin. Esoknya, bisa jadi ia memakan sampah kulit jeruk, kayu, sampai kertas. Manusia yang telah menjadi extra-omnivora. Dalam skena hidup ‘Aku’, rasanya pesan yang ingin dikatakan Knut jelas, kalau tak mau menderita, jangan jadi penulis!
Judul Lapar (judul asli Sult) │ Penulis Knut Hamsun │ Penerjemah Marianne Katoppo │ Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia │ Tebal xxi + 284 halaman│ Tahun Terbit 2013 (edisi asli 1890) │ Peresensi Isma Swastiningrum.