Home - Relasi Egaliter Lelaki dan Perempuan dalam film “Ki and Ka”

Relasi Egaliter Lelaki dan Perempuan dalam film “Ki and Ka”

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“Ibuku tak hanya duduk manis saja. Tanpa nama atau pangkat, seseorang tak ada nilainya begitu?” ucap Kabir tokoh laki-laki dalam film Ki and Ka. “Apakah mengurus rumah tangga bukanlah profesi?” tanya Kabir lagi, dan Kabir menjawab pertanyaannya sendiri bahwa mengurus rumah tangga merupakan seni terhebat di dunia. Jawaban ini Kabir utarakan pada Kia, seorang perempuan yang beberapa waktu lalu Kabir kenal dalam sebuah penerbangan. Hingga akhirnya Kabir dan Kia menjadi teman minum wiski di café langganan. Dengan bernada tinggi Kabir menegaskan kepada Kia, perempuan berambut ikal yang bekerja sebagai manager pemasaran di Marico, bahwa Kabir ingin menjadi seperti ibunya Ny. Bansal, seorang Ibu Rumah Tangga.

Film produksi Eros Internasional dan Hope Production yang menghadirkan dua tokoh (perempuan dan laki-laki) Kareena Kapoor Khan sebagai Kia dan Arjun Kapoor sebagai Kabir ini, menceritakan tentang relasi yang egaliter dan sensitif gender antara kedua tokoh tersebut.

Berawal dari pertemuannya di penerbangan oleh seorang wanita yang berkarir sebagai manager pemasaran di Marico, hingga mengajaknya berkencan di sebuah café sambil menikmati wiski. Kabir yang merupakan anak seorang kontraktor terkenal bernama Bansal yang dianggap menguasai setengah dari Delhi ini mulai tertarik dengan Kia, hingga ia menyusun pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan perempuan berambut ikal ini. Pada pertemuan ketiganya di café langganan, perkataan Kia sempat menyakiti hati Kabir, di mana Kabir merasa marah dengan pernyataan Kia yang menganggap bahwa pekerjaan sebagai Ibu rumah tangga merupakan hal yang remeh. Dari situ komunikasi antara keduanya sempat terputus, Kabir tak pernah menghubungi teman kencannya lagi. Kia menjadi merasa bersalah dengan kata-kata yang telah ia lontarkan beberapa waktu lalu. Hingga ia berusaha meminta maaf berkali-kali kepada Kabir, melalui beberapa pesan yang ia sampaikan lewat ponselnya, tapi tak ada respon dari Kabir. Hingga pesannya yang keempat, Kabir menyuruh Kia mengambil cuti untuk mengajaknya bertemu di sebuah taman.

“Kalau begitu, menikahlah denganku,” ucap Kabir setelah beberapa lama bercakap-cakap dengan Kia mengenai kehidupan yang harus dijalani seorang perempuan ketika ia menikah. Bagi Kia, perempuan harus menanggung beban berat dalam pernikahan. Kia menganggap segala tanggung jawab rumah harus dipaksakan pada perempuan ketika ia menikah. Dan hal itu (pernikahan) ia anggap bukanlah untuknya. Ia bukanlah wanita super yang bisa melakukan kedua pekerjaan antara mengurus rumah tangga dan pekerjaan kantornya.

Bermula dari sini, terciptalah hubungan yang lebih intim antara laki-laki dan perempuan yang sama-sama lahir pada 15 April ini namun dengan tahun yang berbeda Kia 1988 dan Kabir 1985, hingga akhirnya mereka berdua yang menyatakan saling jatuh cinta memutuskan untuk menikah dengan komitmen yang mereka sepakati dari awal. Kabir menginginkan mengurus pekerjaan domestik seperti yang dilakukan Ibunya, karena Kabir tidak terlalu tertarik dan berambisi dengan kantor dan karir sedang Kia yang tiga tahun lebih tua itupun akan tetap menjalankan karirnya sebagai manager pemasaran di Marico dan akan terus mengejar amisinya untuk meraih posisi yang lebih dari yang ia dapatkan saat ini.

Di hari pertama pasangan ini resmi menjadi suami dan isteri, Kabir sudah menunjukan keahliannya sebagai seorang Bapak Rumah Tangga. Di mana ia sangat terampil dalam mengerjakan berbagai pekerjaan rumah, bangun pagi, membuat kopi untuk istri dan mertuanya, serta mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya seperti menyapu, dan membersihkan rumah yang terlihat berantakan sebelumnya. Kabir bahkan sangat lihai membuatkan sarapan untuk istri dan mertuanya. Di sisi lain Kia sebagai istri yang juga berkarir sebagai seorang manager pemasaran menunjukan eksistensinya sebagai seorang istri yang cakap dalam mencari uang untuk keluarganya. Ia juga berhasil melakukan terobosan yang dianngap mengagumkan oleh perusahaan di mana ia bekerja. Sehingga Kia memperoleh promosi dari perusahaannya sebagai wakil direktur pemasaran.

Dalam film ini R. Balki yang merupakan sutradara sekaligus penulis naskah seolah ingin mengajak kita keluar dari stereotif yang melekat pada budaya bias gender di mana pekerjaan domestik seperti mencuci, memasak, merapikan tempat tidur dan pekerjaan rumah tangga lainnya dianggap sebagai “kodrat wanita”. Memahami kembali konsep gender, di mana gender merupakan semua hal yang dapat dipertukarkan antara laki-laki maupun perempuan. Yang bisa berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya. Maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lain. Dan itu Balki gambarkan dengan hadirnya dua tokoh utama yaitu Kia dan Kabir dengan relasi egaliter dan konsep kesetaraan gender yang ditonjolkan dari keduanya.

Konflik yang diangkat pun cukup menarik menggunakan latar belakang kultur dan kondisi sosial di India yang rupanya tak jauh berbeda dengan di Indonesia. Tak sedikit masyarakat ataupun publik yang belum open minded terkait dengan kesetaraan gender. Perempuan yang keluar dari ranah domestik dianggap keluar dari kodrat(buatan)nya sebagai seorang perempuan. Begitupun laki-laki yang masuk ke ranah domestik justru dianggap keluar dari “kelaki-lakiannya” atau bahkan dianggap merendahkan martabatnya sendiri sebagai laki-laki. Komunikasi dengan pola agresif yang dilakukan tokoh Kia tak jarang menimbulkan konflik pula diantara suami isteri ini.

Hal yang menarik dalam film Ki and Ka ini juga ditampilkannya relasi yang egaliter dalam ranah seksualitas yang terjadi antara pasangan suami isteri ini (Kia dan Kabir). Film ini seolah mencoba merekonstruksi pemikiran masyarakat tentang seksualitas yang terjadi di masyarakat. Tentang dominasi laki-laki dalam ranah aktivitas seksual antara suami dan isteri. Dalam film ini, tokoh perempuan (Kia) juga digambarkan sebagai sosok istri yang juga punya hak dan suara untuk mendapatkan kenikmatan seksualitas. Sesuai dengan pernyataan gerakan feminis bahwa seksualitas adalah yang menguntungkan kedua belah pihak atau tidak ada keterpaksaan di antara keduanya (compatible identification of sexuality). Yang artinya keduanya akan sama-sama menikmati aktivitas seksualitas yang tengah dilakukan tanpa adanya dominasi maupun mendominasi. Melakukan upaya pembebasan ideologi seksualitas di mana perempuan ditempatkan sebagai “the second sex”.

Film ini lumayan menarik untuk ditonton bersama dan diselingi dengan sedikit diskusi ringan terkait gender sambil meminum secangkir coklat panas. Film yang memberi pesan bagaimana menjalin relasi yang egaliter antara laki-laki dan perempuan, serta mengajak kita untuk open minded terkait kesetaraan gender. Walaupun ada satu scene yang kurang mengena pada diri saya pribadi, terkait sikap yang ditunjukan tokoh Kia dalam memahami kehamilan yang dianggap sebagai suatu cara penguasaan atas diri perempuan yang dilakukan oleh laki-laki. Saya jelas berbanding terbalik saya justru menganggap rahim adalah sebuah anugrah, kodrat, yang dimiliki perempuan. Begitu pula kehamilan yang saya anggap sebagai sebuah potensi yang dimiliki pula oleh perempuan.

Judul Film Ki and Ka │ Sutradara R.Balki │ Tanggal Rilis 1 April 2016 │ Durasi 126 menit │ Genre Drama │ Peresensi Wulan Agustina Pamungkas