Lpmarena.com, Sesrawungan #1 bertajuk Wang Sinawang merupakan ruang bertemunya komunitas lintas iman untuk saling bertegur sapa, berbagi ide, dan menuangkan gagasan. Wang Sinawang membuat suatu tirai yang bisa ditengok dan disibak antar lintas iman untuk saling mengenal. Bukan suatu tembok tinggi yang di sana orang saling mencurigai. Enam komunitas lintas iman akan hadir dalam Wang Sinawang yang berlangsung dari tanggal 16-30 November 2016.
Pada Kamis (17/11), di Ruang Gong Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Sesrwungan #1, mendatangkan komunitas Budda Maitreya dan komunitas Narayana Smrti Ashram untuk menampilkan pertunjukan dan disusul diskusi bersama di panggung utama PKKH. Diskusi mendatangkan Suryanto dari Narayana Smrti Ashram dan Pandita Lusia Anggraeni dari Budha Maitreya, yang dipandu oleh Hairus Salim sebagai moderator.
Narayana Smherti Ashram merupakan tempat pembelajaran (ashrama) agama Hindu. Komunitas ini juga merupakan perpanjangan dari komunitas internasional, yakni Hare Krishna. Para penghuni asrama melaksanakan ibadah hariannya sebanyak dua kali, pagi dan malam.
Dalam kesempatan ini, Suryanto berbicara tentang banyak hal mengenai Hindu juga smrti ashram berserta ajarannya. Salah satunya, Suryanto bercerita mengenai catur warna yang dikenal sebagai kasta, yang di dunia saat ini artinya sangat berbeda dari aslinya. Kasta merupakan pembagian masyarakat menurut perang, atau dalam konteks sekarang adalah pekerjaan.
Jika diibaratkan tubuh, Brahmana berperan sebagai kepala, Ksatria sebagai tangan, Waisya sebagai perut, dan Sudra sebagai kaki. Dalam konsep realitas, kita dapat menemukan kasta semisal Brahmana dalam bidang pekerjaan seperti guru, ulama, atau pendeta. Ksatria dalam pekerjaan melindungi negara, semisal polisi atau densus. Waisya ada pada orang-orang yang bekerja sebagai petani dan pedagang. Sudra berperan sebagai penopang, semisal para buruh.
Jadi, kasta di sini lebih kepada karakter atau bakti seseorang. Ini tercermin dalam dharma atau sifat kekal dalam sesuatu yang itu tak bisa dielak, seperti rasa pedas dalam cabai. “Kapanpun Dharma merosot, Aku (tuhan dalam kepercayaan Hindu-red) akan datang,” ucap Suryanto. Ia menambahkan, dharma paling dasar dalam keseharian seperti empat prinsip yang dimiliki Smrti Ashram, yakni: tidak makan daging dan telur, tidak mencuri, tidak minum teh dan kopi, serta tidak melakukan zina.
Komunitas kedua, yakni Buddha Maitreya yang merupakan komunitas orang-orang yang beragama Budha, yang berdiri di Yogyakarta sejak tahun 1969, tepatnya di Vihara Bodhicita. Di dalam Buddha Maitreya ada tiga kebaktian, pagi, siang, dan malam. Doktrin utama Maitreya adalah kasih. Kasih yang tercermin dalam kehidupan kita, kasih yang tidak membeda-bedakan. “Ketika ada orang kita sentuh dengan kasih, dia akan jadi pengasih juga,” kata Lusia. Ia menambahkan Budhha Maitreya ingin mewujudkan keluarga yang harmonis. Dunia yang harmonis adalah dunia yang satu keluarga.
Dalam kitab Tripitaka, Buddha Maitreya merupakan Buddha masa depan. Ia membawa kasih yang universal bagi pada umat manusia. “Dipukul tak melawan, dimarah tak membalas” merupakan sifat pribadi Budha Maitreya yang tertinggi. Di dalam vihara ini juga menekankan nilai-nilai moral. Salah satu yang terpenting adalah bakti. “Ketika anak bisa berbakti pada orang tua, dia juga bisa berbakti pada negara,” ujar Lusia.
Ajaran moral lainnya yakni tertuang dalam ajaran Sebutir Nasi, Sejuta Keringat. Lagu ini mengajarkan tentang bagaimana seseorang menghargai sumber daya yanga ada. “Bayangkan satu orang Indonesia tiap makan menyisakkan satu butir nasi, jika ada 125 juta penduduk akan ada 127 juta butir nasi. Itu sudah berapa ton beras?” tanya Lusia.
Reporter dan Redaktur: Isma Swastiningrum