Published on April 20, 2018
Buku sekumpulan cerita berjudul Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini dianggit oleh Eko Triono. Buku ini berangkat dari keliaran imajinasi penulis dengan teknik yang eksperimental dan metafiksi. Kalimat “Sastra itu bebas” berhasil diamini oleh penulis yang juga sebagai staf pengajar di Universitas Mercubuana Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Maka, jika boleh berpendapat, Eko Triono banyak memberikan “trobosan” melalui buku Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini.
Buku yang ditelurkan bersama Penerbit Basabasi ini adalah bacaan paling unik, menggelitik, dan nyentrik yang pernah menyesaki meja baca saya. Dengan ketebalan 220 halaman, buku ini dikemas oleh 26 (yang Insyaallah) cerita. Anton Kurnia dalam pengantarnya mengungkapkan ekspresi kekaguman pada keliaran Eko Triono. Anton Kurnia—masih dalam pengantarnya—juga menuturkan bahwa kumpulan cerita ini adalah agen pertempuran antara pengarang dan pembaca.
Kamu Sedang Membaca Buku Ini saya katakan “baru”. Baru di sini adalah mengenai ide cerita, pengemasan, dan kebebasannya yang mengaburkan kaidah maupun unsur-unsur yang teoritis. Tampak nyalang keberanian Eko dalam menulis kumpulan cerita ini. Berlatar belakang nominator Kusala Sastra Khatulistiwa 2016 tak berarti membuat Eko malu-malu untuk menulis bahkan menerbitkan buku yang terbilang bebas dengan teknik eksperimental dan metafiksi tersebut.
Pembaca yang menyelami buku Eko Triono ini juga diajak untuk benar-benar menyelami dengan membuka kacamata renangnya. Pembaca “dipaksa” berpikir dan terlibat aktif saat menyelami buku ini walau dalam mata dan otak yang berkunang-kunang. Salah satunya ialah dalam cerita berjudul Cerita dalam Pertemuan Kita. Dua kata awal tampak biasa dan “normal”, menginjak pada kata ketiga, pembaca akan dibuat bingung. Dalam cerita pembuka itu, tokoh utamanya adalah Kabar dan Apa. Sejenak akan terasa bingung, mengingat dua kata awal yang saya sebutkan tadi adalah dialog: “Apa Kabar?”. Dialog tersebut adalah pertanyaan, akan tetapi yang menjawab ialah Kabar.
Lanjut pada judul cerita kedua, pembaca akan masih disemuti pertanyaan-pertanyaan. Berikut saya tuliskan cerita pada judul kedua ini:
Cerita dalam Satu Kata
CERITA.
Sudah. Isi dari cerita itu hanya satu kata yang diimbuhi satu tanda baca saja. Mungkin jika diraba-raba, banyak pembaca yang akan mengumpat setelah baca cerita ini. Bagaimana tidak, keanehan tampak begitu jelas di mana judul cerita empat kali lipat lebih panjang dari isi ceritanya. Jika ditelisik lebih jauh lagi, masih dalam konteks pembaca berkarakter suka mengumpat, maka umpatan-umpatan akan bertebaran jika membaca cerita keempat belas. Ini jauh lebih parah dari Cerita dalam Satu Kata. Judul pada cerita keempat belas ini memakan satu halaman full. Jika dihitung-hitung, judul cerita tersebut berisi 101 kata dan isi cerita hanya tiga kata saja. Tiga kata yang lalu dibumbui coretan tanda tangan. Namun, judul dan isi sebetulnya bisa dibalik penempatannya dan tidak akan mengubah maksud cerita—jika secara makna mungkin berubah–.
Permainan Eko Triono kembali digelar pada cerita berjudul Cerita Pendek dan Cerita Panjang. Cerita ini berisi tentang dua tokoh yang saling berdebat tak mau kalah dengan kelebihan yang mereka punya. Dua tokoh tersebut adalah Cerita Pendek dan Cerita Panjang. Konflik dalam cerita ini dibangun ketika mereka saling merebut dan meributkan diri tentang kedudukan siapa yang paling mulia di mata pembacanya. Banyak unsur faktualitas yang disusun dalam cerita ini meski pengemasannya tetap dalam bentuk fiksi mengingat tokoh ceritanya hanyalah Cerita Panjang dan Cerita Pendek.
Keunikan selanjutnya dihadirkan Eko Triono pada cerita berjudul Cerita dalam Banyak Katanya. Alur dalam cerita ini dikemas dalam bentuk kumpulan kata beserta arti dari kata tersebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), selanjutnya ia memberikan contoh dengan kalimat-kalimat yang puitis yang dan sampai pada pembaca. Contoh cuplikan cerita:
Serius/se-ri-us/ /serius/a
1 sungguh-sungguh;
Kamu tahu cintaku padamu sangat–,tidak bergurau; kamu pun mengerti bahwa aku – soal ingin menikah denganmu dan membuatkan seribu puisi dalam satu malam sebelum ayam jantan berkokok.
Dalam fisiknya, hampir tiap judul memiliki keunikan sendiri-sendiri. Selain yang sudah disebutkan di atas, ada juga cerita yang fisiknya tidak selayaknya cerita biasa. Cerita ini berjudul Cerita dalam Ulangan Harian Kita di mana cerita tersebut dikemas seperti soal sebuah ulangan atau tes. Bahkan, ada opsi a, b, c, d, dan e layaknya soal pilihan ganda. Selanjutnya ada cerita berjudul Cerita dalam Resep Membuat Hantu. Cerita ini berisi langkah-langkah membuat hantu, namun dibalut seperti teks prosedur yang lengkap dengan bahan, bumbu, dan metode atau langkah yang harus dilakukan. Ada lagi pada Cerita yang Mengancam Mendatar dan Mengancam Menurun yang menawarkan bentuk cerita layaknya soal Teka-Teki Silang (TTS).
Tipografi juga ikut disabet dalam beberapa cerita di buku ini. Tipografi yang dalam penggunaannya biasa ditemui dalam puisi, kini hadir di buku karya Eko Triono ini. Sebut saja pada cerita berjudul Cerita Berbingkai Bangkai tentang Berita Derita Kita. Tipografi tampak jelas dalam isi cerita yang hanya berisi beberapa kata saja. Isi cerita ini dirangkai dengan unsur estetika tersendiri baik dalam bentuk fisik, maupun tiap kata yang semua mengandung rima.
Secara keseluruhan, Eko Triono menawarkan kebaruan dalam sebuah prosa berbentuk cerita. Dalam tulisannya, secara tidak langsung ada persuasif yang mengajak pembaca terlibat aktif dan berpikir. Jika dilihat secara ketentuan dan kaidah sastra yang sudah ditetapkan, Eko Triono tentu masih jauh dari kata seorang hamba yang penurut kepada si empu pemberi kaidah ini. Namun, dengan segenap keberanian Eko Triono, kumpulan ceritanya ini mampu memberikan pendekatan tersendiri kepada pembaca dan membiarkan pembaca tualang dalam alam imajinasi ketika menyelami hingga palung terdalam dala buku ini.
Judul: Kamu Sedang Membaca Buku Ini
Penulis: Eko Triono
Penerbit: Penerbit Basabasi, Yogyakarta
Ukuran/Tebal: 220 hlmn/14 x 20 cm
ISBN: 978-602-6651-67-9
Tahun Terbit: Desember, 2017
Peresensi: Tsaqif Al Adzin Imanulloh