Home KANCAH Menimbang Keadilan Pengadaan Tanah Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Menimbang Keadilan Pengadaan Tanah Pembangunan untuk Kepentingan Umum

by lpm_arena

Published on July 17, 2108

Oleh: Rodianto*

Dalam perkembangan ketatanegaraan kita, negara memiliki posisi yang dominan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kedudukan tersebut didasarkan pada kewenangan yang secara konstitusional adalah sah. Sebagai pihak yang memiliki bergaining position, tentu sangat penting bagaimana negara ikut campur tangan menentukan arah kebijakan guna mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara. Namun wewenang yang sedemikian luas tersebut harus dikontrol agar tidak bertindak secara sewenang-wenang.

Konstitusi memberikan jaminan terhadap keabsahan tindakan hukum negara. Sepanjang tindakannya sejalan dengan koridor konstitusi, maka dapat dijadikan pembenaran dan diakui secara legal. Oleh karena kewenangan dan legitimasi hukum tersebut, terdapat hak dan kewajiban yang salah satunya adalah hak penguasaan negara atas tanah sebagai turunan dari hak bangsa Indonesia. Hak penguasaan atas tanah diberikan dalam rangka agar terciptanya keadilan, melalui penggunaan dan pemerataan distribusi tanah serta pengelolaan yang tepat sasaran.

Hak penguasaan yang dimaksud memiliki garis sambung secara linier pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang sangat negara-sentris, secara harfiah berbunyi, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam hal ini negara ditempatkan sebagai katalisator sekaligus pengatur. Posisi strategis yang berbanding lurus dengan kewenangan luas yang dimilikinya merupakan sarana primer guna mencapai kemakmuran masyarakat.

Hak penguasaan termasuk di dalamnya atas tanah. Tanah merupakan salah satu bagian dari serangkaian atau sebagian penguasaan oleh negara yang telah diatur di dalam undang-undang. Hak menguasai inipun sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria diakui sebagai hak tertinggi kedua setelah hak bangsa Indonesia.

Adapun kewenangan yang terdapat di dalamnya bersifat publik, yakni: mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Sehingga yang menjadi subjek adalah negara republik Indonesia.

Sebagai subjek hukum tentunya negara memiliki hak bertindak secara hukum dan mengadakan tindakan-tindakan dalam melangsungkan kenegaraan, termasuk mengalihkan tanah yang dikuasainya tersebut bagi pembangunan. Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum merupakan landasan hukum atas tindakan negara melalui perangkat pemerintahan. Di dalam undang-undang tersebut, masyarakat dapat melepas hak penguasaan atas tanahnya dengan memperoleh ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

Namun yang perlu digarisbawahi adalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakataan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan keselarasan (Pasal 2 UU No. 2/2012). Artinya pembangunan untuk kepentingan umum selain bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat, juga pelaksanaannya harus didasarkan pada asas-asas tersebut agar tidak ada pihak yang dirugikan. Di samping itu, adanya jaminan pemenuhan hak berupa kepentingan hukum dan ganti kerugian kepada pihak yang berhak.

Lantas, dapatkah pengadaan tanah demi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut dipaksakan? Jika mengacu pada pelaksaannya, pengadaan tanah harus mempertimbangkan beberapa asas, salah satunya asas kemanusiaan. Artinya, pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan dengan memberikan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara secara proporsional. Dengan kata lain, proses pelepasan hak tersebut dilakukan secara sukarela dengan pendekatan persuasif, yang memang ditujukan untuk pembangunan perekonomian yang akan berdampak baik kepada masyarakat, dan lain sebagainya.

Terlepas dari konfigurasi politik hukum pemerintahan, pemaksaan terhadap masyarakat agar melepas status kepemilikan atas tanahnya adalah tindakan inkonstitusional. Penggunaan cara yang tidak patut seperti teror, intimidasi dan ancaman terhadap pihak yang berhak merupakan tindakan ilegal yang harus dihindari. Jika dipaksakan, bukan tidak mungkin cita-cita mencapai kemakmuran masyarakat hanyalah sebatas omong kosong. Sebab pembangunan tidak hanya melibatkan satu instrumen pemerintah saja, melainkan semua kalangan sampai unsur masyarakat yang wilayah tanahnya masuk dalam rencana pembangunan berdasarkan tata ruang dan wilayah suatu daerah.

Kepentingan Umum dan “Peminggiran” Rakyat Minoritas

Frasa ‘Kepentingan Umum’ sudah menjadi narasi panjang dalam pembangunan. Selama ini, pembangunan digencarkan dengan tidak meninggalkan alasan tersebut. Seolah ia merupakan menu wajib yang tidak boleh diabaikan dalam setiap menyuguhkan hidangan. Dan barangkali, hidangan yang baik adalah hidangan yang santapannya diidealkan mampu dilahap setiap lapisan masyarakat.

Berbagai penafsiran dilakukan, persepsi dan definisi dibangun agar sejalan dengan pembangunan dan kepentingan yang melatarbelakanginya. Secara universal, frasa tersebut mendudukkan seluruh masyarakat di atas segala-galanya dan memiliki tujuan serta peruntukan sosial yang luas. Menurut Maria SW Sumardjono, Kepentingan Umum dinyatakan dalam arti ‘peruntukannya’ yaitu kepentingan  bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan.

Sedangkan untuk pengadaan tanah, konsep kepentingan umum dijabarkan dalam Keppres No. 55/1993, bahwa terdapat 3 (tiga) ciri yaitu kepentingan seluruh masyarakat, kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan tidak dipergunakan untuk mencari keuntungan. Artinya, interpretasinya dibatasi pada terpenuhinya ketiga ciri tersebut.

Dalam Perpres No. 36/2005 jo Perpres No. 65/2006 disadari bahwa persepsi kepentingan umum belum tentu dapat dinikmati semua masyarakat. Hal ini memungkinkan adanya elemen masyarakat minoritas yang akan tersisihkan dalam mempertahankan tanahya. Warga dan relawan yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP), perlawanan di Tamansari, Dago Elos, Kebon Jeruk, dan lainnya adalah rentetan fakta bahwa pembangunan sangat tidak ramah terhadap kalangan minoritas, utamanya bagi mereka yang mati-matian mempertahakan tanah leluhurnya.

Tanah merupakan sarana untuk meneruskan hidup, melangsungkan keturunan dan yang terpenting adalah menjaga ‘amanah’ leluhur. Bagi sebagian masyarakat, keberadaannya tidak hanya memiliki hubungan sosial-materiil dengan pemiliknya, tetapi juga menjadi penghubung dengan mediang pendahulunya. Karenanya memisahkannya, sama halnya dengan memutus mata rantai keluarga yang berakar kuat tersebut.

Pada tataran ini, masyarakat kecil minoritas seringkali tidak memiliki bergain posisi yang kuat. Seintens apapun penolakan yang digalakkan, jika menyangkut kepentingan mutlak negara dan para dedengkot kapitalis tentu akan melakukan cara-cara yang sangat tidak wajar, termasuk teror dan intimidasi serta pemaksaan. Tentu kenyataan ini adalah ironi demokrasi dalam negara yang berdasar atas hukum, penyertaan masyarakat yang akan terdampak sebagaimana dijelaskan di atas hanya kecil kemungkinan untuk diikutsertakan. Kekuasaan tetap menjadi hantu gentayangan berkedok negara bagi masyarakat minoritas.

 

*Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Gambar: Jogja Darurat Agraria