Home BERITA PANGGIH: PERTEMUAN ANTAR DISIPLIN SENI

PANGGIH: PERTEMUAN ANTAR DISIPLIN SENI

by lpm_arena

Lpmarena.com- Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2019 menggelar acara bertajuk “Panggih” di Museum Monumen Diponegoro, Senin malam (15/07). Acara ini menjadi ruang pertemuan dan dialog antar lintas disiplin seni.

“Panggih, berasal dari bahasa Jawa yang berarti pertemuan,” ujar Gunawan Maryanto selaku kurator dalam acara tersebut.

Beberapa disiplin seni yang ditampilkan di antaranya adalah teater, tari, musik, pameran busana, dan makanan. Sementara, sandang dan pangan menjadi dua elemen tradisi masyarakat Jawa yang coba dipertemukan.

Sandang atau busana merupakan elemen yang menggambarkan identitas kolektif masyarakat. Ditampilkan dengan melibatkan Nita Azhar, seorang perancang busana asal Yogyakarta. Kreasi busana yang dikenakan pada enam patung merepresentasikan narasi alternatif yang berkaitan dengan laskar perang Pangeran Diponegoro.

Elemen pangan ditampilkan oleh Dapoer Bergerak dengan menyajikan Sate Kene. Makanan ini terinspirasi dari Ratu Ageng Tegalrejo, nenek Pangeran Diponegoro yang mampu menciptakan kemandirian pangan sebelum Perang Jawa.

Sate Kene berbahan dasar lima hasil bumi utama Tegalrejo pada masa Ratu Ageng. Dengan urutan sate pala kependhem (umbi-umbian), apem (beras), ketan, dan pisang yang menyimbolkan penempatan sesuai fitrahnya. Sate Kene disajikan dengan juruh gula jawa kemudian disajikan secara gratis kepada para pengunjung.

Pertemuan Ruang

Gunawan Maryanto, mengatakan bahwa Panggih juga merupakan pertemuan ruang dengan memilih lokasi di Museum Monumen Diponegoro. Hal tersebut merupakan salah satu cara FKY untuk menghidupkan ruang atau situs yang jarang disentuh, dilihat, dan dikunjungi orang-orang. Melalui penggunaan situs rumah Pangeran Diponegoro, pengunjung akan mengetahui bagaimana perjuangan Pangeran Diponegoro dan kemandirian pangan yang dibangun Nyi Ageng.

Dalam acara Panggih ini pula terdapat gelaran teater, dibawakan oleh Andy Eswe yang berperan sebagai orang gila. Ia menarasikan keadaan pada zaman perang Pangeran Diponegoro. Acara kemudian disambung dengan pertunjukkan tari yang dibawakan oleh Anterdans.

Senada dengan Andy Eswe, pertunjukkan tari ini juga menggambarkan masa perang Pangeran Diponegoro. Gelaran musik oleh Umar Haen diadakan setelah pertunjukkan tari dan ditutup dengan makan bersama.

Monica, salah satu pengunjung yang merupakan penduduk asli Tegalrejo, mengatakan bahwa acara kebudayaan harus lebih digalakkan. Anak-anak muda perlu dipacu untuk lebih mengetahui kebudayaan Indonesia. Namun ia menyayangkan acara tersebut justru tidak terlalu ramai dikunjungi.

“Lumayan, sih, tapi agak sepi ya,” pungkas Monica kepada ARENA saat acara berlangsung.

Reporter: Nur Hidayah

Redaktur: Fikriyatul Islami