Revolusi teknologi yang melahirkan ekonomi digital membuka peluang baru bagi kaum muda. Tapi, karena tak ada regulasi kerja jelas, mereka dibayang-bayangi kerentanan kerja.
Lpmarena.com– “Riset ini sangat penting untuk mengimbangi narasi dominan yang mengglorifikasi aspek postif dari revolusi industri 4.0 atau ekonomi digital,” jelas Falikul Isbah kala menanggapi hasil penelitian Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) di Ruang Seminar LPPM Universitas Sanata Dharma (USD), Jumat (21/02).
Riset yang dimaksud Falikul berjudul Buruh Digital: Peluang Keuntungan dan Intaian Kerentanan, terbit tahun ini, dan ditulis oleh tujuh orang peneliti. Salah satunya B. Hari Juliawan, akrab disapa Romo Benny.
Penelitian dilakukan dalam rangka mengkaji kelayakan hidup pekerja digital di Yogyakarta.
Penelitian difokuskan ke Yogyakarta karena kota ini masuk peringkat dua Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TKI), tapi kesejahteraan pekerjanya berada di titik terendah se-Indonesia, terlebih buruh digital.
Jenis pekerja digital yang dimaksud Romo Benny mengacu definisi Neilson: “Pekerjaan utamanya dimediasi atau memakai piranti, jejaringan dan perangkat model digital.”
Model bisnis baru tersebut sebagai akibat dari ekonomi digital yang memunculkan otomasi kerja. Bentuknya platform daring, relasi kerjanya pun baru: aplikasi, pekerja atau mitra, dan klien. Jenis pekerjaannya freelance, mitra, dan kontraktor independen.
Romo Benny mengatakan, “Ekonomi digital memang menawarkan peluang baru, tapi dibayang-bayangi oleh berbagai persoalan.”
Peluangnya, kata Romo Benny, terbuka terutama bagi kaum muda yang biasanya kesulitan memasuki sektor-sektor ekonomi mapan atau formal. Hobi, bakat, pengalaman, jejaring pertemanan dapat diubah menjadi mesin pencari uang.
Pada saat yang sama, pemberdayaan dan kesempatan tersebut diintai oleh kerentanan. Menurut Romo Benny, biang keroknya adalah kealpaan regulasi pemerintah yang mengaburkan status dan relasi kerja berbasis platformdaring tersebut.
Status pekerja digital buram: tidak ditempatkan sebagai buruh atau pekerja sebagaimana lazimnya. Pekerja digital, oleh platform daring, lebih sering disebut mitra kerja. “Kalau mitra kerja, kenapa platformdaring yang mengontrol dan mengendalikan secara dominan?” tanya Romo Benny.
Lebih lanjut, Romo Benny mengungkapkan peraturan terkait relasi kerja platform daring memiliki banyak lubang. Relasi kerja model baru ini mementahkan banyak hak pekerja seperti delapan jam kerja per hari, upah minimum, hak berserikat, hak cuti dan libur, hak mogok kerja dan lain sebagainya.
Sebut saja, waktu kerja delapan jam per hari kini diganti dengan istilah kerja fleksibel. Padahal waktu kerja buruh digital sama sekali tidak lentur. Sebab, mereka dibebankan target tertentu yang kerjanya bisa lebih dari delapan jam.
Romo Benny mencontohkan ojek daring yang jam kerjanya bisa sangat panjang. Kerja mereka bisa lebih dari delapan jam tanpa dihitung lembur karena ukurannya adalah ‘kejar target’.
Bahkan tidak ada regulasi yang mengatur upah minimum pekerja digital. Harga dan tarif ditentukan pemilik platform. Mereka mengatur tarif tersebut dengan algoritma tertentu secara tidak transparan kepada pengemudi sebagai mitranya.
Menurut Romo Benny, problem lain yang juga dihadapai buruh digital, kecuali ojek daring adalah sulitnya berserikat.
“Padahal, perjuangan buruh hanya mungkin dengan berserikat,” pendek Romo Benny.
Tidak hanya itu, problem buruh digital juga tidak diberi jaminan sosial dari penyedia platform. Kerugian, kecelakaan kerja, kerusakan kendaraan, dan semacamnya ditanggung oleh buruh.
Para buruh digital itu hanya akan dapat jaminan kesehatan dan asuransi ketika membayar secara mandiri kepada negara, misalnya Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS). Pada konteks ini, hubungan tripartit antara negara, pengusaha, dan pekerja itu diabaikan. Negara lepas tangan, dan pekerja tak mendapatkan hak jaminan sosial mereka.
“Tidak ada gunanya peluang baru, kalau tidak bermartabat dan mensejahterakan masyarakat,” tutup Romo Benny mengakhiri sesi pertama pemaparan riset tersebut.
Menanggapi paparan Romo Benny, Intan Widuri, perwakilan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, mengiyakan adanya peluang baru pada perkembangan ekonomi digital. Tapi, Intan abai terhadap kerentanan yang mengikutinya.
“Kita ambil positifnya, abaikan negatifnya,” ujar Intan yang menggantikan Kepala Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Disnakertrans DIY Ariyanto Wibowo yang tidak dapat hadir.
Intan pun mengamini UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2013 belum mengatur status buruh digital sehingga dimasukkan kategori mitra kerja. Pasal 1 angka 15 UUK pun hanya menyebut syarat terjalinnya hubungan kerja. Tapi, ia malah menaruh harap pada omnibus law. “Jadi, Undang-Undang yang lama belum mengakomodir. Semoga RUU dalam omnibus law bisa mengakomodir,” singkat Intan.
Penjelasan Intan lantas direspon Falikul Isbal. “Kalau mitra kerja, kenapa kontrol seluruhnya ada di platform?” tegas akademisi di Departemen Sosiologi Fisipol UGM itu.
Falikul secara lebih tegas menolak istilah mitra kerja. Menurut hemat Falikul, tidak ada peluang bagi pekerja digital selama berada di bawah kontrol platform. Ia lantas menunjukkan hasil penelitiannnya tentang ojek daring yang memiliki tekanan tinggi, meski kerja fleksibel.
“Gayanya seperti fleksibel. Padahal, kalau tidak ngotot [mengejar target-red], ya, tidak dapat duit,” jelas Falikul, “belum lagi emotional work, dan sexual harrasment-nya,” imbuhnya.
Pekerjaan rentan macam itu, menurut Falikul, harus bisa dikategorikan dan dianalisis resikonya oleh pemerintah untuk membuat regulasi terkait.
Hubungannya dengan buruh digital, Falikul mengatakan pemerintah terlalu optimis meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perkembangan digital. Padahal, “Ekonomi digital hanya menguntungkan kaum terdidik yang mampu memanfaatkan peluang daring,” kata Falikul.
Bagi Falikul, ekonomi digital tak akan mampu meningkatkan kesejahteraan atau perekonomian masyarakat secara makro. Salah dua sebabnya karena model ekonomi digital sebatas perputaran jual beli dan minim produksi. “Saya khawatir, apa yang kita beli di platformdaring itu semuanya impor,” jelas Falikul.
Kalau kondisi sudah begini, pekerja prekariat atau rentan akan semain membludak. “Kalau dalam bahasa Jawanya mungkin sebagai pekerja serabutan,” timpal Falikul.
Senada dengan Falikul, Romo Benny menganggap ekonomi digital memang tidak bisa mengurai masalah ketimpangan. Ia malah semakin memperdalam ketimpangan sosial karena model kerjanya individualistik.
“Harus ada identifkasi lebih lanjut. Tidak hanya mengamini gegap gempita ekonomi digital,” pungkas Falikul.
Reporter: Hedi
Redaktur: Sidratul Muntaha