Saya belajar banyak hal di kampus Islam, tapi tidak dalam melihat kemiskinan. Meski saya disuguhkan dalil beserta tafsir setiap semester, hal ini semata demi mempelajari intisari sabar, tawakal dan qonaah. Buku kuliah kami nyaris kosong mengenai kemiskinan sebagai sebuah persoalan. Cara kami melihat kemiskinan, begitu pula cara dosen kami melihatnya, dan tujuan pendidikan tafsir dikembangkan adalah untuk menyikapi kemiskinan dengan satu kata: kepasrahan.
Singkatnya, kalam ilahi adalah ranah teologis, tak berbicara persoalan sosial, kemiskinan, dan ketimpangan.
Kesempatan saya membahas kemiskinan hanya sewaktu saya dan kawan-kawan mendiskusikan, kurang lebih, tentang “peran negara dalam memiskinkan.”Itu berlangsung pada 2015, saat pemerintah hendak mengganti regulasi pengupahan dari UU Ketenagakerjaan 13/2003 (secara tekstual cukup baik) menjadi peraturan pemerintah No. 78 Tahun 2015 Tentang pengupahan (PP 78/2015). Melalui formula pergantian tersebut, maka penentuan upah minimum tak lagi memperhitungkan nilai kehidupan hidup layak (KHL).
Penentuan upah minimum hanya mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional. Dewan pengupahan kini jadi mandul.
Dengan demikian, PP 78/2015 telah mencederai esensi utama demokrasi hubungan industrial, yakni dialog sosial dan perundingan bersama.
Selain itu, PP 78/2015 juga membuat pertumbuhan upah minimum sangat tidak kontekstual dengan kondisi ekonomi daerah. Karena pertumbuhan ekonomi dan inflasi mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
Tidak akan lagi terjadi peningkatan beragam di setiap wilayah. Misalnya, Pertumbuhan upah antara 2012-2015 yang sebagian besar wilayah menikmati kenaikan upah cukup tinggi, terkhusus pada tahun 2012-2013. Peningkatan itu dipengaruhi oleh faktor sosial-politik gerakan buruh. Pada 2012, contohnya, ada mogok besar-besaran menuntut kenaikan upah.
Setelah diterbitkan PP 78/2015, presentase kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan upah minimum kota (UMK) secara keseluruhan hampir seragam. Bisa kita lihat misalnya pada tahun 2016, 2017, 2018 menunjukkan kenaikan upah seragam, tapi menurun secara bersamaan. Presentase kenaikanya berkisar pada angka 11,5 %, 8,2 % dan 8,7 %.
Pemiskinan struktur melalui politik pengupahan itulah yang dikupas oleh Irvan Tengku Harja dalam bukunya, Metakuasa Perdagangan Global (2019). Menurutnya, politik upah murah adalah insentif dari negara untuk membantu perusahaan domestik mentransmisikan tekanan persaingan global, dan membebankan kepada buruh.
Melalui persektif sistem dunia (PSD), Tengku menganalisis rantai-rantai perdagangan internasional, menjelaskan tahap-tahap produksi dari hulu ke hilir serta pengaruh kebijakan negara mengalokasikan kekuatannya untuk meningkatkan keunggulan komparatif dan konteks rantai nilai global.
PSD muncul atas gagasan Immanuel Wallerstein, sebagai intisari dari teori pembangunan negara ketiga Neo-Marxis sebelumnya: modernisasi dan ketergantungan. Kedua teori tersebut dianggap sudah tak relevan lagi dengan perkembangan ekonomi-kapital dunia.
Singkatnya, PSD merupakan analisis dalam satu kesatuan yang sistemik, dengan referensi waktu yang panjang dan dalam ruang besar, untuk mewadahi perhitungan logis dan kekuatan penentu dari bagian terbesar suatu sistem terhadap sistem yang lebih kecil.
“Artinya, peristiwa tersebut berada dalam kerangka sistem sekaligus berada pada proses transformasi internalnya, serta keberlangsungan kedua proses tersebut.” (hlm. 8)
Ekonomi dunia dalam PSD adalah rantai tak terhingga dari struktur produksi dari beragam struktur politis yang terintegrasi. Logika dasarnya adalah surplus yang terakumulasi, kemudian membentuk jaring-jaring pasar. Dalam bukunya, Tengku juga menyebutnya jaringan produksi global (JPG).
Secara garis besar, Tengku menguraikan rantai perdangan global menjadi empat bagian. Pertama, lewat pengamatan historis, Tengku melacak sejarah dan perkembangan masuknya modal internasional di Indonesia. Kedua, perkembangan kapitalisme dan negara pasca-kolonial; neokolonialisme-imperialisme. Ketiga, jaringan produksi dan perdagangan internasional. Ke-empat, jaringan produksi regional.
Mari kita uraikan satu persatu.
Membaca Peran Negara dalam Jaringan Dagang.
Dalam jaringan produksi global, negara adalah salah satu perangkat paling penting. Perannya bisa dalam bentuk fleksibelitas kerja dan macam-macam insentif. Tentu saja tujuannya untuk menjaga daya saing di arena perdagangan internasional.
Negara juga mempunyai peran intervensi pasar. Dalam hal ini, ia juga punya tujuan untuk menjaga daya saing perusahaan yang berada dalam teritori perdagangan dunia. Oleh sebab itu, negara mempunyai peran sentral dalam kesejahteraan rakyat dalam ruang lingkup JPG.
Misalnya, negara dalam pandangan marxis klasik, memandang bahwa negara beserta seperangkat kebijakanya merupakan mesin represi bagi dominasi kelas-kelas berkuasa (borjuis) atas kelas proletar. Dengan demikian negara menjadi state apparatus.
Dalam perkembanganya, Luis Althusser mengoreksi teori negara marxis-leninis. Ia berpendapat bahwa terdapat realitas lain yang dengan jelas berada di sisi repressive state apparatus (RSA), yaitu ideological state apparatus (ISA). Misalnya, yang sangat erat hubunganya dengan status quo JPG, yakni institusi politik dan hukum.
Ideologi dalam sudut pandang Althusser adalah sejumlah subjek kecil yang berada pada posisi subordinat terhadap subjek absolut. Singkatnya, subjek dibentuk oleh kekuasaan, dimana kontrol moral diinternalisasi atas perilaku ditanamkan melalui acaman dan kekerasan. Konsep ini hampir sama dengan panopticon Foucault, yang beranggapan bahwa rezim pengawasan dan penghukuman yang terus-menerus berlangsung akan menciptakan kondisi bagi internalisasi moral. Dengan kata lain, terjadi perbudakan diri yang tidak disadari dengan mengamini ideologi penguasa melalui kebijakanya.
Sehingga yang terjadi kemudian adalah kebijakan politik dan hukum yang diberlakukan oleh penguasa menginternalisasikan kultur ekonomi JPG diterima oleh masyarakat sebagai kewajaran. Dan, tentu saja tak pernah menguntungkan kelas terbawah dalam masyarakat.
Hal semacam itu berlaku dalam banyak hal. Sepanjang negara belum mendudukkan kepentingan rakyat dalam posisi yang semestinya, Agung.
Sedikit Tentang Fundamentalisme Pasar
Perdagangan internasional merupakan modernitas perdagangan antar bangsa. Bisa dikatakan JPG merupakan bagian dari sejarah panjang dari perkawinan antara saudagar dengan aktor negara. Dalam sejarah ekonomi, musim kawin tersebut dikenal dengan era merkantilisme.
Esensi merkantilisme adalah mencari komoditas di negara asing. Kemudian dalam perkembanganya bermetamorfosa menjadi kolonialisme, dengan melakukan perluasan industri di negara koloni.
Tahap ekspansi ini masif terjadi bersamaan dengan revolusi industri. Inilah fase di mana kapitalis menemukan momentum awalnya melakukan internasionalisasi modal. Transisi pra-kapitalisme (komunalisme dan feodalisme) menjadi kapitalisme seutuhnya.
Internasionalisasi modal semakin masif ketika teori ekonomi modernisme Rostow dipopulerkan di negara-negara pasca-kolonial. Melalui teori developmentalisme, terdapat standarisasi yang ditetapkan yang menghendaki pembangunan negara industri modern. Dalam banyak kasus, karena keterbatasan modal dan teknologi maka negara pasca-kolonial ‘dibantu’ oleh modal dan teknologi asing.
Modal dan teknologi kemudian menjadi instrumen MNCs untuk ekspansi ke negara-negara pasca-kolonial melalui Foreign Direct Investment (FDI), join ventura, dan lain sebagainya. (hlm.21)
Indonesia sendiri mulai akrab dengan kredit pinjaman luar negeri sejak Orde Baru berkuasa, melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) I-IV, MP3EI, paket kebijakan ekonomi 1-16 tahun 2015, dan tentu saja Omnibuslaw. Kesemuanya sarat akan napas liberalisme pasar.
Lewat itulah fundamentalisme pasar bekerja.
Pasar, Negara dan Pemiskinan Struktural
Tengku mengamati, sekurang-kurangnya pada tahun 90-an, terdapat fenomena kemunculan aliansi-aliansi industri dalam penciptaan produk berteknologi tinggi. Fenomena tersebut membentuk citra MNCs sebagai pemimpin dalam hierarki aliansi. Lewat itu, ia hendak menggarisbawahi hubungan jaringan produksi dan politik yang amat erat.
Internasionalisasi modal secara garis besar didorong oleh dua mekanisme: ekspansi pasar melalui kerjasama perdagangan, ekspansi MNCs melalui FDI, dan perusahaan afiliasi dalam grup bisnis yang sama. (Hlm.108)
Posisi MNCs tak hanya sebagai sumber FDI semata, tetapi sekaligus sumber penggerak permintaan dan penawaran global. Jadi, para pemasok, vendor, dan penyedia layanan jasa merupakan pihak-pihak yang menjadi pelanggan MNCs. Sehingga hubungan MNCs dengan para afiliasinya bukan lagi vertikal (bertumpuk-tumpuk), melainkan bercabang dan meluas.
Hubungan itu berdampak pada transfigurasi tata kelola dan tata kerja kebijakan perdagangan negara. Dalam posisi demikian, negara harus meningkatkan daya saing industri guna menjaga tingkat kompetisi persaingan pasar ‘kontraktor’ global. Karena, bagi negara, keterhubungan antara konektivitas perdagangan dalam negeri dangan rantai pasok global akan berimplikasi terhadap neraca perdagangan.
Memang organisasi pemerintahan internasioanal paling memiliki peran strategis untuk memfasilitasi kelancaran lalu lintas perdagangan. Kemudian, pemerintah nasional berperan menginisiasi ratifikasi sebagai wujud komitmennya dalam perdagangan internasional.
Di kawasan Asia Pasifik, harmonisasi JPG intra-kawasan dikerangkai dalam komitmen pembangunan regional bersama. Di Asia Selatan dan Tenggara, The Comprehensive Asian Development Plan (CADP), di level Asia Tenggara, pembentukan ASEAN Economic Comunity (AEC) menjadi basis produksi kawasan. Kemudian level domestik, katakanlah Indonesia, merespon dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI). Selanjutnya MP3EI dijadiakan acuan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Sehingga baik CADP, AEC, MP3EI dan RPJMN, kesemuanya saling terkait satu sama lain. (Hlm. 128).
Ada dua kemungkinan kebijakan yang diambil Negara, ketika industri domestik berhadap-hadapan dengan pasar global yang mensyaratkan adanya fleksibilitas. Pertama, tetap melindungi buruh, dalam artian mengeluarkan kebijakan ketenagakerjaan proteksionis terhadap buruh. Atau mendukung kebutuhan industri, tentunya dengan relaksasi kebijakan ketenagakerjaan.
Sayangnya, negara kita, Indonesia memilih opsi kedua. Hampir semua kebijakan yang dibuat, mengabaikan buruh dan kelas tak berdaya lainnya. Kebijakan politik upah murah (seperti yang saya sebut di awal) sekaligus melengkapi fasilitas yang telah disediakan oleh negara berupa lingkungan pasar fleksibel.
Lengkap sudah penderitaan orang miskin.
Terlepas dari rumitnya membaca tabel gambar, tampaknya Tengku ingin membahas banyak hal dalam satu buku ini, sehingga penjabarannya kurang sistematis. Saya tercerahkan setelah membaca buku ini. Saking tercerahkannya, saya kepingin menyumpal dengan kaos kaki, mulut orang-orang yang mengatakan, “Kemiskinan hadir karena kemalasan, dan kita hanya butuh pasrah, dan bersabar”.
Buku Metakuasa Perdagangan Global | Penerbit Indie Book Corner | Terbit Tahun 2019 | Tebal Buku: 234 Halaman | Penulis: Irvan Tengku Harja | Peresensi: Ajid Fuad Muzakov