Home SASTRACERPEN Lima Puluh Tiga Ribu Rupiah

Lima Puluh Tiga Ribu Rupiah

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Udara malam menelisik melalui lubang-lubang rumahmu yang kelewat banyak. Cahaya kuning remang lampu kamar tidur tak mampu menghangatkan tubuhmu. Kamu merapatkan sarung yang menyelimuti tubuhmu, meringkuk di atas dipan berkasur sekeras kayu. Dingin, matamu tak kunjung terpejam.

Samar-samar terdengar langkah kaki mendekati rumahmu. Orang-orang itu datang lagi. Matamu semakin terjaga. Agaknya inilah yang membuatmu tak kunjung tidur setelah mendengar obrolan bapak-bapak di angkringan petang tadi. Malam ini kamu tak ingin melewatkan momen.

“Ada,” ucap seseorang.

“Rumah ini tak pernah absen meski miskin,” timpal yang lainnya.

“Omong-omong, disimpan di mana selama ini?”

“Aih, hal seperti itu masih kamu tanyakan. Tentulah rumah Kepala Desa. Sudah, ayo lanjut lagi.”

Langkah kaki terdengar lagi, mendekati tempat tidurmu, dan berlalu menjauh.

***

Sudah kali ketiga kamu mengusap peluh di pelipis. Tubuhmu yang sudah hitam nampak berkilat-kilat melawan terik matahari. Gerah yang amat sangat membuat perut keroncongan dan tenggorokan keringmu semakin terasa.

Minum es di siang bolong begini pasti terasa menyegarkan, batinmu. Tapi kamu tak punya uang untuk membelinya. Makanan terakhir yang masuk perutmu adalah gorengan 3 biji kemarin petang yang kautelan bersama bapakmu di angkringan.

“Uangmu sudah turun belum, Pak?” Tanya salah seorang di angkringan.

“Kalau sudah turun, aku tak akan beli gorengan buat ganjal perut begini.” Bapakmu menjawab sambil menunjukkan gorengannya.

“Betul, Pak. Pekerjaan hilang, uang tak kunjung datang. Bisa mati lama-lama begini,” sahut yang lain.

“Iuran seribu per hari saja terasa berat sekarang.” Yang lain tak mau kalah.

“Benar ya, Pak. Lagian desa kita aman-aman saja sejak gempa bumi 6 tahun lalu. Uang-uang itu harusnya digunakan buat yang lain. Iya, kan?”

Kamu hanya duduk manis di sebelah bapak, mengunyah gorengan sembari turut mendengarkan meski obrolan mereka sulit dipahami anak umur 8 tahun sepertimu. Tapi kamu merasa obrolan bapak-bapak itu benar. Sejak sawah bapakmu didatangi mesin-mesin besar dan ditimbun tanah, perutmu tak pernah kenyang. Bahkan sebelum pergi ke angkringan bapakmu berpesan agar hanya membeli gorengan. Uang bapakmu tak cukup untuk mengenyangkan perut tiga orang dengan nasi.

“Betul itu, aku setuju.” Bapakmu bersuara lagi,”coba kita bicarakan lagi nanti saat pertemuan warga.”

“Halah, orang kecil bisa apa, Pak? Malah makin buntung nanti.”

“Kalau ditotal sampai akhir tahun ini mungkin sudah terkumpul kira-kira 100 juta, betul tidak? “

Meski mengeluh, bapakmu tetap saja memasang uang koin seribu rupiah dalam gelas plastik yang ditaruh di depan rumah. Nanti setiap malam uang itu akan diambil oleh petugas yang sudah digilir.

Kata bapakmu, uang itu adalah dana darurat desa untuk bencana. Enam tahun lalu, gempa bumi meluluhlantakkan desamu dan wilayah-wilayah sekitarnya. Setelah pulih kembali, terjadi kesepakatan antar warga untuk mengadakan iuran sebesar seribu rupiah per hari. Ketika terjadi kejadian serupa, desa masih memiliki dana cadangan untuk tetap hidup.

Semua warga setuju dan bersemangat melaksanakan iuran. Hanya seribu rupiah per hari, tak akan terasa apa-apa. Lima tahun berlalu dan desa aman-aman saja. Paling pol hanya ada hujan angin yang merobohkan pohon pinggir jalan. Dana tak digunakan dan terus menumpuk.

Keadaan berubah sejak ada orang-orang berdasi datang ke desa. Tak lama kemudian, sawah-sawah warga didatangi kendaraan-kendaraan besar. Kamu terkagum-kagum melihatnya. Setiap rumah didatangi beberapa orang, dijanjikan uang dan keuntungan lain bagi mereka yang mau menjual sawah. Bapakmu salah satunya. Tapi hingga tanah menimbun sawah-sawah, uang tak kunjung datang.

Beralih pekerjaan tidak semudah yang dibayangkan. Beberapa warga beralih menjadi pedagang. Bapakmu hendak ikut-ikut, tapi tak punya modal dan keahlian. Berulang kali kamu melihat bapakmu dan juga bapak-bapak lain mendatangi rumah Kepala Desa menanyakan kepastian. Tapi perutmu tetap saja lapar.

Kamu berjalan sambil menendang kerikil yang berada di depan kaki, tersuruk-suruk meninggalkan kawan-kawanmu di lapangan. Mereka melarangmu ikut bermain karena kamu tak punya layang-layang.

Kamu hanya terus berjalan, mengikuti ke mana arah kerikil tertendang. Hingga benda kecil itu menyelisip di semak-semak pekarangan rumah. Seekor kucing muncul dari balik semak-semak itu, berlari terkejut sambil menggondol ikan asin. Kamu mendongak, itu rumah Kepala Desa.

Sebuah mobil mengkilap yang terparkir rapi di depan rumahnya kembali mengingatkanmu pada obrolan bapak-bapak kemarin petang.

“Eh, eh, kalian sudah pada lihat belum? Ada mobil mewah baru di depan rumah Kepala Desa.”

“Iya, tadi sewaktu mau ke sini aku juga lihat. Wuih, hebat betul mobil itu.”

“Kemarin lusa aku juga lihat Kepala Desa menurunkan beberapa perabot baru di rumahnya. Lemari, kulkas, dipan—“

“Jangan-jangan—“

“Hush!”

Tanaman bunga warna-warni nampak cantik menghiasi rumah itu. Kamu berjalan mendekat. Lantainya yang lebih putih dari gigimu berkilat-kilat terkena pantulan matahari. Kamu mendorong pintu rumah itu yang sudah terbuka sedikit.

Kepalamu yang berpeluh melongok ke dalam perlahan-lahan. Melihat tak ada siapa pun, kamu melongok semakin dalam hingga seluruh badanmu sudah berada di dalam rumah. Matamu membelalak melihat berbagai perabotan mewah memenuhi ruang tamu. Belum pernah kamu melihat benda-benda semacam itu kecuali dari televisi.

Semakin penasaran, kamu melangkah semakin jauh menjelajah rumah itu. Di dalam kamar Kepala Desa, kamu melihat sesuatu yang menarik perhatian. Di atas meja samping ranjang, terdapat sebuah bungkusan plastik lecek. Perlahan kamu mengangkat benda itu dari atas meja dan membukanya perlahan. Itulah uang koin seribuan rupiah yang diambil malam tadi dari rumah-rumah warga.

Tanpa pikir panjang, kamu segera keluar dari kamar itu dengan bungkusan koin masih di tangan. Ketika tiba di pintu depan, sebuah suara berat mengejutkanmu.

“Hoi, siapa itu?!”

Mati, itu Kepala Desa! Kamu segera berlari keluar dari rumah besar itu. Tapi bapak-bapak berperut buncit itu mengejarmu dari belakang. Seolah lupa sedang haus dan lapar, kamu melangkahkan kakimu secepat mungkin.

Kepala Desa tetap mengejarmu dari belakang sambil berteriak. Kamu berlari hingga berhasil menyelinap di balik semak-semak. Dengan degup jantung yang melompat-lompat dan napas tersengal, kamu membuka bungkusan itu, menghitung jumlahnya satu per satu. Koin itu berjumlah 53.

Sambil menengok ke kanan-kiri, kamu memasukkan kembali koin itu ke dalam bungkusan. Uang itu cukup untuk mengenyangkan perutmu, bapak, dan abangmu. Bahkan kamu juga bisa membeli layang-layang dan bermain bersama kawan-kawan. Hatimu girang sekali.

Tapi itu nanti ketika sampai rumah. Sekarang, sebaiknya kamu pergi ke warung dan membeli es. Kerongkonganmu sudah begitu kering.

Tanpa diduga, tepat ketika kamu akan memesan es, Kepala Desa muncul dari belakang. Dia menarik lengan kecilmu dengan kasar.

“Oo, ini yang kamu curi?” Kepala Desa mengambil bungkusan di tanganmu. “Anak kecil sudah berani mencuri, ya, kamu! Gedenya mau jadi apa, hah!”

Orang-orang di warung itu hanya melihatmu tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Dengan gemetaran, kamu menjawab;

“Aku tidak mencuri. Aku hanya mengambil kembali uang yang kalian ambil setiap malam di depan rumahku. Aku haus, ingin beli es. Lalu juga layang-layang, biar bisa bermain dengan kawan-kawan.”

***

Nur Hidayah, reporter di lpmarena.com

Sumber gambar: publicdomainq.net