Home BERITA Satu Semester Pandemi: Kampus terus Beroperasi, Tak Dapat Diskon UKT, 1591 Mahasiswa Cuti

Satu Semester Pandemi: Kampus terus Beroperasi, Tak Dapat Diskon UKT, 1591 Mahasiswa Cuti

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Walaupun berbagai cara telah dilakukan Sinta, ia tetap tidak dapat melanjutkan kuliah di semester selanjutnya. Alasannya tidak adanya pemasukan sama sekali. Dispensasi 10% dan penundaan sampai 30 Oktober tidak berdampak apa-apa.

Lpmarena.com- Uang Kuliah Tunggal (UKT) kembali menjadi biang masalah sebagian mahasiswa untuk melanjutkan studinya di kampus putih, UIN Sunan Kalijaga. Menurut data yang diperoleh ARENA dari Kepala Bagian Akademik, Suefrizal, pada semester ganjil ini sebanyak 1591 mahasiswa mengambil cuti. Jumlah ini meningkat drastis jika dibandingkan dengan semester genap kemarin, yaitu 936 mahasiswa.

Terkait hal ini Suefrizal mengatakan, “Jumlah itu termasuk biasa, masih di bawah 2000.” Sebanyak 1591 mahasiswa yang cuti dianggap tak mempunyai dampak yang signifikan terhadap kampus. Sahiron, Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Keuangan, mengatakan bahwa itu mengurangi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

PNBP turun sekitar 10 miliar. Pendapatan kampus jauh dari nominal yang ditargetkan. “Di tahun 2020 kita targetkan mendapat 143 miliar, tapi realisasi pendapatan hanya 132,9 miliar,” ungkap Sahiron. Pendapatan yang ditargetkan tersebut di antaranya berasal dari UKT, pendapatan dari bisnis dan kerjasama kampus.

Menurunnya pendapatan kampus ini menimbulkan perubahan alokasi dana. Kampus harus menghapus beberapa kegiatan yang sudah dicanangkan satu tahun sebelumnya. Menurutnya alokasi dana banyak dihabiskan untuk kegiatan rutin akademik serta keperluan perawatan sarana dan prasarana. Sayangnya, ARENA tidak dapat mengakses rincian data aliran dana UKT sebelum dan setelah datangnya pandemi yang telah dicanangkan tersebut.

“Sebelum ada pengesahan dari Kemenkeu, tidak boleh,” tegas Sahiron saat dimintai data.

“Tapi secara garis besar, anggaran digunakan untuk kegiatan-kegiatan rutin akademik, sarana-prasarana, dan pulsa atau kuota bagi mahasiswa dan dosen serta tendik,” lanjutnya.

Tagihan UKT pun tetap. Di sisi lain keadaan ekonomi terpuruk akibat pandemi. Kondisi ini mendesak beberapa mahasiswa untuk mengambil cuti semester. Salah satunya Sinta—bukan nama sebenarnya—mahasiswi semester tiga Fakultas Adab dan Budaya.

Sejak akhir Agustus, ibunya tiba-tiba jatuh sakit. Sinta tak tahu penyakit apa yang hinggap dalam tubuh ibunya. “Sebelumnya enggak pernah sakit sampai enggak bisa ngapa-ngapain. Aku pun kalut sama keadaan ibu,” kisahnya. Sinta sempat berpikir jika ibunya terkena gejala Covid-19 karena hasil uji cepat dinyatakan reaktif. Kekhawatiran akan kemungkinan buruk yang menimpa ibunya membuat keluarga Sinta memilih perawatan di rumah dengan biaya lebih.

Kondisi itu pun memengaruhi perekonomian keluarga. Ibunya adalah tulang punggung dan sumber pemasukan satu-satunya. Bapaknya sudah berhenti bekerja saat Sinta duduk di bangku SMA. Mereka juga tak memiliki tabungan. Dampaknya, selama satu bulan penuh tidak ada pemasukan sama sekali.

Sehari-hari Ibu Sinta bekerja sebagai penjual nasi di pasar. Kadang-kadang juga menerima pesanan peyek, nasi bungkus atau nasi kotak. Namun pandemi memutarbalikkan keadaan. Pendapatan Ibu Sinta turun drastis, hingga secara tak disangka-sangka jatuh sakit.

Sinta kalang-kabut mencari solusi. Ia berusaha mencari pekerjaan yang sekiranya dapat menambah pemasukan segera. Di saat yang sama Sinta beradu dengan kecepatan waktu tenggat pembayaran UKT. Awalnya, ia ingin mengajukan banding UKT. Namun urung, mengingat ketidakpastian diterima atau tidak.

Sinta juga brusaha mencari jalan terang melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan kampus. Pada tanggal 17 Juni 2020, pihak kampus mengeluarkan Surat Nomor 114 tentang Mekanisme Keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Surat tersebut menetapkan pemotongan 10% bagi mahasiswa yang memenuhi persyaratan. Keringanan ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa mahasiswa tidak memakai sarana dan prasarana kampus secara optimal serta menurunnya pendapatan wali mahasiswa.

Salah satu persyaratannya berbunyi, Keringanan UKT 10% tidak berlaku bagi mahasiswa yang mendapatkan Beasiswa Bidik Misi, Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB), beasiswa dari instansi-instansi tertentu, mahasiswa yang berada di UKT 1, atau mendapatkan Banding UKT mulai Semester Gasal Tahun 2020/2021.”

Setelah membaca persyaratan tersebut Sinta mulai menimbang ulang keputusannya, antara mengajukan permohonan banding UKT atau keringanan UKT.

“Awalnya aku bimbang, karena di persyaratannya kalau udah ngajuin salah satu, enggak bisa mengambil keduanya,” jelasnya. Akhirnya Sinta memilih untuk mengajukan keringanan biaya UKT 10% yang menurutnya lebih pasti.

Permohonan dispensasi itu dikabulkan. Ia termasuk golongan UKT kedua, yang seharusnya membayar Rp1.600.000 kini menjadi Rp1.440.000. Ia juga mengajukan penundaan pembayaran UKT hingga tanggal 30 Oktober. Tak berhenti disitu, Sinta juga mendaftar beasiswa BASNAZ. Namun karena tagihan listriknya tinggi, ia tak lolos menjadi penerima beasiswa tersebut.

Walaupun berbagai cara telah dilakukan Sinta, ia tetap tidak dapat melanjutkan kuliah di semester selanjutnya. Alasannya tidak adanya pemasukan sama sekali. Dispensasi 10% dan penundaan sampai 30 Oktober tidak berdampak apa-apa.

“Karena orangtua enggak ada pemasukan untuk bayar UKT, aku juga enggak punya backup biaya, ditambah keadaan yang enggak baik di rumah. Akhirnya aku memutuskan untuk cuti,” kata Sinta pasrah.

Hal yang sama terjadi pada Shintia Aulia Rahma, mahasiswi program studi Psikologi. Tahun ini sudah terhitung dua kali mahasiswi semester tiga itu harus cuti. Semester lalu perkuliahannya terjeda karena mengidap penyakit TBC. Biaya dan waktu menjadi alasan utama untuk cuti. Ia harus bolak-balik untuk menjalani pengobatan. “Dua bulan pengobatan biasa, enam bulan pengobatan intensif,” paparnya.

Shintia termasuk dalam kelompok UKT kelima dengan nominal Rp5.450.000. Orang tuanya bekerja sebagai pedagang baju dan kerudung untuk acara pernikahan. Pendapatan per minggunya berkisar lima juta rupiah. Namun, semuanya berubah saat pandemi. Pesanan baju dan kerudung menurun drastis karena banyak acara pernikahan tertunda. Pendapatannya pun ikut berkurang.

Awalnya Shintia berniat mengajukan banding UKT, tetapi nasib mendahuluinya. Ia jatuh sakit lebih dulu sebelum berhasil mengajukan banding. Beasiswa pun mustahil ia ajukan tanpa IPK semester sebelumnya.

Saat ditanyai terkait keringanan UKT 10%, ia menjawab, “Saya kurang mendapat informasi. Bahkan, baru tahu sekarang,” ungkapnya. Tak ada lagi yang dapat dilakukan hingga akhirnya Shintia dicutikan oleh sistem.

Beberapa mahasiswa, mengeluhkan kebijakan kampus yang tak memberi potongan UKT sebesar 50%. Perkuliahan yang dilakukan secara daring memangkas penggunaan sarana fisik kampus. Nominal UKT dan fasilitas yang mahasiswa dapatkan tidak sebanding, seperti halnya kuota internet.

Meski pihak kampus berulang kali mengundur waktu pembayaran, hal tersebut tidak menyelesaikan persoalan mahasiswa yang cuti. “Kan sudah terbukti, sebanyak 1591 mahasiswa cuti. Itu berarti, enggak membawa dampak yang positif buat mereka,” ujar Wisnhu Dwi Anggoro, mahasiswa program studi Ilmu Hukum. Wisnhu pun pernah mengajukan permohonan dispensasi 10%, namun tidak lolos.

Ia juga menyayangkan adanya dispensasi 10% dan 50% bagi mahasiswa tingkat akhir yang tidak dipukul rata. Mahasiswa diharuskan melewati tahap seleksi administratif. Padahal, hari ini seluruh mahasiswa dihadapkan dengan keadaan susah untuk membayar UKT.

Sahiron menjelaskan persentase pendapatan kampus adalah 90% dari UKT dan 10% dari bisnis, seperti hotel dan penyewaan gedung. Karenanya, memotong UKT 50% bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika dilakukan secara mendadak karena kampus mempunyai banyak pengeluaran.

“Makanya kalau langsung 50% semuanya, ya bangkrut lah kampus ini. Emangnya apa 50%? Saudara gak memikirkan gimana ini mau berjalan enggaknya. Kecuali kalau ingin UIN bangkrut, ya, monggo 100% juga tidak apa-apa. Ini belum lagi berbicara tentang hutang tanah yang belum terlunasi,” terang Sahiron.

“Belum lagi,” lanjutnya, “Di perguruan tinggi lain ada uang pengembangan institusi.” UIN Sunan Kalijaga sempat mengeluarkan kebijakan pungutan uang pengembangan yang kemudian diprotes oleh mahasiswa.

Sedang menurut Wisnhu, pada masa-masa sulit di tengah pandemi inilah, seharusnya lembaga pendidikan mampu menjadi representasi cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kampus menjadi tempat menopang persoalan pendidikan di masyarakat.

“Bagiku diskon 50% itu memang harus. Kalau bisa mah digratiskan, karena fasilitas kampus kita enggak merasakan,” jelasnya. Selama masa pembelajaran daring ini pun kontribusi dari kampus yang menurutnya paling dirasakan mahasiswa adalah kuota internet.

Menurutnya kampus selayaknya menciptakan pendidikan yang murah agar dapat dijangkau seluruh kalangan masyarakat. Bukan malah menambah beban dengan memungut uang di luar UKT meski kampus sudah berbadan hukum dan berhak mempunyai pendapatan selain UKT.

“Jangankan untuk bayar UKT, beli kuota aja kita susah,” pungkasnya.

Reporter Musyarrafah | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Ilustrasi Muhammad Dzaky Samsul Anwar