Sejenak lihatlah ke belakang, mengingat kembali sejarah bangsa Indonesia pasca kemerdekaannya, 17 Agustus 1945 silam. Ada banyak peristiwa besar yang terjadi dan selalu ada peran militer di balik peristiwa-peristiwa itu. Salah satunya yang tersohor bernama Sintong Panjaitan. Ia hampir selalu ada untuk membedil ‘lawan-lawan negara’.
Sosok prajurit itulah yang dituangkan Hendro Subroto, wartawan senior TVRI yang memulai karirnya sebagai ‘wartawan perang’ semenjak tahun 1964, ke sebuah memoar berjudul Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Berbeda dengan kebanyakan memoar yang pernah ada, yang penulisnya mungkin semata mendengarkan pemaparan tokoh atau saksi mata kejadian, Hendro Subroto secara langsung menyaksikan seluruh operasi tempur Sintong Panjaitan di setiap palagannya. Hal yang bagi sebagian masyakarat masih dipertanyakan seperti keterlibatan Prabowo Subianto dalam penculikan aktivis 1998 serta konfliknya dengan Wiranto juga sedikit dijelaskan oleh Hendro Subroto.
Sintong Hamonangan Panjaitan, begitu nama lengkapnya, merupakan perwira lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) angkatan IV tahun 1963. Ia lahir di Tarutung, 4 September 1940 silam. Dalam operasi tempur pertamanya, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar pada pertengahan Agustus 1964 di kaki Gunung Latimojong, Sulawesi Selatan. Beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 3 Februari 1965 Kahar Muzakkar berhasil dilumpuhkan oleh satuan Operasi KilatTNI.
Peristiwa G30S, salah satu babak sejarah paling kelam dalam sejarah militer Indonesia, pun tidak luput dari tangan dingin Sintong Panjaitan. Sebenarnya pada waktu itu ia akan diterjunkan sebagai sukarelawan Dwikora di wilayah Kuching, ibukota Serawak kala Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Namun penerjunan tersebut batal dilaksanakan setelah RPKAD menerima briefing dari Kolonel Sarwo Edhie Wibowo mengenai hilangnya para Perwira Tinggi Angkatan Darat.
Pernah juga karena keberhasilannya dalam melaksanakan tugas yang pelik dan berbahaya, ia dan kawan-kawannya mendapat kenaikan pangkat luar biasa serta ‘Bintang Sakti’ yang sangat langka diberikan oleh negara. Penghargaan itu tak lepas dari keterlibatannya dalam berbagai operasi militer di perbatasan Kalimantan-Serawak, Jakarta, Irian Jaya, dan bahkan Timor Timur.
Tak heran, dalam perjalanan karir militernya, ia diramalkan akan sampai ke puncak tertinggi dalam kemiliteran. Mayor Jenderal Sintong Panjaitan diangkat menjadi Panglima Kodam IX/Udayana pada tanggal 12 Agustus 1988. Meski pada akhirnya, karir profesionalnya sebagai Pangdam Udayana mesti tertahan. Peristiwa berdarah yang dikenal sebagai insiden Santa Cruz pada akhir November 1991 dengan begitu saja menghapus jalannya menjadi Panglima TNI. Imbasnya Sintong mesti mundur dari jabatan Pangdam IX/Udayana. Ia dituding bertanggung jawab terhadap peristiwa berdarah tersebut.
Di dalam buku ini pembaca dapat membaca perubahan arah politik nasional, terutama politik militer Indonesia pada saat itu. Sintong Panjaitan dihadapkan pada suasana politik dengan ABRI sebagai pemegang peranan khusus pada masa Orde Baru. Hal pertama yang dirasakannya ketika pemahamannya terhadap realita empiris harus dikalahkan oleh ideologi Orde Baru. Orde Baru memposisikan diri sebagai rezim yang ingin meniadakan semua perbedaan dalam konteks kenegaraan. Bukan saja semua organisasi dan partai harus mendasarkan dirinya kepada asas tunggal Pancasila, perbedaan etnis dan daerah pun mesti dihilangkan dalam konstelasi kenegaraan.
Hal itu terekam dalam pembicaraan Sintong Panjaitan dengan Presiden Soeharto yang berkunjung pada tanggal 23 Juli 1989 di Bali. Dalam pengarahannya, Soeharto mengatakan bahwa Sintong harus mempersiapkan Timor Timur sebagai daerah terbuka. Saat itu Soeharto bertanya, “Kamu sebagai panglima operasi di sana, apakah saran-saranmu supaya masalah Timor Timur lebih cepat selesai?”
Ditanya hal tersebut, Sintong menyampaikan aspirasi rakyat Timor Timur seperti yang dikatakan Uskup Diosis Dili, Carlos Filipe Ximenes Belo. “Mereka minta agar Timor Timur dijadikan daerah Istimewa seperti Aceh. Ini permohonan Uskup Belo dan Gubernur atas nama rakyat Timor Timur,” ujar Sintong. Menurutnya, sesudah Soeharto mendengar saran itu, wajahnya menjadi cemberut. Soeharto berkata dengan nada keras. “Apa istimewanya Aceh? Apa istimewanya Yogyakarta? Apa istimewanya Jakarta?” Soeharto menyambung, “ Kamu jangan berpikir mundur, nanti Daerah Istimewa itu tidak ada lagi. Saya katakan Daerah Istimewa itu, tidak boleh.”
Reaksi keras itu menyebabkan Sintong merasa ketakutan, padahal sebelumnya pembicaraan berlangsung santai dan enak. Sebelumnya Sintong sudah berangan-angan, seandainya saran itu diterima, ia akan pergi ke Timor Timur dan membuat pesta merayakannya. Namun yang dia dapat ternyata penolakan keras dari Soeharto.
Lewat kisah Sintong, selain mendapat pelajaran hidup dari berbagai perjalanan militernya, pemahaman sejarah tentang situasi kemiliteran dimasa Orde Baru dengan dwifungsi cukup diperdalam. Tanpa dikatakan secara eksplisit, buku ini memperlihatkan juga kebenaran sebuah kearifan lama: niat dan tujuan baik bagi kehidupan negara dan bangsa tidak lah memadai tanpa didampingi pertimbangan dan penghargaan atas realitas empiris yang serba berbeda dan selalu mengalir. Cita-cita yang baik dan luhur dengan begitu saja akan mengalami krisis tatkala dilema antara pilihan ideologis dengan hasrat kekuasaan dibiarkan begitu saja.
Dialog ingatan dengan sejarah bukan saja bisa mengunggah kesadaran, tetapi juga menjadi penyuluh dalam mengayunkan langkah langsung ke depan, ke masa depan yang belum berpeta.
Judul Sintong Panjaitan : Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando | Penulis Hendro Subroto |Penerbit Buku Kompas | Tebal xxx + 520 halaman | Peresensi Muhammad Hanafi