Home BUKU Prahara di Tengah Neraka

Prahara di Tengah Neraka

by lpm_arena

“There ain’t no sin and there ain’t no virtue. There’s just stuff people do. It’s all part of the same thing. And some of the things folks do is nice, and some ain’t nice.” 

John Steinbeck masih memotret tema yang sama dengan kebanyakan karyanya, tanah dan penggarapnya sebagai tokoh utama. Bentuk penderitaan orang kecil yang tidak ditulis dalam sejarah Amerika Serikat. Era di mana para pengusaha menggunakan pelbagai alat represinya untuk menindas orang-orang miskin, agar mereka tidak marah ketika para pengusaha membeli tenaga mereka dengan murah. Ketika penindasan itu berlangsung, orang-orang masih saling bahu-membahu di bawah perasaan bahwa mereka sama-sama tertindas oleh keserakahan manusia; tentang sebidang tanah yang mampu menghidupi keluarga; para imigran yang melakukan eksodus ke tanah yang dijanjikan pekerjaan; pekerjaan dengan upah rendah demi menghidupi mimpi.

The Grapes of Wrath mengambil set di Oklahoma ketika era Great Depression. Cerita dibuka dengan deskripsi Oklahoma terserang Dust Bowl (badai debu), yang membuat langit menjadi merah dan tanah berubah pucat, siang tetap tiba dengan matahari yang dua kali lebih membakar, dan malam datang tanpa bintang sebab debu memenuhi udara. Neraka itu bernama Amerika paruh abad dua puluh. 

Ribuan hektar ladang mengalami gagal panen, dan jagung dipenuhi debu sehingga tidak bisa dimakan, para peladang tidak mendapat upah akibat gagal panen untuk membayar utang ke bank. Kini Oklahoma benar-benar dipenuhi debu dan traktor yang menggusur pemukiman warga; bank menyita ladang mereka, menyebabkan ribuan orang, ratusan keluarga kehilangan pekerjaan. Di hadapan bencana orang-orang hanya bisa murka, tetapi semangat mereka tidak ikut hancur bersamaan jagung. Di sini kisah Tom Joad dan keluarga dimulai, mereka berharap kehidupan yang lebih baik di barat sana–California.

____ 

Tom Joad baru saja keluar dari penjara Mcalister, dia ditahan karena telah menggeprek kepala orang yang telah menikamnya. Dia diberi satu pasang pakaian dan sepatu berwarna kuning yang norak ketika pembebasannya. Di hadapan Tom ada sebuah cafe didalamnya ada sopir truk yang baru saja menghabiskan kopinya. Ketika sopir truk itu keluar Tom meminta tumpangan kepadanya, namun ditolak karena di truknya terdapat stiker “Tidak Menerima Penumpang.” 

“Tentu saya melihatnya,” kata Tom. “Namun, terkadang seorang pria akan menjadi pria baik walaupun ada bajingan tajir yang menyuruhnya membawa stiker.” Akhirnya sang sopir memberi izin Tom untuk menumpang.

Ketika Tom sampai di dekat rumahnya yang sudah hancur, dia bertemu pendeta masa kecilnya yang bernama Casy, pendeta itu bilang bahwa dirinya sudah lama tidak menjadi pendeta karena dia telah mencabuli perempuan. Nantinya, Teologi Pembebasan akan terepresentasi olehnya. Casy merupakan orang pertama yang mengutuk apa yang terjadi setelah Dust Bowl datang, dengan sinisnya dia mencium aroma ketidakhadiran negara atas nasib yang menimpa masyarakatnya. Di akhir cerita, mata Tom membelalak akibat ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya, dan orang yang membuka matanya adalah Casy, si mantan pendeta. 

Setelah Tom mengajak Casy pergi ke rumahnya, mereka hanya menemukan tanda-tanda kepergian dan pengabaian, mereka diberitahu warga setempat bahwa keluarga Tom sudah pindah ke rumah paman John—pamannya Tom, mereka mengetahui orang tua dan saudara Tom sedang bersiap-siap untuk pergi ke California mencari pekerjaan. 

Keluarganya melarat karena bank yang ugal-ugalan mengambil ladang dan mendepak keluarganya. Tom Marah. Pinjaman dari bank hanya ilusi, mereka akan segera merampok kalian ketika bencana terjadi. Seperti kebanyakan orang, Tom tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Di sini Steinbeck mendeskripsikan bahwa bank adalah monster pemakan pajak, ia tidak bisa hidup tanpa pajak seperti manusia tidak bisa hidup tanpa oksigen

“We’re sorry. It’s not us. It’s the monster. The bank isn’t like a man.”

“Yes, but the bank is only made of men.”

“No, you’re wrong there—quite wrong there. The bank is something else than men. It happens that every man in a bank hates what the bank does, and yet the bank does it. The bank is something more than men, I tell you. It’s the monster. Men made it, but they can’t control it.” (p. 36)

 Orang-orang Oklahoma percaya bahwa sebidang tanah dimiliki karena pemiliknya telah mengukur, dan menggarapnya. Mereka lahir, makan, dan mati dari tanah tersebut. Itu tanda asli kepemilikan, bukan selembar sertifikat dengan angka. 

Keluarga Joad yang terdiri dari Pa, Ma, Grandpa, Granma, John, Al, Rose of Sharon, Connie, Ruthie, Winfield, Tom, dan Casy mulai berkendara menaiki truk rongsok menuju California. Migrasi. Sebelumnya, mereka menerima selebaran iklan bahwa dibutuhkan orang dengan jumlah besar untuk memetik kapas yang terdengar menjanjikan demi memulai kehidupan baru.

 Ketika gelombang imigran mengalir besar-besaran, banyak dari mereka yang membangun kamp untuk beristirahat dari perjalanan, keluarga Joad juga melakukan hal yang sama. Ketika keluarga Joad tiba di kamp pertama, ada seorang lusuh memberitahu bahwa dirinya baru saja kembali dari California, dan dia menegaskan bahwa di sana tidak ada pekerjaan. 

Seperti banyak manusia, keluarga Joad hanya ingin mendengar kisah apa yang harapkan. Pria lusuh itu menjelaskan bagaimana penghisapan terjadi, dia bilang bahwa “Di selebaran iklan pekerjaan yang kalian dapati, tertulis bahwa mereka memerlukan delapan ratus orang. Tetapi, ada berapa banyak orang yang menerima  iklan seperti itu, yang mereka—para pengusaha—sebarkan? Katakanlah lima ribu orang melihatnya dan dua ribu orang yang lain mendengarnya, mereka berbondong-bondong datang bersama keluarganya. Sampai di sana, kalian akan diberi tahu bahwa mereka hanya membayar dua puluh lima sen per jam, mungkin dua puluh lima persen dari kalian akan pergi seketika. Tetapi, tidak dengan yang lapar. Semakin lapar kalian, semakin rendah upah yang kalian terima”. 

Tentu keluarga Joad tidak percaya dengan hal ini, tetapi si pria lusuh sudah mengingatkan bahwa membutuhkan dua nyawa anak dan nyawa seorang istri untuk menyadarkan dirinya sendiri.

Gelombang imigran dari Oklahoma disebut sebagai ‘Okies’ yang memiliki arti jorok, kumel, dekil. Awalnya kata itu dipakai untuk sekadar menggambarkan dari mana kamu berasal, makin ke sini pergeseran makna terjadi dan sifat merendahkan lahir dari sela-selanya. Keluarga Joad bertemu dengan rasisme di sini.

Rasisme bukan tentang apa agama atau warna kulitmu. Rasisme hadir ketika kelas yang berkuasa merasa terancam oleh orang miskin di lingkungannya, ketika mereka yang tak pernah merasakan kelaparan bertemu dengan mata yang lapar, dan mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Maka jalan satu-satunya untuk menyingkirkan mereka adalah dengan menebar berita bohong untuk menebar teror kepada sesama orang kaya. Ia diciptakan oleh orang kaya lemah yang merasa propertinya terancam. 

“These goddamned Okies are dirty and ignorant. They’re degenerate, sexual maniacs. Those goddamned Okies are thieves. They’ll steal anything. They’ve got no sense of property rights.” (p. 296)

Dehumanisasi bukan hanya dilakukan oleh kalangan atas, tetapi juga di kalangan kelas menengah. Seakan-akan pengusaha besar tidak ingin terlihat sebagai musuh utama kaum papa. Polisi digunakan untuk menahan anak-anak agar tidak kenyang. Keserakahan pengusaha besar juga berimbas kepada pengusaha yang lebih kecil, mereka membangun asosiasi pengusaha untuk menekan harga tenaga buruh. Banyak dari pengusaha kecil yang bersimpati kepada para imigran terpaksa menutup mata mereka. 

Asosiasi itu juga memerintahkan apabila panen berlebih harus dimusnahkan. Orang-orang miskin datang dengan jaring untuk menangkap kentang yang dibuang ke sungai, kemudian para penjaga menahan mereka; mereka datang dengan mobil yang berderak-derak untuk mengambil jeruk yang dibuang, tetapi cairan kimia disemprotkan. Dan mereka berdiri diam dan melihat kentang-kentang itu mengapung, mendengarkan babi-babi yang menjerit dibunuh di selokan dan ditutup dengan kapur tohor, melihat gunung jeruk yang terbuang menjadi cairan yang membusuk. Ada suatu kejahatan yang melampaui pengkhianatan, ada kesedihan yang tangisan tidak bisa disimbolkan.

“And in the eyes of the hungry there is a growing wrath. In the souls of the people the grapes of wrath are filling and growing heavy.” (p. 365)

Ma, sebagai orang yang dominan mengatur keluarga merasa bahwa walaupun kehidupan mereka sedang melarat, mereka harus tetap berbagi kepada sesama. Steinbeck menjadikan tokoh Ma sebagai simbol terus bergerak maju, umumnya tokoh wanita seringkali dianggap sebagai penghambat. 

Ma rela tidur bersama mayat agar keluarga Joad bisa melewati perbatasan yang dijaga ketat oleh para polisi. Walaupun gagasan kepemimpinannya sering berseberangan dengan suaminya, kekuatan tekad Ma dapat mengalahkan otoritas patriarki. Sepanjang novel dia terus menemukan sesuatu yang menarik tentang cara kerja dunia, dia mengingatkan bahwa pergilah ke orang miskin jika kamu sedang butuh atau sakit atau dalam masalah. Merekalah yang akan membantumu–satu-satunya. 

Judul The Grapes of Wrath  |  Penulis John Steinbeck  | Penerbit  Penguin Books  |  Cetakan 2017   |  Tebal 528 pages | Peresensi Mochammad Zimraan Asadell

Editor Maria Al-Zahra