Oleh : Ofa Mudzhar*
Plak!
Terdengar bunyi tamparan tangan Bapak pada putrinya yang berusia lima tahun. Setelahnya, si Ibu berteriak tak terima anaknya diperlakukan seperti itu.
“Dasar orang gila! Berani sekali memukul anak!” Ibunya kalap mengatai suaminya, meluapkan amarahya. Sayangnya, ia hanya bisa marah dengan kata-kata, tak bisa berbuat yang lain.
Anak balita itu hanya diam. Ia sudah bisa menahan amarahnya, tangisannya. Ia tahu kapan harus menangis menjerit, menahan napas, mengepalkan tangan di balik punggung, atau menggigit bibir bawahnya. Ia tahu kapan harus terlihat baik-baik saja. Namanya Zafira.
Tak banyak yang ia pinta. Zafira hanya meminta tolong pada bapaknya untuk mengambilkan susu di atas meja. Tangannya masih pendek, tak bisa menjangkau segelas susu di ujung meja yang melekat pada dinding.
Kebetulan, saat itu Bapaknya sedang memakaikan baju adiknya, Sabara, yang baru saja selesai mandi. Zafira terlihat memaksa untuk segera diambilkan, sampai melempar topi jerami yang ia kenakan. Sebab itu Bapaknya marah.
Ibunya baru kembali dari dapur, masuk ke rumah untuk menata sarapan. Pagi adalah waktu yang melelahkan bagi Ibu. Semua pekerjaan rumah menjadi miliknya. Merapikan tempat tidur, menyapu lantai, memasak, mengisi air minum, menata piring, mengganti air basuh untuk makan, mencuci pakaian dan sebagainya.
Sementara Bapak hanya membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Duduk sambil mengawasi kedua anaknya bermain. Menunggu sarapan siap.
Keluarga yang menyedihkan.
“Aku berharap tak bertemu pria seperti kedua ayahku. Jika sekiranya jodohku akan seperti mereka, Tuhan, kumohon jangan pertemukan. Lebih baik aku jadi perawan tua,” doa anak perempuan tertua di keluarga itu. Doa yang selalu terucap dalam benak saat ia melihat Bapak dan Ibunya bertengkar.
Namanya Mar’ah. Usianya 17 tahun dan ia sudah malas untuk berbakti pada orang tua. Mar’ah menganggap orang tua, nenek, dan kakek adalah biang kerok atas kehidupannya yang miskin dan menyebalkan. Jadi, ia tak harus terlalu mengabdi pada mereka. Keberadaannya, konsekuensi tindakan orang tua. Kehidupannya, tanggung jawab orang tua.
Aku ada bukan karena keinginanku, melainkan keinginan Ayah dan Ibu. Tapi mengapa aku yang harus selalu mengabdi dan menghormati mereka, pikirnya suatu hari. Sejak itu, Mar’ah tak lagi membantu Ibunya mencuci, melipat baju, atau pun pekerjaan rumah lainnya. Ia hanya mengurusi barangnya sendiri, kamarnya, dan seluruh kehidupannya.
Gadis berusia 17 tahun itu mempunyai dua bapak. Bapak kandungnya minggat saat ia masih berada dalam kandungan. Menginjak usia 10 tahun, Ibunya menikah dengan pria pilihannya sendiri, bukan lagi hasil perjodohan. Nahasnya, pria yang dinikahi Ibunya adalah pengangguran, miskin, dan berasal dari kalangan bawah.
Mar’ah dan Ibunya berasal dari keluarga bangsawan. Mereka orang terhormat di wilayahnya. Keadaan berubah saat Ibunya menikah dengan pria miskin itu. Mereka harus hengkang dari kerajaan. Keluarga bangsawan mengharamkan percampuran darah antara manusia yang berbeda kasta. Pun, rakyatnya mengamini bahwa bangsawan harus menikah dengan sesamanya.
Penolakan sosial yang dialami keluarga itu membuat Mar’ah sedikit tertekan. Padahal ia tak bersalah, murni darah biru, tapi mengapa kena imbasnya juga? Setelah terusir, orang tuanya memutuskan pindah ke suatu tempat nun jauh. Tempat yang tak ada seorang pun mengenali mereka.
Tibalah mereka di wilayah kerajaan yang makmur. Penduduknya sedikit dan sangat dekat dengan alam. Berbeda dengan kerajaan asal Mar’ah yang lumayan maju secara teknologi. Wilayah yang mereka tinggali masih sangat hijau. Masing-masing rumah mempunyai halaman luas. Hutannya lebat dengan air sungai jernih. Yang paling disukai Mar’ah ialah sore berwarna lembayung.
Menjelang petang, ia akan pergi ke hutan di belakang rumahnya, memanjat pohon, dan duduk di batang yang besar, menyaksikan matahari tenggelam.
Sendiri adalah temannya. Sepi adalah kesukaannya. Mar’ah tak mencoba mengenal tetangganya. Ia mulai menutup diri, khawatir ada tetangga yang mengetahui seluk beluk diri dan keluarganya.
Ia sering bermain ke hutan. Sendirian. Duduk di pinggir sungai, mengamati ikan-ikan yang berkejaran. Sesekali menangkap salah satu ikan yang terlihat besar dengan jaring. Ia juga mencari ranting-ranting kayu dan dedaunan kering untuk dijadikan bahan bakar. Selanjutnya, ia akan memanggang ikannya dan makan dengan kesendirian.
Kalau sedang bosan, gadis itu akan berenang sepanjang sungai yang alirannya melewati istana kerajaan. Beberapa kali ia akan berenang sampai ke sana. Memandangi bangunan istana yang tinggi menjulang, sepi, dan halaman belakangnya yang dipenuhi bebungaan.
“Ah, alangkah nikmatnya menjadi bangsawan. Tak akan bertemu kekurangan finansial. Selalu mendapatkan barang-barang bagus, pakaian, makanan, perabotan rumah dan penghormatan rakyatnya,” kenang Mar’ah suatu hari saat berenang melewati istana tersebut.
Sejenak, ia menyelami kenangan separuh hidupnya sebagai bangsawan, sebelum menjadi manusia yang diasingkan seperti sekarang. Ia naik ke permukaan pinggir sungai, di seberang taman bunga kerajaan. Duduk meratapi nasib malangnya.
Seorang lelaki masuk dalam pandangannya. Mar’ah sedikit terperanjat dan terpana. Laki-laki itu keluar dari pintu belakang istana, berjalan dengan tenang, damai, menuju ayunan di bawah pohon beringin yang menyerupai bentuk jamur. Di tangannya ada sebuah buku.
“Betapa indahnya dia.”
Saat lelaki itu duduk, penglihatan Mar’ah terhalang beberapa bunga. Karena ingin melihat dengan lebih jelas, Mar’ah beranjak dari tempat duduknya, berniat untuk memanjat pohon. Ia meraih salah satu batang pohon yang lumayan besar untuk dijadikan tempat duduk. Batang itu ternyata sedikit lebih tinggi dari perkiraan, mengharuskannya memanjat lebih jauh lagi.
Bukk!
Ranting yang menjadi pijakannya terlalu kecil lalu patah, kakinya tergelincir dan jatuh. Punggungnya mendarat dengan mantap ke tanah.
“Sialan,” umpatnya. Mar’ah kesal. Tulang belakangnya terasa sakit dan betisnya sedikit tergores. “Aaargghh….”
Bajunya yang basah membuat tanah tempat ia mendarat terasa dingin. Sepertinya aku akan tidur nyenyak beberapa saat, pikirnya. Ia tetap dalam posisinya, jatuh telentang. Memandangi langit biru yang samar-samar karena tertutup dedaunan pohon itu. Napasnya terasa lebih ringan dari waktu-waktu sebelumnya. Ia merasa sebagian beban hidupnya hilang.
Mengapa jatuh kali ini terasa nikmat? Satu pertanyaan muncul di benaknya.
Bukankah dalam kehidupan empat tahun terakhir, aku nyaris sering terjatuh? Hidup dalam pengasingan sosial, keluarga yang hanya berisi pertengkaran, hati yang susah berteman. Apakah aku saja yang terlalu lemah? Selalu merasa jatuh, padahal sebenarnya keadaan baik-baik saja?
“Hei, apakah kau tak apa?”
Sekonyong-konyong Mar’ah terperanjat dan bangun dari perenungannya. Ia bergeming melihat sosok yang berbicara padanya. Lelaki itu, yang berdiri di seberang. Lelaki indah yang duduk di ayunan. Lelaki yang membuatnya memanjat pohon.
“Aku lihat kau jatuh dari pohon. Apakah tulangmu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?”
Mar’ah hanya menggeleng dan mencoba sedikit tersenyum. Gugup sekaligus malu.
“Bisakah kau berenang kemari?”
Lagi-lagi, Mar’ah bergeming. Ia hanya mengangguk dan berjalan ke tepian sungai. Ia turun perlahan. Saat menyentuh air, betisnya terasa agak perih. Tapi itu tak mengganggunya sama sekali. Rasa senang sedang menguasainya.
Lelaki itu membantu Mar’ah naik ke tempatnya, tempat ia berdiri; halaman belakang istana.
“Wah, kuku jarimu sangat indah. Ini pertama kali aku melihatnya,” ucap lelaki itu saat menarik tangan Mar’ah.
Sampai di atas, Mar’ah sedikit memeras bagian bawah bajunya untuk menghilangkan gugup. “Terima kasih,” ucapnya.
“Sama-sama. Apakah kau benar-benar tak terluka?”
Mar’ah hanya mengangguk dan tersenyum.
“Aku sering memperhatikanmu saat berenang di sekitar sini. Cukup andal menurutku. Siapa namamu?”
“Mar’ah.”
“Perempuan? Namamu adalah Perempuan?”
“Ya, begitulah.”
“Kupikir, aku tak perlu memperkenalkan diri. Kau pasti tahu siapa aku. Apakah kau ingin berisirahat dulu di dalam? Lalu kupanggilkan tabib untuk memastikan keadaanmu?”
“Tidak. Aku akan pulang. Terima kasih atas kebaikanmu.” Ia membalikkan badan dan berjalan ke tepian sungai. Namun lelaki tersebut meraih tangan Mar’ah, menahannya.
“Sebentar, biar kusuruh pengawal mengantarmu.”
“Tak perlu, Tuan. Aku akan pulang dengan berenang.”
“Baiklah. Oh, ya, kuingatkan lagi, Mar’ah, kukumu sangat indah. Aku mengaguminya.”
Mar’ah terdiam. Dalam hatinya, ia tersipu. Ini pertama kalinya ia mendapat pujian ‘indah’, meski hanya kukunya. Bingung harus bagaimana, ia memilih diam dan membalas tatapan lelaki itu.
“Wah, sepertinya aku orang pertama yang memuji kukumu. Dan kau bukan perempuan yang biasa mendapat pujian.”
“Ya, kau benar. Kumohon lepaskan tanganku, aku harus pulang.”
“Baiklah, sepertinya kau bukan orang yang mudah berteman dan punya banyak teman. Datanglah ke sini jika ada waktu luang. Kita bisa jadi teman jika kau mau.”
………………
Hari-hari berjalan seperti biasa dengan kehidupan yang biasa juga. Perihal pertemuan dengan putra bangsawan 27 hari lalu tak begitu berkesan bagi Mar’ah. Seorang pemuda yang pintar memuji dan membuatnya meremas pakaian karena tersipu. Namun ajakan berteman itu sedikit mengganggu pikirannya. Selama 27 hari itu, ia nyaris tak pernah lagi berenang melewati sungai dekat istana.
Haruskah aku pergi menemuinya? Bisakah aku berteman dengannya? Apakah baik-baik saja jika aku bersamanya?
Jawaban sebuah pertanyaan tak harus berbentuk pernyataan, sesekali berupa kenyataan. Seperti saat ini, hari ke-37 setelah pertemuan tak sengaja, Mar’ah dengan baju kuyupnya berjalan masuk ke istana, diiringi seorang pelayan wanita.
“Apakah kau tak tahu letak pintu masuk kerajaan ini?”
“Jika aku datang lewat pintu masuk di depan sana, apakah aku dapat segera bertemu denganmu, Syarif?”
“Ya, panggil namaku begitu, tanpa sebutan Tuan, karena aku bukan Tuanmu. Aku adalah temanmu. Mari masuk dan berganti pakaian kering.”
Kehidupan biasa, setidaknya menjadi sedikit luar biasa karena Mar’ah dapat keluar masuk istana dengan mudah. Ia tak lagi datang lewat sungai dengan berenang. Seisi istana, hampir semuanya mengenali Mar’ah, kecuali orang tua Syarif.
Menjelang siang, Mar’ah akan pergi ke istana menemui lelaki pertama yang menjadi sahabatnya. Mereka akan menghabiskan setengah hari berdua. Membaca buku, berenang, bermain sepeda, berjalan-jalan ke hutan, gunung, berbaring di taman belakang dan menutup lembaran kehidupan dengan memandang senja di atas pohon.
“Terkadang aku sedih harus berteman denganmu. Kau memberiku banyak hal, pakaian, makanan, buku dan pengalaman-pengalaman baru. Sedangkan aku tak bisa membalasmu dengan baik.”
“Betul sekali. Seandainya aku adalah pedagang, bukankah aku akan rugi? Aku menjual barang-barang bagus, kau membelinya dengan mengutang dan tak tahu kapan akan melunasinya. Hahaha ….”
“Hei, Tuan, jika kau merasa rugi, aku akan kembalikan semua pemberianmu saat ini juga.”
“Aku tidak berkata aku merasa rugi. Dengarkan Mar’ah, meskipun kau tak bisa memberiku banyak hal, kau sudah memberiku satu hal yang sangat berharga. Kenyamanan. Kau membuat diriku lebih baik menjalani kehidupan.”
“Kenyamanan? Bukankah itu hal yang sama-sama kita dapat?”
“Ya, memang. Tapi untukku, seorang yang kehidupannya nyaris sempurna, itu adalah hal paling berharga daripada isi istana.”
Semua hari selama setahun berakhir dengan damai. Tapi tidak dengan hari ini. Hati Mar’ah mulai bergejolak setelah perbincangan tadi.
Satu bunga mawar mulai tumbuh dalam hati gadis muda. Siapa yang menanamnya? Siapa yang menyiramnya? Dirinya atau keadaankah yang menghendaki bunga itu tumbuh?
………………
Hari ini, 20 November 1775. Di penghujung abad ke-18, kerajaan mengadakan pesta ulang tahun Syarif yang ke-20. Pesta kecil yang hanya dihadiri anggota keluarga kerajaan. Mar’ah enggan menghadiri karena tak punya uang untuk membuat kado. Ia hanya menulis beberapa bait puisi di atas kayu tipis untuk pembatas buku.
Pesta tetap berjalan dengan ramai. Semua orang bersuka cita. Ketidakhadiran Mar’ah bukanlah sesuatu yang dapat mengubah suasana pesta. Ia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa.
Keesokan harinya, menjelang waktu menikmati senja, Mar’ah berjalan menuju istana dengan kado kecilnya.
“Apakah semalam kau memang tak hadir atau aku yang tak melihatmu?”
“Dua-duanya.”
“Mengapa?”
“Aku tak punya kado.”
“Lalu yang kau pegang itu apa?”
“Ini, emm … ya, ini kado untukmu. Selamat ulang tahun, Syarif. Bukalah setelah aku pergi.”
Syarif menerima kado itu dengan senang. Ia tersenyum cerah. “Kalau begitu, bukankah kau harus bergegas agar aku dapat membukanya?”
“Hei, kau mengusirku?”
“Tidak, tidak. Aku bercanda, hahaha …. Mari ke taman belakang. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.”
“Maaf, aku harus pamit.”
“Kenapa? Kita masih bisa melihat senja di sana. Ya, meski mungkin tak seindah jika melihat dari atas pohon.”
“Hari ini aku ada pekerjaan.”
“Hmm, baiklah. Sampai jumpa besok.”
Berjalan di bawah langit lembayung, Mar’ah membawa pulang sejuta rasa dan pertanyaan. Rasa senang, takut, dan rindu adalah yang paling menyelimutinya. Hatinya meminta kembali ke istana, pikirannya memaksa pulang ke rumah. Sebagian dirinya ingin berlama-lama, lainnya ingin bersegera.
Apakah bunga di hatinya boleh tumbuh subur?
……………
Hari ini, hari ulang tahunku yang ke-20. Hari yang tak berkesan dan malas. Seseorang yang kutunggu kehadirannya, ternyata tak datang. Pesta yang dipenuhi gemerlap lampu terlihat suram dalam pandanganku. Tapi aku harus tetap tersenyum karena pesta adalah waktu untuk bersenang-senang, bukan meratapi kenyataan yang tak sesuai harapan.
Aku merasa sepi dalam keramaian. Aku merasa sunyi di tengah semarak perayaan.
Aku kira, tadi malam Mar’ah akan datang menemuiku, mengucapkan selamat ulang tahun dan untuk pertama kali, aku akan memeluknya. Aku akan memuji kukunya, senyumannya dan sikapnya yang dingin, namun berhasil meruntuhkan dinding baja yang kubangun.
Di hari kelahiranku, aku ingin lebih berterima kasih atas kelahirannya, atas kemauannya datang ke istana untuk menjadi temanku, menemani hari-hariku.
Sebenarnya, aku ingin menyuruh pengawal untuk menjemputnya. Tapi aku takut membuatnya tak nyaman. Aku tak ingin membuat Mar’ah melakukan hal yang tak diinginkannya. Kuurungkan niatku dan kembali menunggu kedatangannya.
Malam semakin larut. Orang-orang mulai meninggalkan pesta. Para pelayan mulai membersihkan kekotoran. Lampu-lampu mulai dimatikan. Dengan langkah murung, aku kembali ke kamar. Menatap halaman belakang yang dipenuhi bunga. Serpihan demi serpihan kenangan datang menghampiriku.
Ingatan tentang keseharian bersama Mar’ah mendominasi pikiranku. Malam itu, tiba-tiba aku merindu.
Keesokannya, aku menunggu lagi. Biasanya, siang hari Mar’ah akan datang ke perpustakaanku. Membaca buku adalah kegiatan pertama yang kami lakukan untuk memulai hari. Aku duduk di perpustakaan. 30% dalam diriku membaca, 70% menunggu kemunculannya.
Pukul satu, pukul dua, pukul tiga, aku masih menunggu dan Mar’ah tak kunjung datang. Aku kembali ke kamar. Memandangi taman bunga dan sungai. Siapa tahu, Mar’ah akan muncul dari sana, pikirku. Bunga mawar hitam terlihat sangat mencolok di antara bunga lainnya.
Menjelang petang, pukul lima sore, seorang pelayan mengabariku bahwa Mar’ah ada di perpustakaan. Aku bergegas turun dari kamarku di lantai tiga.
Aku menahan segala perkataan yang ingin kuungkapkan. Aku menahan untuk tidak terlihat kegirangan atas kehadirannya. Aku ingin terlihat sebagaimana biasanya. Menyapanya dengan senyuman dan mengakhiri pertemuan dengan pujian,”Sampai jumpa besok, Putri Berkuku Indah.”
Ia duduk memunggungi pintuk masuk perpustakaan. Saat aku tersenyum, ia hanya membalas senyumku dengan tipis dan singkat. Bukan senyum seperti biasanya.
Tiba-tiba aku merasa aneh dan asing. Sosok perempuan berusia 18 tahun di depanku, apakah dia benar-benar orang yang menemaniku setahun terakhir? Apakah dia sungguh Mar’ah? Mar’ahku?
Setelah berpamitan, aku baru menyadari bahwa ia berubah. Tatapannya tak lagi hangat. Tatapannya mirip tatapan pertama kali kami bertemu. Kosong dan sunyi. Begitupun denganku, tiba-tiba malu untuk memuji kukunya.
Kadonya berisi pembatas buku dari kayu yang di atasnya terukir sebuah puisi pendek, membuatku tersenyum saat membacanya. Kubaca berulang kali, mengahafalkannya. Menempatkannya di salah satu bilik hatiku.
Kau adalah matahari
Aku adalah tetesan air hujan
Pertemuan kita menciptakan pelangi
Memberi warna kehidupan
Dan, secarik kertas berisi pertanyaan tiba-tiba membuat senyumku redup. Aku merasa menyesal telah membacanya. Pertanyaan yang membuatku benar-benar sadar bahwa keadaan sudah berubah. Aku dan Mar’ah tak lagi dapat berteman.
Kita menciptakan pelangi yang mewarnai lembaran-lembaran kehidupan kita. Namun, apakah semesta mengizinkan kita untuk terus bersama?
Hari itu, menjadi hari terakhir kami bertemu. Mar’ah tak pernah datang menemuiku lagi. Ia juga tak pernah terlihat berenang di sungai belakang istana. Ia menjauhiku karena tahu jawaban atas pertanyaannya. Sebenarnya, aku bisa aja menjawab pertanyaannya dengan jawaban lain. Ada banyak pilihan, namun aku tak punya keberanian.
Meski pelangi adalah fenomena alam yang disukai banyak orang, mereka tidak akan pernah menyetujui pelangi selalu muncul. Sebab pelangi ada karena pertemuan air hujan dan matahari. Manusia tak menyukai cuaca yang berubah-ubah.
Begitupun aku dan Mar’ah. Meski dalam dirinya mengalir darah murni bangsawan, orang tua dan rakyatku tidak akan menerima karena masalah keluarganya.
…………….
Tahun demi tahun berlalu. Waktu berjalan begitu cepat. Ia tak mengenal kata tunggu. Ia hanya berjalan maju, tak bisa mundur sedikitpun, sedetikpun. Apakah waktu tujuh tahun cukup untuk mengobati rasa sakit dan rindu?
Bagiku tidak. Beberapakali aku masih merindukannya, meski tak sesering tahun-tahun pertama saat kami berpisah. Tak pernah sedikitpun kudengar kabar tentangnya. Tentang Mar’ahku. Apakah dia masih hidup? Apakah dia sudah menikah? Apakah dia berharap jawaban yang berbeda?
Saat aku mengingatnya, seluruh duniaku tertuju padanya. Perpustakaan, taman belakang, pepohonan, sungai, atap, jendela, semuanya. Ia pernah berada di sini, memakan makanan ini, memakai gaun ini, tertidur di sana, membaca buku itu dan sebagainya.
Hari ini aku benar-benar merindukannya.
Aku turun ke bawah, menyuruh pelayan memetik bunga mawar putih dan mengikatnya dengan rapi. Kusisipkan secarik kertas berisi sapaan. “Lama tak mendengar kabarmu, Mar’ah, Putri Berkuku Cantik.”
Menjelang senja, kusuruh pengawal untuk mengantarkan karangan bunga itu ke rumah Mar’ah.
Rinduku menjadi lebih tenang. Tak begitu bergejolak seperti tadi.
Keesokannya, aku menunggu balasan. Tapi nihil. Aku bertekad, jika ia tak membalas kirimanku, aku akan menemuinya langsung.
Tiga hari kemudian, seorang tak dikenal datang ke istana. Gadis kecil berusia sekitar 12-13 tahun. Ia datang membawa bingkisan kecil.
“Kau boleh membukanya setelah aku pergi,” ucap gadis tersebut. Perkataan yang pernah diucapkan Mar’ah tujuh tahun lalu.
Ia menolak kuajak berbincang-bincang ke dalam. Setelah kuucapkan terima kasih, gadis itu langsung berpamitan.
Aku senang saat membaca tulisan dibungkus bingkisan. “Untuk matahariku.”
Sekelebat kenangan muncul dalam pandanganku. Seperti serpihan kaca pecah, kenangan itu berkumpul menjadi satu, meski tak lagi utuh, membentuk siluet seorang perempuan.
Kubuka perlahan tutup bingkisan itu. Mengetahui isinya membuatku terkejut sekaligus sedih. Sepuluh jari yang sudah diawetkan. Jari yang berkuku indah milik Mar’ahku. Apa yang terjadi? Kututup kembali bingkisannya, meletakkan dalam lemari berisi pakaian Mar’ah yang tertinggal.
Aku bergegas pergi ke rumah Mar’ah. Apa yang terjadi? Mengapa ia memotong sepuluh jarinya? Bagaimana kehidupannya setelah berpisah denganku?
Sesampainya, aku tak menemukan apa-apa kecuali penyesalan teramat dalam. Tak ada yang tersisa kecuali sepuluh jari Mar’ah yang ia kirimkan padaku. Seharusnya aku tak kemari jika sudah tahu jawaban atas pertanyaanku. Sama seperti yang dilakukan Mar’ah tujuh tahun lalu. Ia bertanya sesuatu yang jawabannya sudah ia ketahui.
Aku lunglai. Diriku kacau.
Di jalan pulang, aku bertemu dengan gadis kecil yang mengantarkan bingkisan itu. Ia menatapku dan tersenyum ramah. Kubalas dengan tatapan sendu. Sekali lagi, kuucapkan terima kasih sudah mengantarkan bingkisan itu padaku.
Hampir tiap hari kupandangi isi bingkisan dari Mar’ah. Tapi setelah satu minggu berlalu, aku baru menemukan sepucuk surat dalam bingkisan itu.
Kepada sahabatku, Syarif. Terima kasih telah membuat diriku merasa berharga dan menjadikan kuku di tanganku sebagai hal yang paling kucintai. Terima kasih telah mengagumi kuku cantikku. Terima kasih sudah memujinya setiap hari. Kau tahu cita-citaku apa? Aku ingin menjadi perempuan yang mendapatkan bergunung-gunung pujian cantik. Kehidupanku berisi amarah. Keberuntungan dalam hidupku hanya satu, yakni bertemu denganmu, mendapat pujian darimu yang sedikit membuatku menjalani kehidupan lebih baik. Oleh karena itu, aku ingin mengabadikan keberuntunganku dengan mengawetkan dan memberi jari-jemari ini padamu. Terima kasih. Aku selalu merindukanmu dan berharap mendapat jawaban yang berbeda.
*Mahasiswa Sosiologi semester empat yang berharap menjadi batu jika ia dilahirkan kembali, agar di kehidupan selanjutnya tak perlu sibuk mempersiapkan masa depan.
Ilustrasi: Muhammad Dzaky Samsul Anwar