Home KANCAH Eropasentrisme dalam Filsafat (Kita)

Eropasentrisme dalam Filsafat (Kita)

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Bagus NAA*

Belakangan ini ada gejolak besar terhadap masyarakat kita untuk belajar filsafat. Itu bisa dilihat dari menjamurnya akun-akun pop filsafat di Instagram dan tingginya viewers kanal filsafat pada YouTube.

Begitu pula hingar-bingar pamflet diskusi mahasiswa yang juga kerap membahas filsafat dan membuat saya jengah. Seolah-olah tidak ada filsafat lain, selalu mengulang-ulang. Mengulang-ulang yang saya maksud di sini lebih kepada konten filsafat yang itu-itu saja alias Eropasentrisme. Konsekuensinya adalah masalah dan solusi filsafat yang mereka bahas adalah cangkokkan, tidak murni untuk mencari kebenaran atau kebijaksanaan—bila kita berpegang dan setuju—sebagaimana tujuan filsafat klasik.

Kritik atas Eropasentrisme filsafat ini pun masih bisa dihitung jari. Salah satu yang bagi saya perlu dibaca adalah karya Peter K. J. Park, Africa, Asia, and the History of Philosophy Racism in the Formation of the Philosophical Canon, 1780–1830. Park dalam buku ini menganalisis sejarah atas sejarah filsafat (historiografi). Ia berkesimpulan Meiner lah penyebab Eropa sentrisme itu, sebab Meiner mengikuti konsepsi rasisme Kant. Ia juga akademisi berpengaruh di masanya, di Eropa sana. Sebab ia membentuk paradigma sosial Prancis-Jerman, khususnya dalam antropologi dan lingkarannya menjadi mazhab Gottingen.

Park juga menyayangkan hanya tiga orang sarjana saja yang sadar akan masalah ini. Ketiga itu ialah Halbfass, King dan Bernasconi (King kita kenal di Indonesia lewat terjemahan bukunya: Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme). Dua yang pertama fokus pada filsafat India dan Bernasconi fokus pada filsafat ras.

Efek dari historiografi ini berbuntut pada menjamurnya pamflet diskusi filsafat seperti yang disebutkan di muka: “Yunani pencipta filsafat”, “Plato filsuf politik pertama”, dan seterusnya. Di sebuah kanal YouTube, saya juga melihat video yang merekomendasikan tujuh buku pengantar filsafat, dua dalam berbahasa Inggris dan sisanya berbahasa Indonesia tapi—sama sekali bisa ditebak—tak ada filsafat Asia-Afrika di sana.

Mungkin hal ini lekat terhadap bacaan mereka—para filsuf media sosial itu. Sebab buku-buku filsafat di Indonesia sebatas itu-itu saja. Saya setuju jika ada yang bilang tingkatnya sebatas pengantar. Tapi, ada hal yang seragam dari mereka. Bahwa mereka selalu bicara filsafat sebagai filsafat Eropa. Maksudnya hanya ada satu filsafat: filsafat Eropa. Ini berarti memenggal filsafat yang-lain dan menimbulkan asumsi seolah-olah warga dunia lain tak mampu berfilsafat.

Park juga menunjukkan rasisme macam itu menjangkiti “filsuf-filsuf besar”. Di antaranya ialah Kant, Hegel, Meiner, Teinneman, Hume, Russel, Heidegger, dan Derrida. Seluruh yang tersebut itu dianggap tokoh-tokoh kanon dan sama sekali mengekslusikan filsafat lain.

Mereka mendefinisikan filsafat adalah sebatas filsafat Eropa, yang berakar pada tradisi Yunani. Di luar itu? Jelas tak mampu. Misalnya, Kant berkata orang berkulit gelap, ras negro hanya mampu diberi pendidikan sebatas menjadi pelayan. Lalu Meiner melanjutkannya, bahwa di luar Eropa filsafat tidak berkembang karena mereka inferior dari kulit putih. Kita temukan nada rasis Meiner itu dalam karyanya The Grundriss der Geschichte der Menschheit (Outline of the History of Mankind).

Hegel pun juga begitu, ia berpendapat kolonialisme lumrah terjadi sebab mereka (yang terjajah) memang butuh “diadabkan”. Dalam kepalanya mengendap pikiran—meminjam perkataan Ben, “Sayang ya, kok ada orang Asia-Afrika di Asia-Afrika”.

Fakta-fakta semacam ini jarang kita dapati dalam buku-buku, juga ceramah-ceramah filsafat. Sebab jarang sekali yang menggeluti historiografi filsafat, meski salah satu cara belajar filsafat adalah melalui sejarah. Melihat sejarah Park menunjukkan penunggalan filsafat ini memang hadir belakangan. Bermula di era pencerahan dan berlanjut dipelihara oleh institusi hingga kini.

Padahal, era 1500-1600-an, kata Park, sejarah filsafat sebetulnya sudah memasukan filsafat non-Eropa. Bahkan mereka memasukkan Nabi Adam, Nuh, dan Musa sebagai filsuf-filsuf awal. Namun, nama-nama itu disingkirkan oleh era pencerahan, bersamaan dengan pembersihan agama dan mistisisme. Dan historiografi filsafat rasis semacam ini mengendap di pikiran kita. Itu bisa dilihat ketika kesan pertama kita mendengar filsafat Afrika dan Asia sebagai moral atau agama. Yang terakhir, berkat historiografi yang rasis adalah bukan filsafat.   

Di sini saya tidak mambawa proposal bahwa ada “filsafat kita” atau “filsafat Indonesia” sebagaimana yang hangat diperbincangkan belakangan. Atau kemiripan pemikiran dari seorang filsuf yang tergali dengan filsuf Eropa sambil berkata “Ada loh filsuf Indonesia yang mirip si A” dan seterusnya. Atau tidak juga menganjurkan kebencian dan anti terhadap filsafat lain.

Tapi maksud saya: memagari filsafat sebatas filsafat Eropa—meminjam Van Nordon, yang juga menulis tema ini—adalah keputusan. Mereka, para filsuf Eropasentris, sadar atas pemenggalan ini, sebagaimana akar kata decision: decidere, yang artinya memotong. Dan keputusan mereka ini sayangnya kita terima begitu saja tanpa ada kesadaran. Keputusan itu dibawa masuk ke dalam institusi-institusi formal seperti universitas lalu diedarkan, dan sebagaimana semangat rasisme: memandang remeh-rendah atas yang-lain.

Mungkin benar kata Jay Garfield. Ahli Buddhisme di Harvard itu pernah berkata, sebaiknya institusi filsafat yang Eropasentris perlu ganti nama jadi Departments of Anglo-European Philosophy.

Meski begitu, pemaafan atas hal ini tidak begitu saja terjadi apabila kita mengakui filsafat non-Eropa atau memasukkanya dalam buku-buku filsafat. Ia juga tak bisa terjadi hanya dengan mengubah nama institusi.

Lebih dari itu bagi saya, filsafat non-Eropa justru perlu dilihat kontekstual, masalah filsafat apa yang dibahas, lalu studi pustaka menyeluruh dari argumen para filsuf yang tidak Eropasentris. Mereka yang terikat atas masalah itu juga disinggung argumennya. Jadi, tak seperti apa yang kita terima selama ini: filsafat menggumpal ke daerah-daerah, dilokalisir lalu menjadi masalah—seperti halnya sastra ketika hanya mengada dalam (di); filsafat (di) Eropa, filsafat (di) Indonesia dst..

Kondisi Eropansentrisme dalam filsafat ini mengingatkan saya pada novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Pada satu adegan Minke dan Te Har bertemu di kapal yang hendak membawanya menjauhi Wonokromo. “Beruntung Tuan,” kata Tehar, “berhasil lulus sekolah H.B.S, terlalu sedikit pribumi mendapat pengajaran setinggi itu”. Minke memang sering mendengar pujian ini, tapi ia bergumam “Maksudnya kira-kira: siap-siap, aku akan bawakan persoalan Eropawi padamu.”

*Mahasiswa filsafat dan anggota Peternakan Sumber Daya Manusia (PSDM) LPM Arena

Ilustrasi: Surya Puja Kelana