Lpmarena.com—Komunitas Gusdurian Jogja bersama Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan acara nonton bareng dan bedah film Sasi Haruku di Griya Gusdurian Jogja pada Minggu (19/03). Film Sasi Haruku merupakan dokumenter yang dibuat oleh Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM dan Center of Southeast Asian Studies, Universitas Hawaii (UH-CSEAS). Film ini mengangkat isu soal memperjuangkan lingkungan hidup melalui tradisi sasi.
Sasi merupakan adat di Haruku, Maluku Tengah yang melarang orang-orang mengambil sumber daya alam atau hasil panen sebelum waktunya. Mereka dilarang pergi ke laut maupun darat dalam jangka waktu tertentu.
Film Sasi Haruku memperlihatkan bagaimana masyarakat Haruku menjaga alam melalui sasi. Masyarakat Haruku sadar betul bahwa alam harus dipertahankan. Film itu juga menunjukkan bagaimana interaksi sasi dengan sistem budaya lainnya dalam mempertahankan lingkungan hidup. Termasuk apa saja yang terjadi ketika sasi bertemu dengan ajaran Gereja.
“Sasi ini pada akhirnya (tentang) bagaimana proses budaya dan agama mencoba melegitimasi bahwa alam tumbuhan, hewan, hal-hal yang hidup di sekitar kita itu saling bertaut, tidak terpisahkan,” tutur Firda Ainun, anggota Gusdurian Jogja sekaligus pemantik diskusi malam itu.
Tradisi sasi juga menjadi lawan praktik sistem modern yang kerapkali mengeksploitasi alam demi mencukupi kebutuhan hidup hedonis. Menurut Firda, moderintas mengarahkan manusia dari hal-hal yang bersifat nilai kepada kebendaan. Oleh sistem modern, manusia sedang ditarik dari nilai guna menuju nilai lebih.
Gaya hidup yang dibawakan oleh modernisme adalah gaya hidup yang selalu menggaungkan nilai lebih diatas nilai guna yang mengarah kepada hedonitas. Hal-hal semacam inilah yang hendak dilawan oleh tradisi sasi. “Solusi yang bisa ditawarkan itu bagaimana kita menggunakan hal-hal yang kita pakai itu tidak secara berlebih, atau menggunakan sesuatu itu dengan nilai guna”, ungkap Firda.
Ribka Barus, peneliti dari CRCS UGM, mengatakan bahwa sasi juga menjadi alat perjuangan dan simbol ketidakpuasan atas suatu sistem sosial. Menurutnya, sasi pernah menjadi simbol perlawanan di Haruku terhadap perusahaan tambang emas pada tahun 1993. Selain itu, sasi beserta kewang, sebutan untuk penegak adat sasi, juga menjadi inisiator terbentuknya AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).
Film sasi haruku menjadi inspirasi perjuangan untuk mempertahankan lingkungan hidup dan menghadapi krisis iklim. Tradisi sasi mengajarkan agar manusia berani melawan pengetahuan modern yang membentuk terjadinya eksploitasi alam yang dilakukan perusahaan-perusahaan kapital.
“Di Sasi Haruku, pengetahuan lokal menantang pengetahuan modern melalui gereja, melalui agama,” tutur Ribka.
Catatan Redaksi: Berita ini dikoreksi pada 26 Mei 2023 pukul 15.34 WIB. Sebelumnya tertulis sasi pernah menjadi simbol perlawanan di Haruku terhadap perusahaan tambang emas pada tahun 1933. Seharusnya pada tahun 1993.
Reporter Jihad Maura | Redaktur Mas Ahmad Zamzama