Home BERITA Riset ISRA Institute Temukan Posisi Perempuan yang Rentan dalam Kontestasi Politik

Riset ISRA Institute Temukan Posisi Perempuan yang Rentan dalam Kontestasi Politik

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com–Perempuan memiliki posisi rentan dan banyak mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online dalam menghadapi kontestasi politik. Demikian disampaikan Intan Pratiwi, Peneliti Institute of Sustainability, Resilient and Acknowledgement (ISRA) Institute, dalam Focus Group Discussion bertajuk “Perempuan Menyikapi Misinformasi dalam Pemilu” yang diselenggarakan ISRA Institute bersama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) melalui Zoom Meeting, Kamis (11/01). 

Melalui temuan berdasarkan analisa media di kanal X pada Pemilu 2019 lalu, Intan menjelaskan sebanyak 1.288 cuitan, dan 542 di antaranya balasan (replying), merupakan serangan, kekerasan, serta misinformasi dengan perempuan sebagai korban. Bentuk serangan tersebut beragam. Misalnya menyinggung ideologi, dengan mengaitkan seorang caleg dengan feminisme kemudian dilabeli dengan stigma tertentu.

Tidak hanya itu, sepanjang pemilu 2019 di Indonesia dalam rentang 1 Agustus 2018 hingga 1 Mei 2020, serangan fisik pun kerap dialami para caleg perempuan, seperti intensnya penggunaan kalimat-kalimat seksis, labeling janda, betina, perawan, hingga agama.

“Tidak lepas juga dari labeling agama, menggunakan isu agama, ayat-ayat untuk menyerang. Dan kemudian juga mempersoalkan penggunaan jilbab, kerudung gitu kan, cadar. Terus menggunakan kata-kata yang sebagai aurat dan sebagainya, itu juga kami temukan,” ungkap Intan. 

Selain korban misinformasi, perempuan juga menghadapi kerentanan dari sistem politik itu sendiri. Wartawan Republika tersebut menerangkan, politik hari ini cenderung masih identik dengan “dunia laki-laki”, sehingga sulit bagi perempuan untuk masuk ke dalamnya. Terutama dengan masih lekatnya stigma bahwa perempuan hanya melakukan kegiatan domestik semata.

“Memang sekarang kan secara umum aturan sudah mewajibkan partai minimal dengan keterwakilan (perempuan) 30 persen gitu, tapi itu juga jadi banyak pertanyaan oleh beberapa teman, karena satu tantangan dari partainya sendiri,” imbuhnya.

Menurutnya, kadang partai asal mencomot saja kader perempuan, yang penting bisa memenuhi aturan, tanpa memberikan bimbingan, kaderisasi dan pendampingan berpolitik praktis.

Senada dengan itu, Olivia Chadidjah Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan,  melihat partai politik (parpol) belum memiliki desain pengkaderan yang baik dan berperspektif gender. Parpol menganggap kaderisasi politiknya hanya diperuntukkan anggota laki-laki, bukan perempuan.

“Karena, ya itu tadi, perempuan hanya sebagai pemenuhan administratif, karena dibutuhkan…Setelah itu, forget it,” tegasnya.

Ia menambahkan, imbas dari masalah demikian dapat berpotensi, pertama, kekerasan berdimensi struktural. Salah satu contohnya adalah absennya kebijakan yang pro akan isu perempuan.

Kedua, kekerasan berdimensi sosial. Olivia mencontohkan salah satu kasus caleg perempuan pada 2018 lalu di Jakarta yang mengalami diskriminasi sewaktu blusukan. 

Kemudian ketiga, dapat berpotensi kekerasan akibat narasi dan teks yang bias gender, yang dapat dilihat pada atribut kampanye, narasi media massa, dan tokoh agama dengan pernyataan seksis dan merendahkan perempuan.

Intan menjelaskan, tidak amannya perempuan dalam konstelasi politik, yang juga berkelindan dengan tingginya kekerasan terhadap perempuan secara umum,  membuat caleg perempuan butuh pertimbangan lebih matang untuk masuk politik .     

“Teman-teman yang mungkin punya kapabilitas, punya kemauan untuk maju di dalam konstelasi politik, juga punya tangan dengan beban domestik gitu, dengan stigma dan sentimen ‘ah udahlah gak usah maju politik. Ngapain, urusin aja anak lu di rumah’, seperti itu,” ungkapnya.

Reporter Selo Rasyd Suyudi | Redaktur Mas Ahmad Zamzama N.