Home BERITAKABAR KAMPUS Dicekik UKT Mahal: Terpaksa Bayar Meski Tak Tepat Sasaran

Dicekik UKT Mahal: Terpaksa Bayar Meski Tak Tepat Sasaran

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Cerita Krisan dan Natasyah adalah potret mahasiswa UIN Suka yang mendapatkan golongan UKT yang tak sesuai kondisi ekonominya. Mereka seperti tercekik UKT sebab harus melakukan berbagai siasat hidup agar tetap bisa membayarnya. Bagi mereka, UKT tidak selalu bermakna ‘Uang Kuliah Tunggal’, tapi juga ‘Uang Kuliah Tinggi’.

Lpmarena.com—Kebahagiaan Krisan (bukan nama sebenarnya) saat diterima di UIN Sunan Kalijaga tak berumur lama. Meskipun UIN Suka kampus impiannya, kebahagiaan itu seketika redup saat melihat pengumuman penetapan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ia mendapat UKT dengan nominal Rp3,8 juta. Angka itu jauh lebih besar dari yang ia perkirakan.

Krisan mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi angkatan 2023. Ayahnya seorang penjahit keliling yang berkeliling saat musim kemarau. Begitu musim penghujan tiba, ayahnya mengambil pekerjaan menjahit dari sebuah konveksi dan mendapatkan penghasilan sekitar Rp250 ribu seminggu. Sedangkan dari menjahit keliling penghasilannya tak seberapa banyak. Sementara, ibunya tidak bekerja karena sakit.

Krisan dua bersaudara, tapi orang tuanya juga menanggung seorang sepupu yang sudah ditinggal wafat bapak-ibunya. Krisan sebenarnya lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) pada 2021, tapi di saat yang bersamaan adiknya juga hendak masuk SMA. Tentu butuh biaya banyak.

“Aku mau lanjut kuliah tapi dari orang tua sendiri kayak agak pesimis. Takut gak bisa membiayai. Jadi alternatifnya aku cari tambahan sendiri,” tuturnya kepada ARENA (12/12/2023).

Krisan pun mengalah. Ia harus bekerja terlebih dahulu untuk menghimpun uang. Mulanya ia bekerja menjadi penjaga toko, tapi gajinya habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membantu orang tuanya. Ia baru bisa menabung ketika kemudian bekerja di sebuah perusahaan farmasi. Setelah tabungannya terkumpul, ia mendaftar di UIN Suka melalui jalur tes mandiri Computer Based Test (CBT).

Krisan akhirnya diterima, dan menjadi mahasiswa adalah kebahagiaan tersendiri baginya. Apalagi UIN Suka kampus yang ia impikan sejak SMA. Namun, perasaan itu berubah ketika melihat golongan UKT-nya.

“Aku pikir ya mentok-mentok golongan 2. Ternyata dapat golongan 4,” katanya.

Karena mahalnya biaya itu awalnya ia ragu untuk melanjutkan kuliah, tapi orang tua meyakinkannya. “Nanti insyaallah semua ada jalan,” kata orang tuanya. Krisan juga pernah mencoba mendaftar Kartu Indonesia Pintar (KIP), tapi tidak lolos.

Krisan akhirnya menggunakan uang tabungannya untuk membayar UKT semester pertama, meski nominalnya tak sesuai dengan kondisi ekonomi keluarganya. Lalu, sejak tinggal di Jogja pada Agustus 2023, ia juga harus mengeluarkan biaya hampir 4 juta rupiah untuk biaya asrama selama setahun. Sehingga totalnya hampir 8 juta rupiah.

Pengeluaran besar itu membuat tabungan Krisan habis hanya di dua bulan pertama. Ia kemudian hanya mengandalkan kiriman bulanan dari orang tuanya sebesar Rp600-Rp700 ribu.

“Pokoknya (pengeluaran) maksimal tiap harinya 30 ribu. Udah termasuk makan sama biaya ke UIN-nya,” ujarnya.

Krisan tinggal di suatu asrama yang jauhnya sekitar 2 km dari UIN Suka. Di sana ia mendapatkan jatah makan sekali sehari. Karena tidak membawa motor, ia sering menggunakan ojek online untuk berangkat ke kampus. Pulangnya biasa menumpang kawannya seasrama. Kadang ia juga berjalan kaki untuk menghemat pengeluaran.

Seperti halnya Krisan, Natasyah Destian, mahasiswa angkatan 2023 Fakultas Sains dan Teknologi, juga menganggap nominal UKT-nya terlalu tinggi.

Ayahnya seorang nelayan di kepulauan Karimun Jawa yang penghasilannya tidak seberapa banyak, dan itu sumber penghasilan satu-satunya di keluarga. Saat pengisian data, Natasyah mengisi penghasilan orang tuanya satu juta perbulan. Tapi ia terkejut saat melihat pengumuman golongan UKT: golongan 3 dengan nominal Rp4.150.000.

Pengumuman UKT kala itu tak jauh dari Idul Fitri 2023. Sedangkan saat itu, ayahnya sudah lama tak pergi melaut. Bagi nelayan, tak melaut artinya tak mendapatkan uang.

“(Di tempatku) nelayan H-2 minggu lebaran itu udah ga kerja, terus sampe lebaran 2 mingguan baru bisa kerja,” kata Natasyah (27/11/2023) kepada ARENA.

Natasyah sebenarnya ikut mendaftar program beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K). Namun, ia tak lolos seleksi meskipun memiliki kartu KIP. Maka, untuk membayar UKT semester pertama yang tak sesuai kondisi ekonominya itu, Natasyah harus meminjam uang kepada budenya.

Di UIN Suka, bukan cuman Krisan dan Natasyah yang besaran nominal UKT-nya tidak sesuai dengan kondisi ekonomi. Menurut survei Forum Mahasiswa Kalijaga (Formal) untuk mahasiswa angkatan 2023, sebanyak 88,7% mahasiswa angkatan 2023 merasa UKT-nya tidak tepat sasaran. Itu artinya hampir 9 dari 10 mahasiswa mendapatkan besaran UKT yang tidak sesuai dengan kondisi ekonominya.

Sebagian besar mahasiswa dalam survei tersebut, tepatnya 41,9%, menyebut rata-rata penghasilan orang tuanya ada di kisaran Rp500 ribu–Rp2 juta. Sedangkan, dalam survei, golongan UKT dengan penerima paling banyak adalah golongan 7. Padahal, menurut perhitungan Pusat Data dan Analisis ARENA, rata-rata besaran UKT golongan 7 untuk mahasiswa 2023-2024 adalah Rp6,4 juta.

Temuan itu tentu janggal. Sebab, sebagaimana amanat UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, sistem penggolongan UKT harusnya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa. Tapi, pada praktiknya banyak mahasiswa mendapatkan besaran UKT yang terlalu besar dibandingkan penghasilan orang tuanya.

Massa aksi menuntut sistem UKT dihapuskan saat peringatan 26 tahun reformasi, di Museum TNI-AD Dharma Wiratama (21/05).
Massa aksi menuntut sistem UKT dihapuskan saat peringatan 26 tahun reformasi, di Museum TNI-AD Dharma Wiratama (21/05).

Sahiron, Wakil Rektor 2 Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, mengatakan bahwa UKT memang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Lebih jauh, menurutnya, mekanisme penetapan golongan UKT mahasiswa juga melalui verifikasi satu persatu secara manual oleh tim admisi UIN Suka.

Setelah pengecekan data, diadakan rapat yang dihadiri pimpinan seperti rektor, senat, wakil rektor, dan dekan, serta tim admisi. Melalui rapat itulah kemudian penggolongan dan besaran nominal UKT masing-masing mahasiswa baru ditetapkan. Proses penetapan itu bisa memakan waktu hingga dua minggu.

“Yang masuk di UKT 1 adalah mereka yang orang tuanya miskin, misalnya mereka yang punya Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan ibunya seorang janda yang berpenghasilan rendah. Dan penetapan UKT 2 sd. 7 didasarkan pada data penghasilan orang tua/wali,” kata Sahiron melalui pesan Whatsapp kepada ARENA, Jumat (08/12/2023).

ARENA lalu menanyakan, mengapa bisa terjadi kasus mahasiswa yang penghasilan orang tuanya tergolong kecil, sekitar 500 ribu-1 juta rupiah, tapi mendapatkan UKT 5 juta rupiah, sebagaimana temuan survei Formal di atas.

“Itu coba pikirkan, apakah penghasilan 500 ribu perbulan rasional? Tentu tidak rasional. Maka hal ini mempengaruhi keputusan rapat dalam penetapan (UKT),” tuturya.

Menurutnya itu data yang tidak valid. Karena mahasiswa tidak jujur dalam mengisi data. Dan, masih menurut Sahiron, data atau dokumen yang tidak valid jumlahnya banyak.

Jawaban WR 2 tersebut seolah-olah menegaskan bahwa masyarakat miskin memang tidak boleh berkuliah. Pasalnya, berdasarkan Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2023 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, garis kemiskinan ada di angka Rp550.458/kapita/bulan. Artinya, penghasilan perbulan di kisaran Rp500 ribu itu memang ada.

Lebih lanjut, saat menemui data yang dianggap tidak valid itu, pihak kampus akan mengkonfirmasi terlebih dahulu kepada calon mahasiswa dan orang tuanya melalui telepon, email, ataupun Whatsapp. Apabila terkonfirmasi kebenaran dokumennya, maka mahasiswa mendapatkan besaran UKT sesuai dengan kemampuan ekonominya.

“Apabila tidak bisa dikonfirmasi, maka kami putuskan di UKT yang tinggi karena ketidakjujurannya atau ketidakrasionalnya,” tutur Sahiron.

Sayangnya, meskipun mendapat UKT yang tidak sesuai kemampuan ekonomi, Krisan dan Natasyah mengaku tidak pernah dimintai konfirmasi terlebih dulu dari pihak kampus. Tiba-tiba mereka mendapatkan nominal UKT tinggi yang jauh dari bayangannya.

Krisan sendiri tabungannya telah habis untuk biaya kuliah di semester pertama. Karenanya, ia mesti memikirkan membayar UKT jauh-jauh hari. Ia harus menyiasati pengeluaran agar bisa menyisihkan uang tiap harinya untuk membayar UKT, kadang dengan tidak makan sama sekali kecuali dari jatah asrama, atau pulang kuliah berjalan kaki.

“Jadi orang tua tinggal nambahi berapa, kayak gitu,” tuturnya.

Untuk berjaga-jaga agar tidak kekurangan, Krisan juga kadang menjadi joki tugas kawannya, terutama kalau tulisan tangan. Cuman itu juga tidak selalu ada, sebab kebanyakan tugas berupa tulisan ketik. 

Pada 27 Desember lalu, menjelang waktu pembayaran UKT semester genap, Krisan akhirnya mendapat keringanan setelah mengajukan banding. Tapi UKT-nya hanya turun 1 juta, atau satu golongan saja menjadi golongan tiga. Nominal itu masih mencekiknya.

“(Apalagi) dengan kondisi kerjaan bapa yang sepi banget dan adek juga minta kuliah,” tuturnya lewat Whatsapp saat ARENA kembali menghubunginya (31/05).

Meski demikian, Krisan akhirnya berhasil membayar UKT semester dua: setengahnya merupakan uang hasil sisihannya selama semester satu, setengahnya lagi tambahan dari uang orang tua. “Sempet jual cincin kemarin buat bayar UKT,” katanya.

Adiknya sendiri, yang tahun ini lulus SMA dan berkeinginan melanjutkan kuliah, juga terancam bakal mengambil jeda (gap year) terlebih dahulu, sebagaimana yang dulu Krisan lakukan.

Kini, meski pembayaran UKT semester tiga masih cukup lama, Krisan sudah merancang upaya apa lagi yang bisa dilakukannya untuk membayar UKT. Ia masih mencari-cari kerja. Karenanya ia juga menjadi gamang hendak melanjutkan tinggal di asrama atau tidak. 

Ditolaknya Hak Sanggah UKT 

Menyiasati banyaknya UKT yang tidak tepat sasaran, sebenarnya Senat Mahasiswa dan Dewan Eksekutif Mahasiswa pernah mengajukan sistem sanggah kepada rektorat saat audiensi, Jumat (11/08/2023). Mudahnya, sistem sanggah adalah mekanisme yang bisa diajukan calon mahasiswa baru semacam Krisan yang keberatan dengan golongan UKT-nya. Harapannya, nominal UKT bisa diturunkan sebelum mahasiswa baru membayarkan UKT semester pertama.

Sayangnya sistem itu ditolak. Pihak rektorat beralasan bahwa sebelum membayar UKT, maka mereka belum berstatus mahasiswa. Keberatan pembayaran baru bisa diajukan setelah mahasiswa itu melakukan pembayaran UKT semester pertama, biasanya lewat banding.

Saat aksi mahasiswa empat hari kemudian, Al Makin masih menunjukkan konsistensinya menolak sistem sanggah. “Ya itu sudah resiko, mereka gak jadi masuk (UIN Suka) itu ndak papa,” katanya saat itu.

Hak sanggah bisa menjadi alternatif di tengah pengajuan banding yang tidak menyelesaikan masalah. Dalam kasus Krisan, misalnya, meskipun keberatan pembayaran sudah diajukan, nyatanya hasil banding pun tidak menjawab persoalan: penggolongan UKT masih tidak tepat sasaran.

UIN Suka adalah tangan panjang negara untuk memberikan akses pendidikan yang layak dan tidak timpang untuk masyarakat kelas ekonomi tertentu. UUD 1945 pun menyebutkan tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun nyatanya, mahasiswa semacam Krisan dan Natasyah harus kesusahan mendapatkan akses pendidikan dan tercekik biaya kuliah.

“Ada rasa nyesel (masuk UIN Suka). Kan katanya UIN Suka merakyat ya. Tapi pada realitanya itu enggak,” kata Krisan.

Reporter Aji Bintang Nusantara, Niswatin Hilma | Redaktur Mas Ahmad Zamzama | Ilustrator Sultan