Lpmarena.com–Para PKL Malioboro menggelar aksi di halaman depan Teras Malioboro 2 pada Rabu (17/07). Aksi digelar untuk menuntut ruang dialog antara pemerintah dengan para pedagang terkait relokasi.
Upik Supriyati, Pengurus Koperasi Pedagang kaki lima Malioboro, merespon pernyataan Gubernur DIY beberapa waktu lalu bahwasanya relokasi PKL sudah memiliki izin kontrak individual. Padahal sejak awal isu relokasi, Gubernur DIY mengaku perizinan atas nama paguyuban.
“Kami tidak pernah menandatangani surat kontraktual dengan pemerintah antara pihak pedagang dan pemerintah. Yang pernah kami alami, yang pernah dilakukan pemerintah yaitu validasi data pencocokan,” terang Upik saat diwawancarai ARENA.
Upik menerangkan ruang dialog ini diperlukan agar mendapat titik tengah yang juga bisa mensejahterakan pedagang. Bukan hanya dilihat untuk pariwisata atau penataan Malioboro.
“Kami ingin forum dialog terbuka bukan sosialisasi. Jadi memang komunikasinya dua arah,” papar Upik. “Permasalahan kami seperti apa dan apa permasalahan pemerintah. Solusi kami seperti ini, solusi pemerintah seperti apa, sehingga menyepakati adanya solusi yang terbaik,” lanjutnya.
Permasalahan para pedagang yang terjadi karena relokasi adalah sepinya pemasukan. Upik menjelaskan jalan masuk untuk ke Teras Malioboro 2 cenderung lebih jauh dan susah bagi para pengunjung. Apalagi pagi para pedagang yang mendapat lapak di belakang, kecil sekali kemungkinannya untuk menarik pengunjung yang datang.
“Bagaimana kalau kita disembunyikan di belakang Ramayana kemudian di belakang Teras Malioboro 1. Bahaya kalau di Teras Malioboro 1 di sana sudah banyak pedagang, ditambah pedagang di sini,” keluh Upik.
Raka Ramadhan perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menuntut agar Gubernur DIY segera menemui PKL Malioboro. Alih-alih berujar di media, lebih baik Gubernur DIY segera menemui sedikitnya 830 pedagang. Mereka menanti kejelasan dari relokasi karena sejak awal tidak pernah dilibatkan.
“Aksi ini dilakukan sebagai sindiran kepada pemerintah untuk melibatkan teman-teman PKL Malioboro dalam berdialog untuk mencari solusi bersama,” ujar Raka saat diwawancarai ARENA.
Raka menegaskan jika Gubernur tidak merespon aksi ini, maka para PKL akan menjemput atau membuka ruang dialog itu sendiri. Kegeraman atas tertutupnya ruang dialog juga karena penutupan Teras Malioboro oleh aparat keamanan.
“Setelah habis magrib lampu padam, akses keluar masuk ditutup. Kita sebagai pedagang mau keluar justru malah didorong atau dipaksa untuk tetap berada di dalam teras. Nah, sehingga itu yang kami sebut sebagai bentuk penyanderaan pagar. Kondisi yang sangat tidak baik,” cerita Raka.
Upik sebagai salah satu pedagang di Malioboro mengaku lebih adil untuk sesama pedagang sebelum adanya relokasi. Dikarenakan semuanya dalam satu tempat yang sejajar dan tidak terbagi dalam area depan-belakang seperti di teras Malioboro.
“Yang jelas kita pengin ruang dialog saja sih. Jangan sampai kita dibilang anti relokasi ternyata kita sudah di Teras Malioboro 2. Itu buktinya kalau kita ikut aturan pemerintah,” pungkas Upik.
Reporter Syamsukrandi | Redaktur Maria Al-Zahra