Home BERITA Kecewa Pada Pemerintahan Jokowi, PKL Malioboro Turun Aksi

Kecewa Pada Pemerintahan Jokowi, PKL Malioboro Turun Aksi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com– Re-vo-lu-si, Revolusi! Revolusi!

Begitulah teriakan yang terdengar hampir di sepanjang jalan Malioboro menuju Titik Nol pada Kamis (22/08). Ribuan massa aksi yang terdiri dari berbagai elemen; masyarakat, mahasiswa, akademisi dan tak terkecuali para Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro.  

Teriakan yang bukan tanpa sebab, kondisi demokrasi sedang darurat. Badan Legislatif (Baleg) DPR secara kilat adakan rapat untuk membahas revisi UU Pilkada. Pembahasan pun dilakukan hanya selang waktu 7 jam saja. Kesepakatan Baleg memicu amarah publik yaitu penggunaan Putusan Mahkamah Agung Nomor 23P/HUM/2024 sebagai landasan aturan batas usia dalam Revisi UU Pilkada.

DPR menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa seseorang dapat mendaftarkan diri pada Pilkada dengan usia sekurang-kurangnya 30 tahun, terhitung ketika proses pendaftaran. DPR ingin mengubahnya menjadi sekurang-kurangnya berusia 30 tahun terhitung ketika pelantikan. Upaya perubahan ini dilakukan bertepatan dengan rencana majunya Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi pada Pilkada Jawa Tengah, Jawa Barat, atau DKI Jakarta.

Indikasi nepotisme yang dilakukan oleh Jokowi membuat banyak masyarakat Yogya turun ke jalan, salah satunya Upik Supriyati. Ia bersama puluhan PKL Malioboro turun ke jalan karena tergerak untuk melawan kesewenang-wenangan rezim Jokowi.

“Hati nurani juga tergerak untuk gerakan rakyat, untuk memperjuangkan bahwa memang konstitusi negara ini sedang tidak baik-baik saja,” tutur Upik.

Upik menilai sebagai masyarakat tidak boleh pasif, tapi aktif dengan mengawal kebijakan. Terlalu riskan jika meninggalkan pemerintah tanpa pengawasan karena segala kesewenang-wenangan pemerintah pastilah akan berimbas kepada keseharian masyarakat.

“Setiap kebijakan apapun itu kan juga tergantung juga dengan konstitusi. Kalau memang keberpihakan pemerintah pada kekuasaan, maka rakyat juga akan tertindas. Akan selamanya tertindas. Terutama rakyat-rakyat yang kecil,” papar Upik.

Upik sangat menyesalkan ketika DPR begitu kilat membahas UU Pilkada, sedangkan di sisa lain kepentingan rakyat kecil tidak dibahas. Dewan yang katanya mewakili suara rakyat nyatanya justru membungkam aspirasi rakyat.

“Beberapa kali kita mengadakan audensi ke DPR, yang pertama pansus relokasi, yang kedua pansus rekomendasi hasil data. Itu pun hanya sebatas rekomendasi tidak bisa, tidak ada tindak lanjut dari pemerintah,” jelasnya. 

Tak heran jika dalam salah satu poster massa aksi menulis ‘Buat Rakyat Serba Lambat, Buat Anak Semua Cepat!’.

Terlihat dari RUU Perampasan Aset yang mangkrak 16 tahun, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) mangkrak 20 tahun, dan RUU Perlindungan Masyarakat Adat mangkrak 21 tahun.

Upik menuntut pemerintah untuk bersikap adil. Aspirasi rakyat, undang-undang untuk kepentingan rakyat dan suara-suara rakyat seperti PKL Malioboro untuk bisa diperhatikan. Selama ini yang terjadi pemerintah hanya peduli pada  kepentingan beberapa golongan atau bahkan satu keluarga.

“Dimana negara tidak menjunjung konstitusi, hanya menjunjung kekuasaan, selamanya negara tidak akan maju,” ujar Upik dengan geram. 

Kesewenang-wenangan pemerintah, lanjut Upik, sudah tidak dapat dikatakan sebagai demokrasi karena meminggirkan aspirasi rakyat kecil, PKL Malioboro salah satunya. Upaya-upaya konsolidasi hingga demonstrasi telah dilakukan, tapi semua pemangku kebijakan di tingkat kota atau daerah malah memalingkan muka.

“Dalam aksi ini kami ingin setidaknya pemerintah, baik itu legislatif, baik itu dari Dewan juga, ayolah turun ke bawah merasakan bagaimana penderitaan rakyat yang sekarang terjadi,” pungkas Upik.

 Reporter Sadrah Tawang | Redaktur Maria Al-Zahra