Lpmarena.com – Srikandi Lintas Iman (SRILI) Yogyakarta bersama Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dan beberapa organisasi lainnya menggelar diskusi sekaligus nonton bareng film dokumenter “Mengejar Mbak Puan” pada Minggu (25/08) di Syantikara Youth Center, Yogyakarta. Film tersebut dirilis buntut dari mangkraknya RUU PPRT yang tak kunjung disahkan.
Gita Nirmala selaku anggota Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia kecewa dengan DPR yang seharusnya berpihak kepada PRT, namun malah mengesampingkan kepentingan dan hak-hak PRT. Salah satu yang dibutuhkan adalah perlindungan terhadap PRT.
“Keadaan PRT ini sangat rentan. Kekerasan terhadap ekonomi, kekerasan terhadap fisik, kekerasan terhadap verbal bahkan sampai kekerasan seksual dan berakhir pembunuhan,” ujarnya.
Sudah 20 tahun mangkrak, kekecewaan Gita semakin bertambah karena DPR justru mengesahkan UU Pilkada hanya dalam waktu kurang lebih 7 jam.
“Mereka melihat bahwa PRT bukanlah sesuatu yang urgen. Karena di situ ada relasi kuasa. Kuasa antara pemberi kerja dan PRT. Di mana yang menggunakan jasa-jasa PRT adalah mereka semua penguasa negara ini, DPR terutama,” tutur Gita.
Melansir data dari Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan bahwa jumlah kekerasan yang dialami oleh PRT pada kurun waktu 2018-2023 terdapat 2.641 kasus kekerasan kepada pekerja rumah tangga. Mayoritas kasus berupa kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi dalam situasi kerja.
Film dokumenter “Mengejar Mbak Puan” dirilis pada tahun 2023, menceritakan pergulatan PRT dalam memperjuangkan nasib agar terbebas dari kekerasan, diskriminasi serta perlakuan tidak adil yang dialami PRT. Film ini juga sebagai bentuk kampanye kepada masyarakat untuk ikut andil dalam mendorong pengesahan RUU PPRT.
Yuli Mahaeni sebagai pemantik diskusi mengkhawatirkan kondisi PRT saat ini masih banyak yang mengalami kekerasan. Ia mendesak pemerintah, khususnya ketua DPR RI, Puan Maharani untuk segera mengesahkan RUU PPRT menjadi UU.
“Waktu itu kita mau menemui Mbak Puan itu sangat susah sekali, jadinya waktu itu kita kalau aksi posternya itu selalu mencari Mbak Puan. Sudah ketemu akhirnya Mbak Puan memberikan ruang terus akhirnya ada inisiatif RUU, inisiatif DPR gitu. Dan sampai saat ini RUU PRT ini masih disandera oleh DPR,” imbuh Yuli.
Yuli menuturkan hampir setiap bulan selalu ada kasus kekerasan terhadap teman-teman PRT. rata-rata satu bulan ada lima kasus yang masuk. “RUU PPRT ini hadir untuk melindungi para pekerja rumah tangga agar negara punya payung hukum untuk melindungi warga negaranya untuk melindungi PRT,” lanjutnya.
Tak kunjung disahkannya RUU PRT juga tak lepas dari stereotip sebagian besar masyarakat bahwasanya PRT adalah pembantu. Padahal menurut Yuni, PRT adalah jenis pekerjaan yang sama dengan pekerjaan lain seperti dokter, polisi, atau guru.
“Saya sama temen-temen ini mencoba dan terus berusaha berjuang mensosialisasikan bahwa kami ini pekerja. Kata pekerja sendiri kan ada perjanjian ada upah ada pemberi kerja,”ujar Yuli. Harapannya dengan pemahaman PRT adalah pekerja, maka adanya kesetaraan sama dengan pekerjaan lainnya yang mendapat perlindungan, upah layak dan hari libur yang jelas.
Reporter Ridwan Maulana | Redaktur Maria Al-Zahra