Home SASTRAPUISI INGIN MENJADI NABI: Puisi-Puisi Ahmad Fauzi

INGIN MENJADI NABI: Puisi-Puisi Ahmad Fauzi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

PERMISI
pinjam seratus
aku ingin berhutang
kelak aku bayar cash
di neraka, di ruang 105

aku ingin gali liang
agar masuk surga
sebab katanya
perlu mati untuk sampai sana

aku ingin merebah
sambil bernyanyi
jika tidak dibungkam
di surga, nirwana,
atau apa pun sebutannya

KELAK
pada akhirnya surga bukanlah tujuan
neraka menjadi tempat berkumpul
tempat semua cerita diramu dan disaji
dituang dan ditenggak
setiap botol-botol diputar
kepala didudukan di bawah meja
kaki diletakkan di atas kursi
lampu-lampu berwarna abu
berkelap kelip tanpa warna-warni

MAN(USIA)
kita tidak lagi bersujud di kaki orang mati, orang-orang yang menyebut diri “anjing penjaga”—hanya sebatas anjing yang terjaga, diikat, dipukuli, lalu mati.

kita tidak perlu takut lagi pada dalang-dalang yang memainkan lakon akan kita—kita lakoni dalang dan membubarkan acara.

kita tak perlu lagi takut terkena hujan—air mata air mengalir di bawah ketiak, selangkangan dan tenggorokan

tidak perlu takut lagi pada mesin-mesin besar—kapal-kapal pesiar yang berlabuh hanya untuk tenggelam

kita naiki air yang nanti akan jatuh bersama tanah. tanah surga katanya, tapi di neraka juga ada surga, di dunia juga ada surga, di kaki lima juga ada. surga dimana kamu dimana.

kini waktu tak lagi mengejarmu, kau bisa kejar dia semaumu, semampumu, semampusmu. lagian, kapan waktu itu ada? dia hanya bias masa lalumu yang diromantisasi berkali-kali.

kau kini bebas dari auman setan, setan-setan dikunci mati dengan kunci inggris oleh orang-orang paris. lagian setan juga tidak ada, hanya ketakutan yang disandarkan pada setan.

katanya aku tidak boleh berbicara begini, di depan orang-orang tua yang membawa tongkat sakti. sebab katanya sakti-sakti itu lupa diri, lupa akan diri, dilupakan diri, melupakan diri, meluapkan diri.

pagi ini aku rela mati, asal bisa bangun lagi besok dan besoknya lagi. sebab masih ada besoknya besok yang tidak pernah berakhir, lagipula kapan besok berakhir?

aku ingin hari ini menjadi esok hari, esok, dan esok-esoknya lagi.

INGIN MENJADI NABI
untuk kaki-kaki yang berdiri di pintu surga
berbangga-semarak ceria
perputaran mantra keluar hingga berbuih
bersama dengan wahyu yang disampaikan acak
tanpa nama, tanpa gelar, tanpa umat

untuk hati-hati yang pernah bernaung pada ruang yang sama
untuk arwah-arwah leluhur yang membebani pundak

aku ingin mendapat wahyu
yang tidak dibagi-bagi pada nabi
kabar damai tentang nilai
bukan nilai yang diwarisi atau diadopsi
bukan pula petuah-petuah petinggi


karena semua hanyalah bualan konyol yang dipersonifikasi
aku ingin mendapatkan tanpa dibagi, tanpa dikurangi

perlukah aku membuat sebuah bahtera,
mencari hira atau menaiki sina?


bisakah kita membuat baru,
tanpa meniru-niru nabi terdahulu?

Fauzi Ahmad sebuah tragedi

Ilustrasi Hidayat Pasaribu | Editor Selo Rasyd Suyudi