Home MEMOAR Jangan Masuk ARENA! (Tapi Saya Terlanjur Masuk)

Jangan Masuk ARENA! (Tapi Saya Terlanjur Masuk)

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Aulia Iqlima Viutari*

Lpmarena.com- Selamat datang di Arena! Di mana kenikmatan duniawi dan surgawi bersatu!

Ruangan itu dipenuhi guratan tinta, bundelan arsip, dan setumpuk koran. Saya terdiam memaku di depannya, seketika teringat dengan kegiatan masa kecil mengambil koran pagi milik ayah di depan rumah, kemudian ia baca dan mengklipingnya menjadi beberapa bagian. Ayah sering mengajakku pergi ke pasar Jatinegara untuk membeli beberapa buku bekas dan tak lupa membelikanku satu majalah Bobo.

“Jangan masuk Arena!” teriak salah satu orang di dalamnya.

Saya terheran-heran, mengapa ada yang berkata seperti itu, bukankah organisasi, harus melakukan regenerasi? Toh, di ruangan UKM lain yang saya kunjungi mereka malah menawarkan keunggulan-keuntungan masuk UKM itu? Saya makin penasaran dan mencoba masuk. Masuk terlalu dalam. 

___

Melihat sisi lain dunia bekerja. Di sini awal saya melihat sudut pandang lain sebuah kehidupan. Sejalan dengan slogan Arena, “Kancah Pemikiran Alternatif”, saya mulai menyadari bahwa dunia ini seperti teka-teki raksasa yang terus berubah. Tidak terfokus pada isu utama, tapi juga pada cerita-cerita kecil yang acapkali tak terlihat.

Selama ber-Arena, saya kayak diajak buat nguprek-nguprek isu atau fenomena sosial yang seringkali dianggap lumrah. Dulu, saya cuma ngeliat berita sebatas permukaannya saja. Kemudian, setelah masuk, sebagai jurnalis mahasiswa, membuat saya harus lebih peka terhadap lingkungan sekitar.

Banyak hal yang saya dapatkan selama ber-Arena. Saya ingat betul, ada istilah “Trilogi Arena”, yakni baca, diskusi, nulis. Jujur saja, di awal masuk kuliah bisa dihitung jari saya membaca buku, itu pun tidak tuntas, sampai-sampai diejek Pimpinan Umum (PU) saat itu, “Baca Madilog empat bulan ora rampung-rampung!” spontannya. Hal itu membuat saya memaksa diri untuk membaca buku, apa pun judul atau genrenya, daripada ngang-ngong saja. Dari diskusi ke diskusi pun tak luput dari kerutan wajah Marx. Hingga hari ini pun wajah Pak Tua itu masih terngiang-ngiang di pikiran saya.

(Arena-Areni)

Setelah melalui berbagai proses, akhirnya saya mulai memahami mengapa ber-Arena sekompleks dan serumit itu. Misalnya, ketika Rapat Redaksi (RR) berlangsung, ada mengajukan isu aksi buruh menolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), tentu seorang pers mahasiswa dituntut tidak hanya meliput aksi yang dilangsungkan, namun mengungkap hal yang mengganjal dan tak terlihat, seperti tuntutannya, alasan buruh menolak UU Ciptaker, ataupun bentuk dari aksi yang dilangsungkan. Dari sana, ternyata akar masalahnya itu kompleks, ada hubungan dengan kebijakan pemerintah yang enggak pro-rakyat, sama sistem yang enggak adil, dan mencekik buruh. Begitu pula dengan isu lainnya, harus diblejeti hingga bagian terkecilnya.

___

Sebelum media sosial datang, pers mengawetkannya dalam bentuk reportase.

Sebelum maraknya platform media sosial yang memungkinkan siapa saja bisa meng-upload sebuah kejadian, surat kabar, radio, dan majalah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah. Reportase, sebagai jantung dari jurnalisme berperan untuk merekam peristiwa penting. 

Di awal Rezim Orde Baru, Soeharto menjanjikan kebebasan pers melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers. Namun, seiring berjalannya waktu, kebebasan pers di masa Orde Baru mulai meredup, banyak media massa dan surat kabar dibredel, tak luput Arena yang mendapat teguran karena menerbitkan pemberitaan tentang Kedung Ombo dan dibredel rektorat lantaran menulis laporan utama “Bisnis Keluarga Presiden”.

Walau berbagai guncangan keras yang menimpa Arena, semua itu tidak meredupkan semangat awak ARENA untuk melakukan budaya menulis dan berpikir kritis. Meskipun Pers Mahasiswa dapat menawarkan analisis yang lebih mendalam dan perspektif yang berbeda, mahasiswa hari ini cenderung lebih tertarik pada informasi yang cepat, mudah dicerna. Ini memaksa Arena untuk menggencarkan kembali produksi konten yang interaktif seperti Mancis, Takar, dan Selingan agar lebih mudah berinteraksi kepada pembaca.

Dalam setiap masa kepengurusan yang saya rasakan, pasti ada yang nyeletuk “Kapan dibredel lagi?” ataupun, “Jangan berhenti nulis sebelum dibredel”. Ini menjadi tolok ukur bagaimana Arena mendalami suatu isu yang berhasil menyentil birokrasi kampus.

Jadi, kapan dibredel ((lagi))? Hehehe

* Penulis adalah Maba UIN Sukijo 2019 dan sedang merayap di Divisi Pendidikan FPPI Pimkot Yogyakarta  |  Foto Dokumentasi pribadi