Home MEMOAR Mana Tulisanmu?

Mana Tulisanmu?

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Roziqien*

Lpmarena.com– Setelah lebih setahun meninggalkan Jogjakarta, saya menyadari satu hal: dunia tidak ramai dan kurang asyik jika tidak bersama orang-orang “gila”—mereka yang nyaris seperti Don Quixote. Berdampingan dengan mereka memang cukup merepotkan. Mereka menerjang apa saja yang dianggap raksasa, meskipun hanyalah bayangan baling-baling besar, dan akhirnya sering membuat diri mereka babak belur.

Mungkin mereka berpikir sedang berpetualang dengan misi menyelamatkan kerajaan. Di tengah perjalanan, tanpa sadar, mereka menghidupkan dunia di mana obrolan sederhana bisa berubah menjadi sangat rumit, dan tidak ada hari tanpa topik besar. Saya ingat seringkali mereka—kawan-kawan penuh ide itu — resah jika hidup hanya sebatas mengumpat.

Di dunia kecil itu, saya bertemu dengan orang-orang yang kepala mereka begitu rumit, bahkan saking rumitnya, mereka bisa memilih untuk tidur saat kelaparan. Kehidupan yang penuh kontradiksi ini membuat saya merasa seolah-olah saya adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—sebuah komplotan yang tak pernah puas dengan apa yang ada. Terkadang saya berpikir, mungkin saya harus pergi, membakar semua buku yang mereka simpan untuk menyelamatkan diri. Tetapi, saya takut dikira tentara. Saya tetap bertahan, dan ikut mengacungkan jari tengah pada raksasa-raksasa.

Ada saat-saat di mana saya merasa meledak-ledak, kayak sedikit gemetar saat ngobrol tentang segala hal dengan mereka. Namun, ketika ditagih —”Mana tulisanmu?”— saya tetap merasa tak mampu seperti mereka. Mungkin itu satu-satunya perbedaan antara saya dan kawan-kawan yang lain. Mereka seperti kucing kelaparan, malahap apapun yang dianggap sampah. 

Saya ingat betul kejadian aneh — dan kadang menggelikan — ketika saya ditugaskan untuk mengikuti salah satu pedagang di Pasar Sunmor (Sunday Morning). Pada awalnya, saya dan seorang teman hanya berpikir untuk meliput dampak relokasi bagi perekonomian mereka. Tetapi begitu kami sampai, segala rencana itu berubah. Saya malah dibawa ke halaman belakang, di depan indekos lantai dua.

Seharusnya, saya tidak boleh kaget. Saya hanya perlu menyalakan rokok, menarik napas dalam-dalam, dan berkata, “Sialan.” Namun, dalam perjalanan itu, saya sudah dipenuhi oleh pertanyaan yang sama: “Mana tulisanmu?” dan saya kebingungan.

Saat itu, saya tahu harus lebih banyak membaca, hingga saya percaya diri untuk berteriak selantang mungkin “I am Still Marxis”. Meskipun saya yakin, jika Marx masih hidup, ia akan berkata, “Mampus kau dikoyak orang-orang Marxis!” Namun  itu lebih baik daripada pertanyaan yang selalu muncul itu: “Mana tulisanmu?” Pertanyaan yang terus menandai diri saya dan kawan-kawan yang lain.

(Touring dan kunjungan ke beberapa LPM di Malang)

Terkadang rasanya getir dan tidak enak. Saya yakin pencetus pertanyaan ini memang orang yang kurang ajar. Saya mengingat dengan jelas wajah orang yang hobi bertanya ‘Mana tulisanmu?’ itu. Wajahnya selalu terlihat kurang vitamin. Entah ini semacam fetish atau ritual sosial, saya tidak tahu pasti. Namun, yang saya bayangkan, mungkin jika pertanyaan ini tidak dilontarkan, dunia akan chaos.

Pertanyaan itu, saya sadari, adalah bentuk lain dari raksasa yang selalu mengintai — dalam dan luar diri saya. Dunia yang meminta kita terus produktif, terus menghasilkan, bahkan ketika tubuh dan pikiran kita ingin berhenti sejenak. ‘Mana tulisanmu?’ bukan hanya sindiran dari kawan, tetapi juga gema dari tuntutan tak kasatmata untuk terus menghasilkan nilai. Mungkin itu sebabnya saya merasa menjadi bagian dari Don Quixote, seorang yang melawan raksasa dengan segala kekuatan, meski tahu hasilnya akan menggilas dirinya sendiri.

Namun, justru dalam perlawanan itu, saya menemukan makna. Karena di balik setiap ‘Mana tulisanmu?’ ada pengingat bahwa menulis adalah bentuk perlawanan kecil saya. Tulisan adalah cara saya mengacungkan jari tengah pada raksasa-raksasa yang tak pernah puas. Dan mungkin, pada akhirnya, kita semua adalah Don Quixote dengan cara kita masing-masing. Berjuang melawan raksasa yang tak tampak, bertanya tentang apa yang tidak kita mengerti, dan terus menulis cerita-cerita kita meskipun dunia terus bertanya, ‘Mana tulisanmu?’ dan saya mulai bertanya “Mana Tulisan saya?”.

Selamat Ulang Tahun Na!

*Anggota LPM Arena angkatan 2017. Lahir di Sumenep di tahun penting 1998. Tergabung dalam Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM). Di balik tugasnya yang serius, ia punya bakat unik yang selalu dikontribusikan untuk divisi konsumsi. Entah kebetulan atau tidak, Roziqien kerap terlihat di lokasi konsumsi saat makanan hampir habis, seolah memiliki radar khusus untuk momen-momen krusial.  |  Foto Dokumentasi pribadi