Barangkali mempunyai sikap sadar diri memang harus dimiliki tiap anak laki-laki. Dengan skill medioker dalam bermusik , tampilan uncool—untuk menjadi rocker adalah hal yang sangat jauh. Bahkan menjadi anak band rasa-rasanya perlu mewawas diri. Nuran Wibisono menyadari hal itu. Hidupnya tak neko-neko. Kredo sex, drugs, and rock n roll buatnya terlalu berat. Terlebih, dirinya sadar sedang hidup di Indonesia, batinnya.
Lewat Nice Boys Dont Write Rock N Roll yang ditakik dari tembang milik Rose Tatto, band asal Australia, berjudul “Nice Boys”, Nuran merekam perjalanan menjadi penikmat sekaligus jurnalis musik selama satu dekade lamanya: 2007-2017.
Nuran menggunakan kata side untuk menggambarkan tiap babnya. Dalam musik, istilah ini umumnya disebut Side B. Biasanya berisi lagu-lagu atau karya lain dalam sebuah album musik. Side B juga punya peranan sebagai ruang eksplorasi musisi yang secara konsep berlainan dengan Side A.
Keberagaman bahasan yang disuguhkan pada buku ini ringan dan apa adanya. Tentu, membacanya adalah hal yang menyenangkan. Melalui penceritaan naratif, tengil, dan nakal, buku ini ia rangkum dalam enam babak. Sejenis ensiklopedik, bisa dibilang, mengingat literatur musik di Indonesia masih kering. Dari format esai, feature, hingga wawancara ada dalam buku ini.
Pemahaman Nuran soal ekosistem musik dibarengi kecapakan memahami literatur berbahasa Inggris, membuatnya bisa kapan saja beradu argumen. Band favorit istrinya tak luput dari cibirannya juga. Tapi perihal selera memang tak bisa diperdebatkan, bukan?
Arus informasi yang memisahkan antara kota dan desa; pusat dan daerah, sedikit banyak membentuk selera musik saat Nuran remaja. Untung saja, ia masih diselamatkan oleh ayahnya (hlm. 3). Peranan orang tua memberikan pengaruh tersendiri atas selera anak, sampai ketika tumbuh dewasa. Lain cerita istri Nuran atau sebagian remaja saat itu, mereka hanya mampu mengakses siaran MTV yang bertindak sebagai juru selamat (hlm. 26).
Perihal Musik dan Selingkarnya
Musik lamat-lamat menjelma sebagai suatu industri yang tak bisa ditampik. Industri musik tidak hanya menempatkan musisi sebagai pencipta karya dan penampil, namun juga sebagai sapi perah dalam jaringan bisnis. Nikki Sixx, bassis Motley Crue menerangkan betapa jahanam industri ini. Pertemuannya dengan Britney Spears, bintang pop dekade 90-an, turut mengilhami Sixx untuk mencetuskan cog theory. Gemerlap yang pernah mengelilingi Britney tampak menyedihkan saat ia berada di pusat perbelanjaan (hlm. 34).
Cog theory secara sederhana adalah tahapan yang harus dilalui musisi. Faktor bakat, ketepatan waktu, keberuntungan, dan ketahanan para musisi diuji di sini (hlm. 35). Berbagai faktor itu harus padu. Satu faktor tak terpenuhi, memaksa musisi harus mengantri lagi di gerbang industri.
Pasang surut pembuatan album, album menjadi populer, dan menggenjot promosi, lalu mencapai kesuksesan adalah tahap pertama. Tahap kedua, dengan kesuksesan yang telah mereka capai tekanan industri semakin kencang. Ego antar personil atau manajemen, tuntutan untuk mencapai kesuksesan kedua adalah momok. Belum lagi kehidupan personal yang selalu dibayang-bayangi popularitas, privasi seringkali nihil, juga ketenangan batin yang nyaris hilang, menuntut musisi punya ketahanan prima di tahap ini. Industri layaknya sebuah mesin yang terlalu kuat untuk dilawan. Rentetan panjang harus dilewati dan pada akhirnya menyisakan tahap penghacuran. Industri akan menghadapkan musisi pada dua pilihan: masuk pada antrian panjang lagi atau hancur dilumat mesin.
Cog theory rasa-rasanya menemukan titik didihnya ketika gelombang boyband–girlband masuk di Indonesia. Berbekal popularitas yang masih melekat, tak sedikit jebolan boyband atau girlband memilih beralih profesi namun tetap di ceruk industri entertainment, atau, dengan meninggalkan lingkaran setan ini.
Perkembangan zaman yang serba digital, di waktu bersamaan kiamat bagi rilisan fisik seperti CD, kaset, dan piringan hitam menuntut musisi untuk kian terampil. Keberadaan platform streaming musik macam Spotify, Apple Music, dan seterusnya, merupakan bentuk kemajuan. Tapi namanya industri tentu ada yang diuntungkan sekaligus dirugikan (hlm. 51).
Musisi yang baru nyemplung ke industri tentu harap-harap cemas jika menggantungkan pendapatannya pada layanan streaming. Kepopuleran adalah jawaban naif lagi bijak untuk merespon hal ini.
Di Indonesia, gairah menikmati apapun yang berbau musik terus menyala tiap tahunnya, bahkan pasca pandemi. Selalu ada cara lain untuk mencari uang pastinya. Konsumsi hal-hal yang berbau musik tidak sebatas pada lagu atau rilisan album, namun juga merchandise musik.
Merchandise memainkan peranan penting sebagai salah satu sumber pemasukan bagi band atau musisi. Sebut saja band macam Teenage Death Star yang lebih sering merilis merchandise ketimbang lagu atau musiknya, atau band sekaliber Efek Rumah Kaca (ERK) dan The Sigit, sudah fokus membaca gelombang baru ini (hlm. 74).
“We are the people that can find whatever you may need
If you got the money, honey, we got your disease…”
Hair Metal vs Grunge
Semua berawal dari sebuah bar bernama Whisky A Go Go. Bar di kawasan Sunset Trip, Los Angeles. Kawasan yang memulai hari saat petang malam dan berakhir siang. Kalau skena punk rock lahir dan tumbuh di CBGB New York, para begundal rock n roll dengan riasan menor, bercelana ketat: mungkin motif leopard atau macam plastik yang mengkilat, tumbuh dan besar di Whisky A Go Go.
Motley Crue adalah salah satu dari sederet nama-nama terhormat yang tumbuh di Whisky A Go Go. Di bar yang mungkin persediaan whiskey-nya tak pernah habis. Cinta pertama Nuran pada Motley Crue rasa-rasanya harus digoyahkan ketika ia mengetahui Appetite for Destruction milik Guns N’ Roses. Band paling berbahaya di dunia.
Walaupun sama-sama membawa spirit hair metal, Motley Crue dan Guns N’ Roses nyatanya pernah berseteru. Antara Vince Neil di sisi Motley Crue dengan Axl Rose di sisi Guns N’ Roses. Pemicunya soalan klasik yang kerap menimpa para rocker, yaitu perempuan (hlm. 227).
Belum rampung perseteruan itu, muncul gelombang grunge yang dibawa pemuda asal Abeerden, Washington, bernama Kurt Cobain. Cobain bertindak sebagai juru bicara Gen X lewat Nirvana. Nirvana ia bungkus dengan kemarahan, perasaan gundah, sikap melawan dunia, dan slogan “i hate myself and want to die” (hlm. 303).
Tak bisa dipungkiri album Nevermind milik Nirvana, dengan tembang wahidnya Smells Like Teen Spirit siap menjadi api yang membakar Gen X kapan saja. Berbeda dengan band hair metal, walaupun secara musik lebih skillful tapi lirik-liriknya tak akan jauh dari pesta semalam suntuk, narkoba, dan ngewe (hlm. 301).
Sayang, Cobain hidup tak lama. Popularitas dan uang yang siap saji sekalipun tak menolongnya hidup lebih lama. Mayat Cobain ditemukan di rumahnya dengan bedil di sampingnya.
Matinya Cobain membawanya bergabung di 27 Club. Tercatat, beberapa nama terhormat macam Brian Jones, Janis Joplin, hingga vokalis malang berjuluk The American Poet Jim Morrison juga ada di sini (hlm. 486).
Mungkin cog theory milik Sixx berlaku dan memang begitulah industri musik berjalan. Ada nama-nama baru bermunculan, di waktu bersamaan akan ada yang terkubur tenggelam. Akan ada yang selalu dikenang dan juga dibuang.
“The future’s uncertain and the end is always near…”
Saya merasa beruntung membaca buku ini. Sejak penghabisan majalah Rolling Stone Indonesia, dahaga akan bacaan musik, setidaknya, berkurang karena buku ini. Dan ya, saya setuju dengan Nuran. Tak ada yang lebih nikmat daripada mencintai sesuatu lalu menuliskannya.
Kudos!
Judul Nice Boys Dont Write Rock N Roll: Obsesi Busuk Menulis Musik 2007-2017 | Penulis Nuran Wibisono | Penerbit EA Books | Tebal xvi + 576 hlm. | Peresensi Yudhistira Wahyu Pradana
Editor Selo Rasyd Suyudi