Home BERITA Tuntut Audiensi dengan DPRD DIY, PKL Malioboro Mengalami Represi hingga Diserang Orang Tak Dikenal

Tuntut Audiensi dengan DPRD DIY, PKL Malioboro Mengalami Represi hingga Diserang Orang Tak Dikenal

by lpm_arena

Lpmarena.com – Pedagang Kaki Lima Malioboro yang tergabung dalam paguyuban Tri Dharma dan komunitas Girli bersama Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (ARUS) kembali menggelar aksi di depan kantor DPRD DIY, pada Jumat (07/02). Massa Aksi menuntut DPRD DIY untuk beraudiensi dan bertanggung jawab atas relokasi kedua yang dilakukan sewenang-wenang dan minim persiapan. 

Upik, ketua paguyuban Tri Dharma, menyatakan sampai saat ini masih ada pedagang yang belum mendapat lapak untuk berjualan. Di lain sisi, sebanyak 135 pedagang mendapat Surat Peringatan (SP) dari pemerintah karena tidak segera berjualan. Padahal, pedagang yang sudah mendapat lapak belum bisa berjualan karena keterbatasan modal.

“Tanggal 26 Januari 135 anggota kami mendapat SP. Seharusnya sebelum ada SP pengelola menanyakan kenapa belum buka, secara humanis dulu, tapi nyatanya ya lagi-lagi langsung dikasih SP,” katanya saat diwawancarai ARENA.

Selain itu, Upik juga menegaskan bahwa para pedagang menuntut diberikan jaminan hidup pasca relokasi kedua, transparansi proses relokasi, dan mengusut kepemilikan lapak yang diperoleh dengan cara tidak baik. Seperti yang telah diketahui sebelumnya pada Keputusan DPRD Kota Yogyakarta No. 22/KEP/DPRD/XII/2023 tentang Catatan dan Rekomendasi terhadap Validasi Pedagang Teras Malioboro 2. 

“Kalau memang pemerintah tidak bisa memberikan jaminan hidup dalam bentuk anggaran atau uang, beri kami ruang dan waktu untuk berjualan di selasar agar bisa menjamin hidup kami kembali seperti dulu,” tegasnya.

Sejak awal Januari, DPRD DIY sudah membatalkan 2 audiensi dengan para pedagang secara sepihak. Bahkan, hingga pukul 15.30 WIB saat aksi berlangsung, DPRD DIY enggan menemui massa aksi dengan dalih jadwal penuh.

Upik mengeluhkan ketidakseriusan pemerintah menangani masalah relokasi. Para pedagang lagi dan lagi hanya diombang-ambingkan. Tidak ada kejelasan dan alasan yang jelas kenapa pemerintah tidak menemui para pedagang. 

“Kemarin terakhir kita ketemu pada tanggal 24, dijanjikan tanggal 31, kemudian tanggal 31 tidak ada jawaban, katanya tanggal 3, kita datang tanggal 3 ternyata juga malah ga ditemuin. Tidak dijelaskan kapan tepatnya kita akan diterima,” ungkap Upik kecewa.

Massa aksi yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya memutuskan untuk memblokade jalan Malioboro. Kemudian para pedagang berjualan di sepanjang selasar sebagai bentuk protes langsung terhadap pemerintah.

Aksi pemblokadean jalan dan berjualan di kawasan selasar tak lain hanya upaya untuk mendapat perhatian DPRD DIY. Namun, di sela-sela protes berlangsung, pihak Satpol PP yang berada di selasar bagian barat dengan arogan mencoba untuk menyita barang dagangan para pedagang. Sempat terjadi adu mulut antara para pedagang, mahasiswa dengan Satpol PP.

Rakha Ramadhan, selaku kuasa hukum paguyuban Tri Dharma mencoba untuk menengahi situasi yang mulai mencekam. Ia menerangkan bahwa tindakan Satpol PP yang hendak menyita barang dagangan tidak patuh prosedur. Menurutnya, harus ada tahapan yang dilalui dan dipatuhi sebelum melakukan penertiban.

“Mestinya ada teguran lisan dan tulisan terlebih dahulu sebelum penindakan,” katanya. 

Ach. Nurul Luthfi, perwakilan LBH Yogyakarta juga menerangkan bahwa dalam penyitaan atau penertiban, Satpol PP harus patuh terhadap SOP yang berlandaskan peri kemanusiaan dan hati nurani, serta menunjukkan surat penugasan dan perintah resmi.

“Sejauh ini mereka tidak menunjukkan surat tugas mereka,” papar Luthfi.

Setelah suasana demonstrasi kembali cair, massa aksi kembali berorasi. Tak lama setelah orasi dimulai, orang tak dikenal secara tiba-tiba menyerang massa aksi. Massa aksi diinstruksikan untuk mundur oleh koordinator aksi guna menghindari bentrok. Pihak kepolisian juga mencoba melerai dan menengahi, dan meminta semua untuk bubar. Massa aksi tetap teguh untuk berdemonstrasi, sampai pihak DPRD DIY mau ditemui untuk beraudiensi.

“Kami menjamin, setelah DPR DIY memberikan jawaban, kita tarik (massa aksi). Kita cukup kooperatif dan sudah mengirimkan surat permohonan audiensi,” jelas koordinator aksi kepada pihak kepolisian.

Namun, tidak lama setelah itu, gerombolan orang tak dikenal berhasil lolos dari pengawalan Satpol PP dan kepolisian yang berjaga di sisi selatan. Mereka kembali menyerang massa aksi dengan membawa pecahan lampu neon yang diacung-acungkan. Beberapa massa aksi sempat terjatuh serta menerima pukulan dan tendangan.

Massa aksi akhirnya dialihkan ke dalam kantor DPRD DIY, sementara orang tak dikenal masih berteriak dari luar pagar. Alih-alih ditemui oleh DPRD DIY untuk beraudiensi, para pedagang justru ditelantarkan di aula tanpa kepastian, mereka dibiarkan kebingungan dan ketakutan.

Di dalam aula, Aliansi Rakyat untuk Demokrasi mengadakan konferensi pers yang mengecam tindakan represif, intimidasi, dan kekerasan yang terjadi. Mereka juga menuntut diberikannya jaminan hidup dan adanya transparansi.

“Kami mengecam tindakan pasif Pemda DIY dan DPRD DIY yang selalu abai terhadap tindakan dari PKL Malioboro yang berupaya membuka dialog partisipatif dan menuntut ruang-ruang publik yang seharusnya bisa diakses oleh semua pihak. Kita membuka ruang solidaritas seluas-luasnya agar terjadi demokratisasi ruang di Malioboro. Segala bentuk penindasan harus hilang dari bumi Yogyakarta,” pungkas Rakha saat membaca tuntutan.

Reporter Wildan Humaidyi | Redaktur Niswatin Hilma | Fotografer Rizqina Aida