Lpmarena.com–Memperingati Hari Buruh, Serikat Pekerja Gadjah Mada (SEJAGAD) ikut menggelar aksi bersama Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Yogyakarta pada Kamis (01/05). Dalam aksi ini para dosen yang tergabung dalam SEJAGAD membawa keresahan upah yang tidak layak dan tidak sebanding dengan beban ganda mereka.Â
“Dosen itu rentan karena kalau anda tahu gaji kami itu sebenarnya sangat rendah, gaji pokoknya. Kita hanya mengandalkan insentif, dan insentif itu otomatis kita harus bekerja lebih keras. Mungkin kan dia harus riset ke sana kemarin, jadi konsultan, penasehat, pendamping, saksi-saksi ahli atau apapun yang bisa mendatangkan penghasilan tambahan,” jelas Muchtar perwakilan dari SEJAGAD.
Selain upah layak, dalam aksi buruh kali ini SEJAGAD juga menuntut kampus untuk memberikan jaminan dan penjagaan kebebasan akademik. Muchtar menuturkan pendidikan yang seharusnya melahirkan orang-orang dengan pikiran independent, justru ditekan untuk berpikir secara komersial. Acapkali diskusi yang mengangkat isu sensitif seperti isu 65, mendapatkan tekanan dan larangan.
“Itu pelarangan jamin kebebasan akademik yang vulgar. Yang terselubung misalnya dalam hal penelitian itu ada pemberi hibah. Pemberi hibah kan sudah menentukan temanya apa. Akhirnya ada pesanan dari donor. Berujung di komersial lagi penelitiannya,” tuturnya.
Irsyad Ade Irawan, selaku Koordinator Lapangan (Korlap) aksi mengatakan bahwa tendik, dosen dan guru khususnya tidak bisa dianggap sebagai pengajar saja. Pasalnya mereka terikat dalam sistem pekerjaan yang melibatkan relasi kuasa. Kalaupun tendik itu bermasalah di kampus atau sekolah, pihak yang bertanggung jawab atas mediasi adalah dinas tenaga kerja.
“Pekerja kampus yang juga merupakan bagian dari pekerja dan dirugikan atas adanya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) perlu berjuang dan menyuarakan. Agar tercipta sistem pekerjaan yang lebih baik”, imbuh Irsyad.
SEJAGAD yang kini terdiri dari 171 orang anggota yang berasalkan dari kalangan dosen, asisten dosen, tendik, dan seluruh orang yang terikat hubungan kerja dengan UGM meresahkan sistem pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Pasalnya PTN-BH sebagai bentuk efisiensi dari negara untuk melepas tanggung jawabnya.
“Kampus hari ini sudah semakin sakit oleh banyak hal, salah satunya dengan privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Yang mana pada diri kita subsidinya dikurangi terus,” tegas Muchtar dalam orasinya.
Habibi juga berharap, semoga kedepannya kampus-kampus lain bisa membuat serikatnya sendiri dan membentuk federasi. Agar nantinya tercipta lingkungan pendidikan yang bebas.
“Kita ingin agar pekerja kampus tidak lagi dipinggirkan dan bisa bersuara dalam menentukan arah kampus,” pungkasnya.
Reporter Aqeela Jangkar |Â Redaktur Maria Al-Zahra