Home CATATAN KAKI Paradox Agama dalam Masyarakat Hipokrit

Paradox Agama dalam Masyarakat Hipokrit

by lpm_arena

Oleh Rico Andreano Fahreza*

Dogma yang sifatnya Ilahiah yang merupakan proses murni kewahyuan sejatinya sebagai tatanan moral dalam kehidupan pribadi. Dogma yang merupakan ruh dari agama menjadi tatanan baku untuk memberi peringatan kepada pribadi agar bisa membedakan perihal yang baik dan yang buruk dalam tata laku kehidupan sehari-hari.

Agama yang koridor semestinya menjadi nafas dalam sendi-sendi kehidupan nyata. Akal atau rasionalitas yang digunakan sebagai berpikir nalar seringkali dianggap hal yang tabu dalam agama. Agama yang terdiri atas dogma-dogma yang hanya menuntun pada ritualistik yang sifatnya formalitas seremonial semata.

Kehidupan masyarakat yang dogmatis hanya bertumpu pada dalil-dalil ritualistik semata dengan semangat ibadah bersifat ketuhanan seringkali mengesampingkan rasionalitas sebagai landasan berpikir secara mendalam akan tata laku kehidupan antar sesama manusia.

Begitulah masyarakat yang hanya memuja dogma hanya sebagai perisai dari kehidupannya. 

Tempat ibadah yang ditentukan jumlah pengikutnya dalam menjalankan ibadah ritual tak jarang menjadi patokan moral dalam kehidupan masyarakat. Seolah-olah dogma menjadi otoritas tertinggi dalam menentukan standar moral bagi setiap individu. 

Akan menjadi ironi ketika ritualistik berbasis dogma pada masyarakat menjadi ukuran dalam standar moral di masyarakat.. Disaat kaum papa terpinggirkan dalam kesusahan, segelintir kelompok hanya mementingkan kekayaan pribadi ataupun kepentingan golongannya meski dengan tameng-tameng penuh dogmatis.

Tidak ada yang salah dengan dogma karena menjadi landasan dalam agama, akan tetapi masyarakat yang hanya berlandaskan pada tafsir yang literal hanya menggunakan tekstual tanpa berpikir kritis ataupun mengesampingkan logika hanyalah menjadi moralis yang semu.

Tidak bisa dipungkiri acap kali kehidupan masyarakat yang menggunakan standar moral hanya berdasar dogma untuk menjustifikasi kehidupan personal seseorang. sayangnya, hanya dilihat dari baik atau buruk perilaku berdasarkan norma dan dengan label surga atau neraka. Maka, ketika ada individu berani menentang arus dogmatis masyarakat pada umumnya tak lepas dari stigma ‘sesat’. 

Tentu menjadi pertanyaan, apakah memang standar moral dalam kehidupan masyarakat harus menjadi bagian dari dogma?  

Perilaku ketamakan manusia melahirkan perilaku korup kerapkali menjangkiti bangsa ini yang tak berkesudahan. Maraknya pungli, maraknya suap, maraknya korupsi yang terjadi Dimana-mana di setiap sektor apapun menjadi penyakit yang dianggap budaya. Dengan perilaku koruptif dimana-mana tak jarang memakai topeng dogma ritualistik bahkan dengan topeng simbol-simbol religiusitas. Layaknya kanker ganas yang amat kronis tak ada obatnya menjadi bagian dianggap lumrah.

Moral kehidupan masyarakat berperilaku koruptif dan menjadikan landasan dogma sebagai standar moral menjadi paradoks dalam praktek ritualistik dan praktek kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Agama hanyalah dianggap simbol ritualistik semata tanpa memahami hakikat atau makna dari agama itu sendiri bagi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Agama sebagai esensi sejati dengan spiritualistik sebagai pengejawantahan dari ritualistik sudah seharusnya menjadi tatanan moral mencapai nilai-nilai kemanusiaan sejati.

Agama bukan menjadi topeng sebuah wajah hipokrit perilaku korup. Menjadi miris ketika perilaku koruptif seperti pungli dinormalisasi dengan dalih ”tidak apa-apa asal kecil-kecilan” menjadi tak terelakkan lagi. Apalagi saat masa-masa menjelang pemilihan umum tak jarang praktek uang terjadi dengan menggunakan kode sedekah untuk memenangkan calon yang akan dipilih.

Tak sedikit memang ketika pelaku-pelaku korupsi yang tertangkap aparat penegak hukum pun memakai topeng simbolisme agama. Bahkan ketika diwawancara oleh awak media tanpa malu dan tabu bagi si pelaku korupsi dengan ringan tanpa beban berucap nama Tuhan yang dilontarkan. Menariknya ketika arena persidangan di hadapan majelis hakim, simbolisme agama pun tak jarang dipakai sebagai topeng untuk menutup kedok busuk perilaku korup.

Dari ironi tersebut bahwa perilaku koruptif telah memanipulasi dan merusak nilai-nilai esensi agama sebagai tuntunan moralitas dalam kehidupan sehari-hari untuk menjadi berbuat kebaikan dan cinta kemanusiaan sejati. Tidak ada agama sebagai dogma yang mengajarkan kejahatan sebagai musuh moralitas dalam esensi agama itu sendiri. Tidak ada pula ajaran ritualistik yang menormalisasi kejahatan kemanusiaan demi ambisi pribadi ataupun golongan.

Perlu ditekankan adalah kembalikan ruh dalam agama sebagai hakikat kebaikan sejati dan kembalikan ruh dalam tatanan ritualistik sebagai upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan manifestasi atau perwujudan nilai-nilai spiritualistik untuk menjadi manusia bagi manusia yang lain dan menjadi manusia yang memanusiakan manusia.

Bagi yang menggunakan logika dan nurani sebagai kewarasan dalam beragama untuk berbuat baik dan adil kepada sesama tentu yang menjadi bagian yang dianggap silent minority tak bisa berkata banyak tak bisa berbuat apa-apa saat melihat mayoritas berperilaku bebal dan biadab memanipulasi agama dan dogma sebagai topeng kejahatan.

Jadikan cerminan nilai-nilai agama dalam spirit kemanusiaan yang berkeadilan yang menentang tirani-tirani kecil dengan watak koruptif yang menggerogoti watak individu. Sebagai prinsip menjadi nilai antara manusia dengan ketuhanan yang seutuhnya tanpa terpisahkan dalam tatanan relasi makrokosmos dan mikrokosmos sebagai sistem yang tunggal dalam kosmologi.

Jadikan agama dengan refleksi moralitas kebaikan dan semangat cinta kasih pada sesama manusia bukan jadikan agama dengan moralitas semu pada kedok dogmatis ritualistik untuk alat manipulasi ambisi pribadi yang korup demi kekuasaan yang haus akan penindasan sewenang-wenang. Bersama membangun kesadaran jiwa yang utuh dalam kolektvitas seluruh lapisan masyarakat dengan etika yang dibangun sebagai kesadaran ilahiah untuk lebih menjadi manusia seutuhnya menjadi manusia bagi sesama dengan semangat pengorbanan dan pengabdian.

*Akrab dipanggil Rico lahir di Bontang, 15 September 1994 saat ini aktif menulis pada beberapa artikel opini dan antologi puisi dan telah melahirkan 11 antologi puisi dan cerpen. Penulis memiiki kesibukan membantu usaha orang tua dengan kesibukan bekerja freelance online dalam entry data. Penulis dengan alamat email ricoandreanofahreza@gmail.com

Editor Maria Al-Zahra  |  Ilustrasi Siti Hajar Fauziah