Home BERITA Rapor Merah Polri: Kekerasan yang Dinormalisasi

Rapor Merah Polri: Kekerasan yang Dinormalisasi

by lpm_arena

Lpmarena.com— Reformasi kepolisian tidak cukup berhenti pada perubahan regulasi, melainkan harus dilihat dan dibenahi secara menyeluruh.  Hal itu disampaikan Dhanil Alghifary dari LBH Yogyakarta, dalam konferensi pers bertajuk “Pembentukan Tim Reformasi Kepolisian, Bernuansa Gimmick, Tidak Sistemik, dan Sekadar Monumental” di Sugara Milk, Umbulharjo, Rabu (17/09).

Konferensi pers yang digelar PBHI Yogyakarta, LBH SIKAP, PBH Peradi, dan LBH Yogyakarta menanggapi rencana Prabowo membentuk Tim Reformasi Polri. Mereka khawatir langkah itu hanya menjadi seremonial tanpa menyelesaikan persoalan mendasar, terutama praktik kekerasan terhadap masyarakat sipil.

Dhanil menuturkan, Polri memang perlu reformasi secara komprehensif supaya kedepannya tidak lagi melakukan tindak kekerasan. Pasalnya, polisi justru kerap melakukan kekerasan kepada masyarakat sipil. Padahal dalam kondisi apa pun, polisi tidak diperbolehkan melakukan tindak kekerasan. 

“Sebetulnya, perbaikan kultur ini juga mesti dibarengi dengan perbaikan regulasi. Sehingga menutup celah adanya upaya untuk menormalisasi kekerasan ini,” tuturnya.

Melansir data Kontras, dalam kurun waktu Juli 2023 sampai Juni 2024 terdapat 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Lebih lanjut, 8 September 2025 lalu,  Kontras juga mencatat ada 5.444 massa aksi yang ditangkap, ribuan terluka, dan 10 nyawa melayang. Salah satunya pengemudi ojol, Affan Kurniawan yang tewas dilindas kendaraan taktis polisi.

Dengan banyaknya rapor merah pada institusi tersebut, Dhanil mengingatkan pentingnya keterlibatan publik dalam mengawal usulan reformasi Polri. Lantaran keterlibatan publik sangat dibutuhkan untuk menjamin bahwa reformasi Polri tidak sebatas formalitas semata. 

“Keterlibatan masyarakat sipil ini menjadi sangat penting untuk mengawal sejauh mana reformasi kepolisian ini memang benar-benar dilakukan,” ujarnya. 

Melihat dari catatan Amnesty, pada periode 2023-2024 saja, ada 30 kasus penyiksaan terhadap tersangka atau terduga pelaku kejahatan yang dilakukan oleh aparat, dengan total 49 korban. Menurut Dhanil, praktik kekerasan tersebut terjadi akibat lemahnya mekanisme pengawasan di tubuh Polri.

“Saya belum pernah mendengar gitu ketika ada kekerasan oleh aparat, baik etik maupun pidana, lantas kemudian pimpinan kepolisian yang disanksi. Belum ada,” katanya. 

Tidak hanya itu, Atko Darmawan, perwakilan PBH Peradi, menyampaikan polisi kerap melakukan tindakan brutal dalam menangani persoalan, salah satunya saat menghadapi demonstrasi. Di Yogyakarta, tercatat ada 66 massa yang ditangkap saat mengikuti aksi yang berlangsung akhir bulan Agustus lalu. Dari jumlah itu, 24 di antaranya merupakan anak-anak dan 42 lainnya orang dewasa.

Ia juga menambahkan, banyak massa aksi yang ditangkap polisi dengan alasan yang tidak jelas. Bahkan, akses mereka untuk mendapatkan pendamping hukum kerap dipersulit dengan dalih surat kuasa. Padahal sudah semestinya massa aksi yang ditangkap oleh polisi berhak mendapatkan bantuan hukum. 

“Kita beberapa ada yang kemarin datang ke Polda DIY untuk melakukan proses advokasi, sekedar kita melihat siapa saja yang ditangkap, ternyata sulit,” pungkas Atko.

Reporter Affan Patria | Redaktur Ridwan Maulana