Home BERITA Sanggar Nuun Rayakan 33 Tahun, Refleksi Seni dan Teknologi di Era Artifisial

Sanggar Nuun Rayakan 33 Tahun, Refleksi Seni dan Teknologi di Era Artifisial

by lpm_arena

Lpmarena.com— Sanggar Nuun merayakan perjalanan ke-33 tahun dengan refleksi kritis atas hubungan seni, ilmu, dan teknologi pada Jumat (24/10) di Taman Fakultas Adab dan Ilmu Budaya (FADIB). Acara bertajuk Seni (Kampus) Islam di Era Artifisial ini menjadi ruang pertemuan lintas generasi warga Sanggar Nuun, dosen, dan mahasiswa dalam menelaah ulang posisi seni di tengah perkembangan kecerdasan artifisial (AI).

Pada sesi diskusi utama, Inyiak Ridwan Mundzir, seorang pemikir yang menekuni pertemuan antara filsafat, agama, dan kebudayaan menyoroti bagaimana perkembangan teknologi, terutama kecerdasan buatan, telah mengubah lanskap produksi budaya. Ia menyebut AI atau Kecerdasan Artifisial sebagai game changer yang mempercepat proses kreatif, namun tetap menyisakan kesenjangan moral dan pengetahuan di masyarakat.

Ia menjelaskan bahwa pengalaman bertahun-tahun mengaktifkan permainan di arena (kesenian, Red) kini bisa dengan mudah digantikan oleh seseorang yang memiliki akun AI. Namun, ia mempertanyakan apakah kecerdasan buatan benar-benar mampu menciptakan keseimbangan di ruang sosial? Sebab menurutnya, AI tidak mengenal adanya perbedaan antara yang cerdas, bodoh, atau fanatik.

“AI tidak menciptakan arena sosial yang rata, tetap ada stratifikasi. Karena memanfaatkan AI itu butuh modal global. Kan tidak semua orang bisa bikin prompt,” ujar Inyiak.

Diskusi ini menjadi ruang refleksi tentang bagaimana seni, khususnya seni kampus Islam, beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan nilai dan tradisinya. Inyiak menekankan bahwa tradisi yang hidup di Sanggar Nuun merupakan habitus kesenian yang membentuk nilai dan selera para anggotanya, meskipun sering berhadapan dengan keterbatasan institusional dan marginalisasi.

Pandangan serupa datang dari Geri Septian, anggota Sanggar Nuun, ia menggarisbawahi pentingnya seni sebagai ruang pembentukan kesadaran di lingkungan kampus Islam.

“Menurutku peran seni itu besar sekali di kampus. Biasanya kayak membentuk analogi di presentasi itu kan luar biasa, bahwa ada hal-hal yang rumit yang perlu kita disederhanakan. Nah itu kerja-kerja kesenian,” katanya saat diwawancarai ARENA.

Namun, Geri menyoroti bahwa kegiatan kesenian masih berada di posisi yang terpinggirkan di lingkungan kampus. Menurutnya, perhatian kampus lebih banyak tertuju pada bidang sains, teknologi, dan prestasi akademik, sementara kesenian belum dianggap sebagai hal yang utama. 

“Kesenian itu memang marginal di kampus. Partisipasi dari kampus itu bukannya cuma apresiasi saja tapi fasilitas atau sebagainya, ini yang penting,” tegasnya.

Sebagai bagian dari perayaan, Sanggar Nuun juga meluncurkan buku Festschrift Memoar 33 Tahun Sanggar Nuun: Membentang Masa Menyulam Cerita, yang memuat 25 tulisan dari anggota dan sahabat Sanggar Nuun lintas generasi. Penyunting buku, Zulfan Arif—yang akrab disapa Pak Mudin menyebut buku ini sebagai upaya merekam ingatan dan proses panjang komunitas seni yang berdiri sejak 1992 itu.

“Buku ini berjudul Festschrift. Kalau secara definisi Festschrift itu festival schrift, bahasa kasarannya seperti itu. Ini berasal dari perusahaan Jerman yang memang pada mulanya itu adalah suatu tulisan perayaan atau tulisan yang diberikan untuk menghargai sesuatu,” ujar Zulfan.

Ia menambahkan bahwa di dalam buku tersebut terdapat tiga klasifikasi tulisan, yakni ingatan dan jejak pribadi, catatan proses, serta refleksi dan pemikiran. Ia juga menyampaikan bahwa mereka menyadari perlunya memahami rumah sendiri, dan salah satu cara untuk memahami Sanggar Nuun adalah dengan membuat kolase atau memoar dalam buku tersebut.

Menurut Zulfan, karya-karya yang lahir dari Sanggar Nuun tidak muncul begitu saja, melainkan berakar pada pembacaan terhadap realitas sosial dan refleksi batin yang mendalam. Ia menjelaskan bahwa setiap karya di Sanggar Nuun merupakan hasil dari proses perenungan dan pemaknaan terhadap kehidupan, yang kemudian diimplementasikan menjadi bentuk karya atau proses kreatif.

Reporter Aida Tulhusna (magang) | Redaktur Wilda Kharunnisa | Foto Tim Dokumentasi Sanggar Nuun