Home - Hari Kartini, Bukan Sekedar Ceremony

Hari Kartini, Bukan Sekedar Ceremony

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Wulan Agustina Pamungkas*

Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri – R.A. KARTINI

Pertanyaannya, sudahkah kita perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri? Kalau toh jawabannyaa sudah, saya akan ucapkan alhamdulillah dan lanjutkan perjuanganmu wahai perempuan yang merdeka dan berdiri sendiri. Kalau belum, wah-wah kasihan sekali, ayo perempuan, melawan! Bukan saatnya merenungi nasib dan pasrah atas segala penindasan yang engkau dapatkan. Tidakkah kemerdekaan itu ingin pula engkau raih? Barangkali sebaik-baiknya mati adalah setelah melawan, begitu barangkali sebuah petuah yang Eyang Pram sampaikan pada salah satu karyanya. Amin..

Mencoba merenungi sekumpulan surat yang sudah ditulis R. A. Kartini dalam “Door Duiternis Tot Licht“ ada sebuah kesimpulan yang saya ambil, segala perjuangan yang dilakukan Kartini pada masanya bukanlah demi sebuah ceremony yang tiap tahun diperingati dengan “Hari Kartini”. Bukan demi sebuah hari spesial yang diperingati setiap tanggal 21 April dengan sebuah perayaan-perayaan di mana namanya disebut-sebut dalam sebuah nyanyian. Lantas cara berpakaiannya diikuti oleh semua perempuan pada perayaan tersebut, bukan itu. Perjuangan yang ia lakukan bukan sekedar demi hal-hal itu.

Perjuangan Kartini demi mendobrak tembok baja pemenjaraan perempuan sebagai konstruksi sebuah zaman kolonial untuk membebaskan kaumnya dari dominasi laki-laki. Demi mendobrak kultur dominasi laki-laki terhadap perempuan, karena jelas dominasi bertentangan dengan hak-hak asasi sebagai manusia di mata penciptanya. Kartini mencita-citakan agar kaumnya memiliki pendidikan yang tinggi agar dapat berpikir intelligent bagaimana cara mendobrak kultur itu. Kultur dominasi harus berakhir! Barangkali begitulah isi dari lembar-lembar tulisannya.

Sudah sejauh mana hei kau perempuan meneladani perjuangan Kartini? Apa yang bisa kau perlihatkan bahwa kau sudah merdeka seperti apa yang sudah dicita-citakan R. A. Kartini pada masanya? Perayaan barangkali tidak terlalu penting dalam hal ini. Namun lebih kepada bagaimana cara kita meneladani sifat-sifat dan perjuangan Kartini, dengan melakukan perjuangan yang relevan dengan masa sekarang. Zaman memang sudah berubah sayangku, tapi perjungan tetap harus dilakukan! Toh kita sudah mengamini bahwa di zaman sekarang ini perempuan sudah mendapatkan hak dan kesempatan yang sama sebagaimana yang didapatkan oleh laki-laki. Barangkali sudah seharusnya perempuan bergerak mengoptimalkan segala potensi untuk mampu unjuk gigi dan berkompetisi dengan laki-laki. Hak dan kesempatan sudah sama, kalau masih terjajah, jangan-jangan kitalah perempuan yang harus berkaca, sudahkah kita meneladani sifat-sifat Kartini? Jangan-jangan selama ini kita hanya terjebak pada sebuah ceremony tanpa arti.[]

*Penulis aktif di pergerakkan memajukan perempuan.