Lpmarena.com–Dalam rangka menuju ulang tahun Paguyuban Petani Lahan Pantai-Kulon Progo (PPLP-KP) ke-18, Nyalakan Project membuat pameran berjudul “Riwayat Pemakan Pasir” pada Selasa (23/04) di Asmara Art and Coffee. Pameran ini dirancang sebagai bentuk solidaritas terhadap korban dan komitmen untuk menolak segala bentuk perampasan tanah.
Yudis, salah seorang inisiator yang tergabung dalam Nyalakan Project, menuturkan alasan dibikinnya peringatan ini berdasar pada banyaknya isu agraria yang terjadi di Indonesia. Dalam laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat ada peningkatan konflik di tahun 2023 ketimbang dua tahun sebelumnya, dengan 241 kasus dan melibatkan 638,2 ribu hektare yang terjadi diakibatkan pertambangan hingga proyek infrastruktur.
“Kita pengen juga tetep terus mengkampanyekan soal penolakan tambang, perampasan lahan, dan berbagai kebijakan-kebijakan yang merusak lingkungan,” ungkapnya.
Hal tersebut patut dilakukan karena tanah merupakan sesuatu yang penting. Menurut Yudis segala kelindan kehidupan, mulai dari kebutuhan primer manusia macam makan dan minum hingga sumber pencaharian sekalipun, tidak bisa dilepaskan dari tanah.
“Itu kenapa tanah menjadi penting,” jelas Yudis. “Apa artinya kita sebagai manusia hidup tanpa tanah, entah itu tanah sebagai tempat tinggal atau tanah sebagai sumber penghidupan,” lanjutnya.
Senada dengan itu, Kezia Rantum, vokalis Teman Tumbuh, menceritakan ihwal tanah ini merupakan masalah kiwari. Krisis iklim utamanya dapat terjadi musabab tanah dirusak dan dieksploitasi, alih-alih dijaga. Atas dasar keprihatinan ini jugalah, lagu “Rinai Elegi” menurutnya dibuat.
Oleh karenanya, tegas perempuan asal Manado tersebut, pembicaraan dan kepedulian terhadap lingkungan dan iklim ini perlu terus dilakukan. Bukan saja di Yogyakarta, tapi seluruh tempat.
“Dan ini gak boleh untuk gak dibicarakan, ini harus dibicarakan terus-menerus. Karena ini adalah poin penting, ini tempat untuk kita tinggal, tempat kita bermukim, tempat kita bertahan hidup. Bukan cuma untuk manusia aja, tapi untuk sesama makhluk hidup, entah tumbuhan atau binatang,” katanya sewaktu diwawancarai ARENA.
Istilah ‘Pemakan Pasir’ pada tajuk berangkat dari keadaan masyarakat pesisir Kulon Progo yang dahulu memiliki tanah pasir yang tandus dan kering. Mereka juga distigma sebagai ‘wong cubung’ yang berarti orang terbelakang dan penyakitan. Tapi dari kondisi tersebut, mereka mengubah tanah pasir tersebut menjadi subur dan makmur. Mereka dapat hidup dari “makan” hasil panen di tanah pasir tersebut.
Pameran ini dibuka secara resmi oleh Tukijo, warga PPLP-KP. Acara ini juga digunakan sebagai momen perilisan single lagu “Gesik Kanggo Panguripan” dari Pasir Berisik Kolektif.
Dari masuk ke lokasi, para pengunjung akan diperlihatkan karya seni dari seniman berbagai daerah dengan beragam medium, seperti karung goni, kanvas, poster dan botol. Beberapa kalimat senapas ‘Lawan segala bentuk perampasan lahan’, ‘Karpet Merah untuk Petani’, dan ‘Menanam adalah Melawan’ dituangkan dalam keseniannya.
Reporter Selo Rasyd Suyudi | Redaktur Mas Ahmad Zamzama N.