Oleh: Mas Ahmad Zamzama N.*
33 tahun kampus telah banyak berubah, tapi tidak dengan bagaimana cara pemilihan rektor oleh Menteri Agama (Menag) yang mengesampingkan mahasiswanya.
Ratusan mahasiswa, suatu pagi pada 19 Oktober 1991, bergerombol melakukan aksi diam di dekat Wisma Sejahtera IAIN Sunan Kalijaga. Sementara di dalam wisma bakal berlangsung sidang Senat IAIN tentang pencalonan rektor baru. Mereka berada di halaman wisma membentangkan beberapa poster seruan, membawa satu wacana: menolak campur tangan Menteri Agama dalam pemilihan rektor.
Alasan mereka, campur tangan pihak luar tidak demokratis dan itu membawa banyak implikasi buruk bagi kampus. Pertama, merusak suasana demokratis yang mestinya tumbuh subur di kampus. Kedua, cara-cara itu memungkinkan munculnya calon rektor yang tidak aspiratif, artinya tidak sesuai dengan aspirasi civitas kampus, termasuk mahasiswa. Ketiga, adanya calon yang tidak berkualitas. Juga mungkin alasan-alasan lain yang tidak termuat dalam Majalah ARENA Nomor 2 tahun 1991.
Sekarang kita mungkin tidak pernah tahu di mana Wisma Sejahtera IAIN Suka itu. Tapi kita harusnya paham bahwa wacana yang didengungkan di depan wisma itu, lebih dari 30 tahun yang lalu, getarannya masih terasa hingga saat ini, ketika poster penjaringan bakal calon rektor dipasang cukup besar di papan reklame depan kampus tanpa alasan yang jelas.
Ya, tahun 2024 waktunya UIN Suka memiliki rektor baru. Progresnya sudah dimulai sejak 28 Februari 2024 dengan pengumuman pendaftaran dan sosialisasi penjaringan bakal calon rektor. Pengumuman itu sudah santer terdengar, terutama sejak dipasangnya poster di papan iklan paling megah di UIN Suka itu. Dan tepat di situlah masalahnya, apa maksud penjaringan bakal calon rektor itu diumumkan secara serius?
Jika ditelisik, padahal, tidak banyak komunikan yang dituju dari pengumuman itu, mengingat hanya guru besar yang “bertakwa dan beriman kepada Tuhan yang Maha Esa” yang bisa mendaftar. Belum lagi ada syarat-syarat lain yang lebih spesifik.
Dengan realitas itu, kemungkinan pengumuman itu ya memang tidak ditujukan pada orang yang hendak daftar bakal calon rektor saja. Tapi juga semua civitas kampus perlu tahu informasi penjaringan rektor, termasuk mahasiswa sebagai civitas paling banyak. Tapi ya sebatas tahu. Tidak lebih.
Di tengah dinamika transisi rektor seperti sekarang, toh tidak banyak peran langsung yang bisa dilakukan mahasiswa terkait pergantian pimpinan kampusnya. Mahasiswa disibukkan (oleh kampus) dengan kuliah, tugas, presentasi, magang, dan kesibukan-kesibukan lainnya. Apalagi secara struktur memang mahasiswa tidak dilibatkan sama sekali dalam pemilihan rektor kampusnya. Itu bisa dilihat sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang Diselenggarakan oleh Pemerintah, yang juga berlaku pada pemilihan rektor UIN Suka kali ini.
Tidak ada satu pun kata “mahasiswa” dan sejenisnya terselip dalam peraturan tersebut. Juga dalam PMA Nomor 17 Tahun 2021 tentang Perubahan atas PMA 68 tahun 2015 yang disebut sebelumnya. Mahasiswa pun entah berada di mana di tengah pergantian rektor ini.
Tapi jangankan mahasiswa, Senat Universitas pun pernah merasa “disingkirkan” pada awal diberlakukannya PMA 68 pada pemilihan rektor UIN Suka tahun 2016. Menurut mereka, peraturan itu memasukkan unsur komisi seleksi bentukan menteri yang memiliki wewenang dalam mekanisme pemilihan rektor. Dengan kata lain, ada campur tangan kementerian pada pemilihan rektor.
Muhammad Chirzin, sekretaris Senat Universitas saat itu, menyatakan bahwa senat-senat dari berbagai kampus bersepakat bahwa PMA 68 bertentangan dengan UU Pendidikan Tinggi (Dikti) Nomor 12 tahun 2012, yang menyatakan bahwa perguruan tinggi dijalankan dengan demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. Menurut Chirzin, bentuk demokratisasi tersebut adalah bahwa rektor dipilih oleh civitas akademik, bukan oleh menteri.
Saeful Mujani, seorang peneliti dan guru besar politik Indonesia, saat diwawancarai Lembaga Pers Mahasiswa Institut terkait pemilihan rektor UIN Jakarta periode 2023-2027 juga menyebut PMA 68 tidak transparan. Ia mengibaratkan PMA 68 sebagai peraturan yang diterapkan pada lembaga jahiliah. Menurut idealnya, semua orang berhak memiliki kesempatan untuk bersuara dan menentukan pilihan kandidat rektor yang paham dinamika kampusnya.
“Dalam hal ini, Senat Universitas punya otoritas memilih satu dari belasan kandidat yang cocok memimpin UIN Jakarta,” katanya.
Sekarang, di UIN Suka, Senat Universitas pun perlu dipertanyakan otoritasnya. Jangankan memilih kandidat rektor, membuka ruang dialog antara calon rektor dan mahasiswa pun Senat tidak bisa memfasilitasi.
Karenanya, mungkin suara mahasiswa memang sengaja disenyapkan dalam pemilihan rektor. Ia seperti dilempar dan diasingkan dari dinamika kampusnya sendiri. Itu tidak hanya terlihat dari peraturan, tapi juga dari bagaimana kampus menginformasikannya, terutama dari akun Instagram resmi UIN Suka. Sebanyak dua kali akun Instagram @uinsk mengumumkan penjaringan bakal calon rektor, yakni pada 29 Februari dan 19 Maret 2024.
Meski rentang waktunya lumayan lama, kedua unggahan itu memberi tahu informasi yang sama; informasi seadanya dan sekadar menjiplak apa yang tertuang dalam surat pengumuman resmi bernomor No. B-1024/Un.02/BU/HM.09/02/2024. Minim improvisasi visual pula.
Sampai sini, lagi-lagi, bukankah itu informasi yang dibutuhkan bakal calon rektor, bukan khalayak Instagram secara umum? Masih susah membayangkan seorang guru besar, dengan spesifikasi yang sesuai, mendaftar calon rektor setelah scrolling Instagram dan menemukan informasinya dari unggahan media sosial.
Padahal, unggahan Instagram kampus tersebut mestinya bisa lebih membuka ruang dialog tentang perbaikan kampus: evaluasi untuk rektor yang lama, gagasan apa yang perlu diakomodasi calon rektor baru, atau bagaimana harapan mahasiswa untuk rektor baru. Bukan malah cuma bertanya, who’s next?
Dengan framing unggahan tersebut, kolom komentar pun sekadar dipenuhi ungkapan-ungkapan bersenda gurau, bahwa ia atau temannya bakal ikut mendaftar rektor sambil menandai (tag) akun-akun kawannya. Tentu tak salah dengan candaan-candaan tersebut.Tapi yang jelas, unggahan tersebut berhasil membingkai seolah-olah peristiwa pemilihan rektor hanyalah persoalan elit. Aspek who ditonjolkan untuk menyembunyikan sisi what dan why yang lebih layak digali. Serta mahasiswa hanya boleh menonton sambil sesekali bercanda.
Dan dalam beberapa bulan ke depan kita mulai bisa menonton siapa rektor baru UIN Suka. Kita bisa juga bercanda bahwa rektor baru UIN Suka ternyata hanya “baru” (dengan tanda petik).
Yang jelas, 33 tahun seperti terlalu cepat untuk sebuah perbaikan. Gerak sejarah tampak berulang, atau juga berima. Aksi yang dilakukan pada Oktober 1991 itu nyatanya relevan dengan keadaan sekarang. Apa yang terjadi di pemilihan rektor tahun 2024 ini pun bisa direfleksikan dengan pertanyaan Prof. Mu’in Umar, rektor IAIN Suka tahun 1991, ketika aksi yang saya sebut di atas.
Lima hari sebelum aksi tersebut, tepatnya 14 Oktober 1991, 23 mahasiswa datang ke ruangan Mu’in seraya membawa berkas berisi penolakan atas campur tangan kementerian agama dalam memilih rektor. Mu’in menerima mereka, dan menurutnya, Menteri Agama tidak akan gegabah menentukan kebijakannya dan ia pasti mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan pencalonan rektor, termasuk suara mahasiswa.
Kenapa perlu mempertimbangkan suara mahasiswa? Karena, kata Mu’in Umar, “bukankah mahasiswa yang paling merasakan baik buruknya kepemimpinan IAIN?”.
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi LPM Arena
Editor Aji Bintang Nusantara