Lpmarena.com— Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar diskusi buku yang berjudul “Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 “ yang ditulis oleh Muhiddin M. Dahlan pada Sabtu (30/03) di Sekretariat AJI Yogyakarta. Buku ini sebagai bentuk memanggil ingatan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan militer pada tahun 1998.
Muhiddin mengatakan buku ini merupakan salah satu bentuk perlawanan paling tradisional melalui pengarsipan. Hari-hari ini sejarah kelam militer akan HAM tertutupi oleh dominasi Artificial Intelligence (AI) dan konten media sosial seperti di TikTok. Konten itulah yang kemudian memonopoli serta menghapus ingatan seseorang akan kejahatan HAM.
“Mereka menguasai TikTok dan media sosial, tapi buku ini mereka tidak ada antisipasi,” katanya.
Teknik mengumpulkan arsip koran-koran pada 1998 dipilih Muhidin karena dua hal. Pertama, lebih mudah diakses daripada arsip militer dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kedua, sebagai apresiasi pada jurnalis dan media pada saat itu karena memiliki peran besar dan keberpihakan pada masyarakat.
“Ini adalah bagian dari propaganda besar tentang bagaimana suara arsip massa itu dari media. Lah, kenapa harus koran? Karena sejarah pergerakan Indonesia adalah sejarah koran,” ungkapnya.
Senada dengan Muhidin, Ita Fatia Nadia ketua Bidang Arsip Sejarah Perempuan berpandangan buku yang berasal dari arsip sejarah akan sangat membantu untuk melihat kembali seluruh pelanggaran HAM yang pernah dilakukan oleh militer dan Prabowo. Apalagi jika arsip sejarah dijadikan sumber utama buku ini.
“Nah, Gus Muh membantu kita untuk mengingat kembali ingatan-ingatan yang sudah hilang. Eh, ini loh Prabowo itu, apa itu yang sudah dilakukan Prabowo?,” paparnya.
Ita paham betul bagaimana tindak kasus pelanggaran hak asasi ini dimulai sejak tahun 1993. Mulai dari penculikan, pembunuhan dan pemerkosaan. Bahkan ia pernah mendampingi langsung seorang korban pemerkosaan yang yang dialami oleh anak kecil yang berumur 11 tahun.
“Saya mau mengatakan bahwa ini arsip penculikan tetapi sebetulnya ini masih kurang. Jadi harus diikuti dengan kliping perkosaan. Prabowo bertanggung jawab terhadap tidak hanya penculikan tetapi pembunuhan dan pembakaran,” ujarnya.
Walaupun buku ini masih kurang dan terlambat dicetak, menurutnya tetap penting untuk disosialisasikan sebagai bentuk penyadaran politik untuk anak muda. Ia juga mengatakan bahwa buku ini bukan hanya sekedar kliping biasa, tetapi merupakan arsip hak asasi dan arsip politik.
Muhidin juga menceritakan teknik pengarsipan dan kliping semacam ini adalah bentuk tradisi paling klasik. Beberapa tokoh seperti Pramoedya Ananta Toer dan HB Jassin pernah membingkai sejarah langkah-langkah militer sejak era reformasi awal. Termasuk digugatnya dwi fungsi ABRI.
Selain kliping media massa menurut Muhidin aksi kamisan juga merupakan cara lain untuk terus menjaga ingatan terkait kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi.
“Aksi kamisan itu sangat fisik dan tradisional. Kan aksi orang itu yang diem gitu. Kan sebetulnya engga boleh orasi, tapi diem. Ya acara itu kan acara diem itu sebetulnya. Menghadap istana, menghadap raja istana raja itu,” pungkasnya.
Reporter Ridwan Maulana | Redaktur Maria Al-Zahra