Home KANCAH Ada ‘Pasar’ dalam Sistem Pendidikan

Ada ‘Pasar’ dalam Sistem Pendidikan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 diterangkan dengan jelas, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pasal ini merupakan rincian dari pembukaan UUD 1945 Alinea IV, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kendatipun demikian, untuk mewujudkan cita-cita tersebut harus bersinggungan keras dengan kultur kapitalisme sebagai kultur dominan yang menghegemoni masyarakat kita.

Hari ini, terlepas disadari atau tidak masyarakat kita didominasi oleh kultur kapitalisme. Kultur kapitalisme adalah kultur pasar di mana setiap individu masyarakat diserahkan kepada pasar. Dengan kata lain, dalam masyarakat kapitalistik terdapat spirit kompetisi di mana setiap individu masyarakat diserahkan kepada pasar (dalam konteks ekonomi) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut John Adam Smith (1723-1790), seorang tokoh ekonomi klasik, masyarakat harus diserahkan kepada pasar, pemerintah harus meminimalisir perannya terhadap pasar (laissez-faire), karena di dalam pasar itu sendiri sudah ada kekuatan  tersembunyi atau tangan-tangan tak terlihat (Invisible Hand) yang akan mengatur mekanisme pasar sehingga masyarakat tetap berada pada titik keseimbangan.

Selain itu, modal atau kapital merupakan sesuatu yang paling pokok bagi seseorang agar dapat mengikuti kompetisi dan bahkan memenangkannya. Dalam konteks ekonomi, seorang individu yang tidak memiliki alat-alat produksi dan uang sebagai modal tidak akan dapat ikut andil dalam kompetisi. Mereka hanya layak menjadi pelayan bagi pemilik modal.

Kultur kapitalisme tersebut tidak hanya mendera dunia sosio-ekomoni tetapi sudah merambat ke dalam dunia sosio-pendidikan. meskipun isu kapitalisme pendidikan adalah isu klasik, tetapi masih aktual untuk dibicarakan. dalam sistem pendidikan yang kapitalistik, pendidikan tidak dapat dinikmati oleh sembarang orang, akan tetapi hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki uang. Muncullah ungkapan sentilan, “orang miskin dilarang sekolah.”

Wacana di atas masih terlalu makro untuk mengetahui seberapa jauh kapitalisme mencederai cita-cita pendidikan bangsa ini. Kompetisi bebas sebagai spirit kultur kapitalisme sudah merasuki dunia pendidikan sampai ke bagian pangkal sistem pendidikan. Sekarang kita harus membaca dominasi dan hegemoni kapitalisme dalam lingkup mikro, yaitu hubungan individu peserta didik dengan tenaga pendidik. Hal ini penting agar upaya pemerataan pendidikan dan pencerdasan anak bangsa tanpa terkecuali dapat diwujudkan. Paling tidak kita dapat merumuskan solusi bagaimana mengatasi bahaya kapitalisme dari yang terkecil.

Karena interaksi antara peserta didik dengan tenaga pendidik merupakan lingkup terkecil dalam dunia pendidikan, maka sudah pasti tanpa interaksi pelayanan pendidikan tidak akan pernah terjadi. John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), psikolog yang mengembangkan teori pertukaran sosial (baca: pertukaran dalam interaksi sosial) mengatakan, setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari ganjaran dan biaya.

Ganjaran (reward) adalah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh oleh seseorang dalam berhubungan. Bentuk ganjaran ini dapat berupa uang, penerimaan sosial, perhatian atau pelayanan. Sedangkan biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Bentuknya dapat berupa usaha, penyitaan waktu, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan hal-hal lain yang mengurangi kesenangan individu.

Homans dalam bukunya, Elementary Forms of Social Behavior, 1974, mengatakan, semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi. Kultur yang mendasari pertukaran sosial dalam interaksi sosial ini adalah kultur transaksional dalam dunia pasar. Pada intinya, seorang individu baru bisa melakukan hubungan dengan individu yang lain ketika memiliki sesuatu untuk dipertukarkan, oleh Smith disebut modal. Tanpa modal seseorang tidak berharga dan tidak akan dihargai kecuali hanya sebagai pelayan dan penonton.

Dalam konteks pendidikan di lingkup mikro, relasi (baca: layanan pendidikan) peserta didik dengan pendidik didasarkan terhadap apa yang dimiliki oleh peserta didik. Karena di sini konteksnya adalah pendidikan, maka paling tidak peserta didik harus memiliki tiga macam modal agar tercipta relasi yang baik dan mendapatkan pelayanan, yaitu cerdas, indeks prestasi (IP) bagus, dan dapat mengkomunikasikan dirinya. Bagi peserta didik yang tidak memiliki itu semua sangat sulit untuk mendapatkan perhatian, bahkan di dalam kelas akan dipandang sebelah mata oleh teman-temannya.

Spirit kapitalisme yang menyusup ke dalam dunia pendidikan menjadikan pendidikan tampak angker dan ganas. Pendidikan tidak berpihak kepada mereka yang bodoh dan tidak dapat mengkomunikasikan dirinya. Orang-orang seperti ini akan tersingkir dan mati mengenaskan. Inilah yang disebut dengan kekejaman dunia pendidikan. Peserta didik diserahkan kepada dinamika pasar, sedangkan tenaga pendidik berkilah ini persoaan individu perseta didik, bukan sistem. Alhasil, layanan pendidikan hanya diperuntukkan bagi mereka yang cerdas dan dosen hanya menjadi milik mereka yang cerdas, IP bagus dan mampu mengkomunikasikan dirinya.[Edy, Mahasiswa Sosiologi semester III UIN Sunan Kalijaga]