Home KANCAH Ilmu Ekonomi di antara Subjectivity dan Pseudo-Objectivity

Ilmu Ekonomi di antara Subjectivity dan Pseudo-Objectivity

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Angga Pratama

Ketika berbicara tentang ekonomi, beberapa orang selalu mengaitkannya dengan perhitungan akuntansi, inflasi, resesi, atau keuntungan. Studi tentang ekonomi tidak dapat dipungkiri berkaitan dengan analisa yang menyelipkan pendekatan matematis untuk mendapatkan berbagai angka yang dibutuhkan, sehingga dapat membantu menentukan kebijakan atau melakukan evaluasi terhadap aktivitas ekonomi. Angka-angka tersebut disajikan setelah melalui berbagai proses panjang, seperti penyajian angka-angka di dalam kurva permintaan dan penawaran—terlebih dahulu kita akan menemukan persamaan Qd (kuantitas yang diminta) atau Qs (kuantitas yang ditawarkan)—sehingga aktivitas produksi bisa disesuaikan dengan angka-angka yang diperoleh untuk menghemat atau sekedar menahan laju produksi yang tidak efektif.

Selain itu, biasanya kita akan menemukan kajian yang berkaitan dengan barang-barang persediaan yang tentu saja sangat penting diperhitungkan untuk memenuhi permintaan pasar terhadap suatu komoditas. Misalnya, metode FIFO (First-In, First-Out), yang mengasumsikan bahwa produk tertua di dalam persediaan terjual terlebih dahulu. Atau LIFO (Last-In, First-Out), metode yang mengasumsikan bahwa produk terbaru dalam persediaan terjual terlebih dahulu. Dalam penetapan atau perhitungan persediaan yang ada di dalam suatu entitas, khususnya pada kedua metode tersebut, akan membutuhkan analisa matematis untuk memastikan bahwa kuantitas yang dikeluarkan sesuai dengan jumlah stok dan/atau tanggal persediaan tersebut masuk ke dalam gudang persediaan.

Separated Science

Separated Science yang terkandung dalam ilmu ekonomi merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan. Beberapa analisa diciptakan berdasarkan skala prioritas yang telah ditetapkan oleh suatu entitas, sehingga pada dasarnya ilmu ekonomi tidak berupaya mengkaji secara utuh fenomena yang memengaruhi suatu kejadian ekonomi—hal ini tidak berarti kajian ekonomi tidak bersifat komprehensif, namun cenderung dipilih berdasarkan dengan kepentingan yang ada. Jika laju pertumbuhan ekonomi terhambat, hal pertama yang dilakukan seorang analis ekonomi atau ekonom adalah menemukan penyebab utama dari terhambatnya perkembangan ekonomi. Misalnya, tingkat inflasi yang semakin parah di wilayah Transnistria disebabkan oleh tidak jelasnya status kenegaraan—hal ini yang dianggap oleh sebagian orang. Akan tetapi yang terjadi di wilayah tersebut adalah adanya keraguan atau ambiguitas kebijakan ekonomi yang tidak memihak ke Rusia atau Uni Eropa, sehingga status perdagangan atau keluar masuknya barang-barang dari dan ke Transnistria jelas terhambat.

Pada kasus ini, analisa separated science dibutuhkan oleh setiap entitas untuk memastikan bahwa faktor utama tersebut telah menjadi penghambat atau pemicu laju perkembangan perekonomian. Kita mengetahui bahwa pembagian ini didasari oleh berbagai fenomena ekonomi yang dapat menimbulkan efek domino dan pengujian ekonomi yang tidak dapat dilakukan secara tertutup. Kesulitan yang terjadi disebabkan oleh tidak terdapatnya ruang pengujian empiris secara tertutup—hal ini memang mustahil dilakukan karena ilmu ekonomi bukanlah suatu ilmu yang bisa diuji selayaknya biologi, kimia, atau fisika. Kerumitan kemudian memaksa para ekonom untuk menemukan anomali yang terjadi dalam masyarakat sebagai acuan dasar agar kebijakan yang dibentuk mampu merepresentasikan masalah. Jika kebijakan yang dibentuk tidak sesuai dengan faktor penyebab fenomena ekonomi tertentu, maka sistem yang ada dalam masyarakat akan mengalami guncangan hebat karena timbul ketidaksesuaian atau hysteria. Separated Science ini juga terlihat pada perbedaan yang terjadi antara aliran ekonomi klasik dan ekonomi neo-klasik, di mana yang pertama terfokus pada aras produksi dan yang terakhir pada aras sirkulasi. Keduanya membuat perbedaan prioritas untuk mendekati berbagai masalah perekonomian, termasuk penentuan nilai dan harga.

Neuroeconomics dan Subjectivity

Istilah neuroeconomics merujuk pada bidang interdisipliner yang mencoba untuk menciptakan sintesis antara ilmu ekonomi, psikologi, dan neuroscience, dengan tujuan untuk memahami lebih lanjut berbagai keputusan yang dibuat manusia: apa yang melatarbelakanginya, bagaimana sesuatu dapat memengaruhi keputusan dan bagaimana keputusan itu dibentuk. Sehingga berbagai kebijakan ekonomi akan didasarkan pada kecenderungan minat masyarakat, dan aktivitas produksi tidak lagi berdasarkan dengan keinginan perusahaan. Analisa yang bertujuan untuk menghasilkan berbagai alternatif dan proses yang lebih sesuai dengan perkembangan dinamika pasar yang tidak lagi berdasarkan dengan nilai-guna semata, namun beralih pada favoritisme komoditas.

Dalam hal ini preferensi masyarakat beralih ke komoditas yang “menurut” mereka lebih banyak mendatangkan kesenangan dibandingkan dengan kegunaannya. Biasanya komoditas tersebut melekat kepada orang-orang yang dianggap oleh masyarakat istimewa: publik figur, pejabat negara, atau kalangan elit. Sehingga dengan memiliki beberapa barang yang “sama” akan menambah prestise sosial mereka. Perilaku manusia dalam aktivitas ekonomi saat ini dianggap perlu untuk diinterpretasikan sebagai sesuatu yang memiliki makna dan bertujuan, baik secara kualitatif atau kuantitatif. Pada bidang ekonomi, kita perlu menganalisa berbagai komoditas yang ada di pasar atau yang akan diproduksi dengan merujuk pada kecenderungan tindakan yang mungkin dilakukan oleh seseorang ketika untuk pertama kalinya ia berhadapan dengan komoditas tersebut.

Akan tetapi hal ini tidak hanya bersifat material atau fisik belaka, namun juga dalam hal yang lebih bersifat mendalam atau abstrak yang berkaitan dengan niat atau pendapat para pelaku ekonomi. Ketika hal ini dilakukan kita akan menemukan berbagai konsekuensi nyata, khususnya bagi para produsen, yang dapat kita simpulkan bahwa kecenderungan manusia paling tidak telah dapat diprediksi dan tindakan mereka bisa dikendalikan berdasarkan dengan analisa psikologis dan intensifikasi favoritisme komoditas. Neuroeconomy mencoba untuk mempostulatkan bahwa objektivitas yang berasal dari subjektivitas konsumen adalah hal yang niscaya terjadi dan tidak lagi diperlukan analisa kebergunaan suatu komoditas. Hal ini cukup selaras dengan kajian-kajian posmodernisme yang membingkai sesuatu menjadi relatif. Dengan demikian, kita menyadari bahwa apa yang diupayakan neuroeconomics adalah tindakan asimetris dan cenderung memicu konsumerisme yang lebih parah. 

Econometrics dan Pseudo-objectivity

Econometrics merupakan cabang dalam ilmu ekonomi yang sering mengkaji ekonomi pada sisi matematis dan statistik. Hal ini untuk mengembangkan, melakukan pengujian, dan melakukan analisa terhadap berbagai teori yang telah ada atau yang sedang dikembangkan. Tindakan ini dilakukan untuk memperkirakan—penulis menggunakan istilah tersebut karena ilmu ekonomi cenderung menimbulkan domino effect—berbagai kemungkinan dan relasi yang timbul dalam fenomena ekonomi. Para peneliti, dan ekonom berupaya mengumpulkan berbagai data dari segala aspek kehidupan masyarakat. Meski selalu dibayangi oleh keterbatasan data dan jangkauan, namun econometrics selalu mencoba menyajikan perhitungan yang matematis, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan akhir yang dapat digunakan oleh suatu entitas dalam membuat kebijakan.

Dalam hal ini kita cenderung mengelaborasi dua aspek dalam econometrics, yaitu secara teoretis dan terapan. Cukup disayangkan bahwa keduanya tidak membuat demarkasi yang begitu jelas, sehingga keduanya sering kali ditafsirkan secara kontradiktif. Pembedaan yang coba dibuat antara econometrics terapan dan econometrics teoretis pada dasarnya adalah usaha yang cukup sia-sia—padahal para ekonom bisa lebih serius memperhatikan isu yang lebih potensial daripada sekadar membuat demarkasi yang akhirnya bias—karena mereka memiliki satu benang merah yang sama, yaitu menarik bahan atau data dari kejadian ekonomi yang rill, sehingga tidak dapat dibenarkan bahwa perbedaan keduanya adalah niscaya. 

Di sini terdapat celah yang mulai terlihat bahwa pada dasarnya econometrics mengalami kekeliruan, bahkan sekadar membuat demarkasi dalam dirinya sendiri. Mungkin dapat dikatakan bahwa di dalam econometrics terdapat contradictio in terminis—teoretis dan terapan—sehingga penempatan berbagai term cenderung multitafsir. Secara garis besar kita dapat melihat bahwa alat-alat atau metodologis yang digunakan dalam econometrics cenderung mencoba mengunci berbagai fenomena ekonomi ke dalam ruang tertutup atau lab penelitian, hal ini tentu keliru. Berbeda dengan fisika atau kimia yang pada dasarnya bisa dan harus diuji dalam lab agar menghindari berbagai kontaminasi dan memastikan bahwa hasil penelitian tidak menimbulkan kerusakan jika diuji secara terbuka. Pada dasarnya fenomena ekonomi bersifat terbuka dan penguncian yang hendak dilakukan oleh econometrics dengan mengambil beberapa data tidak bersifat objektif, namun bertendensi pada pseudo-objectivity.

Pseudo-objectivity yang terbentuk dalam econometrics pada dasarnya mengikuti pola kepentingan para penguasa atau suatu entitas saja. “Kesejahteraan bagi semua”, sebuah slogan yang sering didengar, jika bertolak dari sudut pandang econometrics, cenderung menjadi bias karena “kesejahteraan” seperti apa yang hendak dicapai dari aktivitas pseudo-objectivity?

Econometrics berisiko menghasilkan keputusan atau kesimpulan yang keliru apabila data dan proses penelitian melibatkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi, misalnya para oligarki yang hendak memperkaya diri dengan “kontaminasi” atas kesimpulan penelitian econometrics, sehingga mampu memengaruhi kebijakan negara. Dalam ilmu ekonomi, biasanya pseudo-objectivity digunakan untuk menutupi realitas yang ada di belakangnya—dalam konotasi positif atau negatif—di mana para ahli biasanya tidak memperhatikan berbagai data atau fenomena yang dengan sengaja dikonstruksi untuk memastikan bahwa data yang berhasil diinterpretasi mencerminkan keinginan segelintir pihak.

Dengan demikian, penggunaan econometrics dengan mengunci fenomena ekonomi ke dalam lab atau pada zona tertentu merupakan upaya yang konyol, dan berpotensi menimbulkan konstruksi subjektif dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat. Seperti disinggung sebelumnya, ilmu ekonomi berpotensi menimbulkan domino effect, sehingga dengan adanya pseudo-objectivity diharapkan mampu menutupi faktor sebenarnya dari buruknya suatu output dari kebijakan negara bagi masyarakatnya (baca: korupsi, kolusi, dan nepotisme). 

Kesimpulan

Apa yang benar-benar objektif dari ilmu ekonomi? Tidak ada. Hampir seluruh dunia, bahkan setiap individu, selalu menggunakan pendekatan dan metodologi ilmu ekonomi untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Tepatnya, kita bukan berbicara tentang seberapa objektif atau subjektif ilmu ekonomi itu pada dirinya, melainkan kita berbicara tentang seberapa luas angka atau analisa yang dihasilkan setelah mengkaji berbagai fenomena ekonomi dapat “mewakili” kepentingan masyarakat secara umum. Ini adalah hal yang perlu diwaspadai ketika menggunakan berbagai pendekatan dan interdisipliner berbagai cabang keilmuan, tidak hanya ilmu ekonomi saja. Lalu apa yang perlu diperhatikan ketika hendak mengubah atau memutus mata rantai kecacatan dalam analisa ekonomi? Mari kita mulai dengan memperhatikan keinginan rakyat daripada keinginan oligarki, memanfaatkan econometrics dan neuroeconomy untuk mengkaji kebutuhan rakyat dan bukan hasrat para penguasa.

*Angga Pratama is a writer, founder of Ruangan Filsafat, and editor at Gudang Perspektif. The initiator of the theory or concept of “Philosophical Asymmetry of Economic Materialism” which is available and can be read in the Business & Finance Analyst journal. His writings are spread across several media, for example Omong-omong, Newminds Club, Gudang Perspektif, Zona Nalar, Anotasi, The Columnist, Nalar Politik, LSF Discourse, Arah Juang, Pratamaangga, Kumparan and others. My interests are broad, but I focuses on (i) the Philosophy of Economy, (ii) the Philosophy of Marxism, (iii) Econometrics, and (iv) Ethics.
Editor Mas Ahmad Zamzama N. | Ilustrator Siti Hajar Fauziah (Magang)

Referensi

What is Econometrics?. Boston College. https://appliedeconomics.bc.edu/what-is-econometrics/

Hayek, Friedrich. (1948). Individualism and Economic Order. The University of Chicago Press.

Y. Özakpinar. Subjectivity and Pseudo-Objectivity In Psychology. Institute of Experimental Psychology, University of Istanbul.

Furholt, M. (2020). Biodeterminism and pseudo-objectivity as obstacles for the emerging field of archaeogenetics. Archaeological Dialogues, 27(1), 23–25. doi:10.1017/S1380203820000057.

Suryajaya, Martin. (2016). Asal Usul Kekayaan. Resist Books.

Kusumohamidjojo, Budiono. (2023). Epistemologi dan Filsafat Ilmu. Yrama Widya.

Mundiri. (2020). Logika. Rajawali Pers.Yu, B. (2019). A Critique of Econometrics. World Review of Political Economy, 10(2), 246–262. https://doi.org/10.13169/worlrevipoliecon.10.2.0246.