Home KANCAH Keranjingan Maya: Melihat Banalitas Bekerja di Media Sosial

Keranjingan Maya: Melihat Banalitas Bekerja di Media Sosial

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Selo Rasyd Suyudi*

Bicara era modern berikut kecanggihan teknologi yang menyertainya, bikin saya mengingat puisi Afrizal Malna, Abad yang Berlari, yang di bagian awal menyatakan: “palu. waktu tak mau berhenti, palu. waktu tidak mau berhenti.” Lewat puisinya, saya kira, Malna sedang mencoba menyingkap kemajuan peradaban atau mungkin kerapuhan tepatnya.

Media sosial menjadi realitas baru hari ini. Realitas yang dimaksud bukan secara harfiah kenyataan, tapi seolah-olah nyata saja: dalam arti doi memang riil cuy tapi juga boongan, dan sebaliknya mau disebut boong juga ya dia di depan mata, ada dan nyata. Gitu deh pokoknya.

Jean Baudrillard, filsuf gemini asal Prancis, punya istilah bagus buat menggambarkan kondisi ini: hiper-realitas (realitas semu). Menurut Baudrillard, saat ini ada penciptaan ulang, duplikasi, dari model dan bentuk yang sudah ada di dunia nyata ke dalam model-model yang tidak memiliki referensi: media sosial. 

Proses pemalsuan ini disebut simulasi, yang dengan ini kita sedang digiring ke tatanan dunia baru: realitas semu, dengan kesadarannya yang semu pula. Sebab dunia imajinasi yang diciptakan pencipta simulasi (simulator) mengarahkan kita secara tidak langsung pada demikian.

Keadaan di tengah rimba realitas semu, yang pepohonannya adalah model-bentuk simulasi, inilah yang Baudrillard sebut simulakra. Akibat dari simulakra ini, dalam Siswadi (2022), adalah anggapan semua yang berada di dalamnya itu nyata, ketimbang melihatnya sebagai parodi, imitasi, tiruan, dan seterusnya yang sejatinya bukan realitas.

Yang menjadi masalah di sini adalah bagaimana semua itu bisa terjadi, hingga bagaimana kesadaran palsu tersebut dapat ditahbiskan kepada kita?

Francisco Budi Hardiman melakukan analisis menarik terkait ini dalam Aku Klik Maka Aku Ada. Ia memulai dengan eksperimen René Descartes soal gocekan iblis pintar (genius malignus) yang diaplikasikan kepada dunia digital. Eksperimen Bapak Rasionalisme tersebut meragukan semuanya, bahkan si “aku yang sedang meragukan”-nya sendiri, sampai ia menemukan satu kepastian bahwa satu hal yang pasti dan tak dapat disangsikan adalah si “aku yang sedang meragukan”. Hingga melahirkan adagium masyhurnya: cogito ergo sum, ‘Aku berpikir, maka aku ada’.

Hal itu berbeda dengan hari ini di mana kita memiliki dua dunia: nyata serta maya—dan keduanya bercampur satu sama lain. Untuk menjadikan si “aku” ini ada, bukan tindakan kesangsiannya lagi seperti yang dilakukan Descartes, tetapi kepastian si “aku”-nya lah yang menjadikan ada, yaitu dengan klik. Lewat klik, misal, yang bentuknya mem-post, membalas pesan, mendapat dan memberi like, follow, dan share di media sosial yang berguna untuk menunjukkan si aku itu eksis. 

Akhirnya hanya dengan klik saja, kita menjadi ada. “‘Aku klik, maka aku ada’, premo ergo sum,” kata Hardiman. Dengan kepastian dalam layar itu jugalah kita bertransformasi dari  homo sapiens menjadi homo digitalis yang berarti manusia jari. “Bersamaan dengan itu pula, kepastian-layar menggeser kepastian-realitas,” imbuhnya.

Selanjutnya adalah pengaburan kebenaran. Hardiman menjelaskan informasi pra-digital yang dikomunikasikan lewat media seperti radio, televisi atau koran, diproses dulu oleh kita yang sedang menonton di dunia nyata sebelum dipahami menjadi kebenaran. Dengan kata lain, penyaringan.

Sebaliknya, di era digital, batas antara yang nyata dan maya sulit dipisahkan. Dalam satu waktu kita bisa mendapat apa saja, mulai dari pendidikan, kesehatan, politik sampai hiburan sekali pun—yang saat pra-digital memiliki waktunya sendiri: pendidikan jam berapa, hiburan jam berapa, olahraga jam berapa, dan seterusnya.

Nahasnya, ada algoritma yang bekerja di sana. Kita tidak lagi dapat memfilter apa yang dibutuhkan. Boro-boro yang dibutuhkan, apa yang kita inginkan saja diatur secara mekanis oleh algoritma itu sendiri. Kita dimanjakan. Satu waktu bukan lagi tempo lambat semacam 24 jam, tapi juga bahkan dalam satu menit. 

Di Instagram, misalnya, meskipun kita memiliki kehendak untuk mem-follow yang diinginkan, serta mengenyahkan yang tidak disukai: entah itu lewat fitur pembatasan ataupun blokir, kita bisa mendapat konten pendidikan, hiburan, dan blabla lainnya sekaligus dalam satu kali scroll di beranda. Dan itu tidak bisa dihindari atau dibatasi.

Dengan algoritma sebagai imam ini, kita telah terbawa pada kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism), dalam istilah Shoshana Zuboff, di mana platform digital telah melakukan komodifikasi data pengguna demi keuntungan sebanyak-banyaknya. Zuboff juga menyebutkan kapitalisme pengawasan juga selain bertujuan buat memprediksi serta merubah perilaku pengguna, juga si pengguna dianggap sebagai objek pemerasan. Lewat objek yang dengannya data diperoleh juga meraup untung dari pengiklan. (Tansah, 2021)

Pada akhirnya gawai bukan lagi alat. Jika ia alat tentunya ia bisa dikendalikan dan tidak mengakibatkan kecanduan. Mereka (gawai beserta aplikasi yang menyertainya) telah menjadikan kita tidak lagi peka kepada sekitar. Kasus-kasus mungkin mudah ditemukan, satu di antaranya adalah seseorang yang bahkan sangat fokus dengan gawai hingga tidak sadar sudah berjam-jam ia bergumul dengan ponsel pintarnya (Hardiman, 2021).

Platform digital, atau mending sebut aja gawai biar cepet, di taraf tertentu bukan saja dimensi spiritual dan eksistensial, seperti kasus ‘aku klik maka aku ada’ di atas, yang dapat diubah. Akan tetapi kesadaran baik dan buruk jugalah yang menjadi taruhannya. Moralitas. Absennya kesadaran ini, disinggung Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem (1963) wa khususan pada A Report on the Banality of Evil. 

Dalam reportase yang membuat kontroversi tersebut, Arendt mengajukan diri kepada The New Yorker untuk membuat reportase tentang Adolf Eichmann, penjahat Nazi yang dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan enam juta Yahudi selama Perang Dunia II. Kontroversi terjadi dari Arendt sendiri, yaitu penilaiannya terhadap Eichmann dengan mengatakan bahwa Eichmann sendiri layaknya birokrat pada umumnya, yang hanya dapat manut saja ketika diperintah sang atasan. 

Singkatnya dia cuman seorang pekerja. Dan seperti yang lain, Eichmann mengejar karir dalam pemerintahan Nazi. Tugas kesehariannya adalah mengirim jutaan Yahudi ke kematian. Administratif. Arendt melihat tindakan Eichmann ini bukan sebab ia tidak tahu—ia tahu tapi pengetahuannya keliru, atau terjadi sebab paksaan—melainkan akibat dari ketidakberpikiran, yang lalu ia sebut sebagai “banality of evil”. (Jena, 2009)

Kasus ketidakberpikiran Eichmann dapat terjadi karena proses yang mekanistik dan repetitif. Sesuatu yang dirutinkan dianggap sudah tidak lagi perlu melakukan keputusan kesadaran, dan sebaliknya, segala hal yang tidak diputuskan oleh kesadaran dapat dirutinkan.

Ketidakberpikiran atau banalitas sedikit banyak juga terjadi di media sosial. Sebab ada otomatisme di sana. Kegiatan sehari-hari, berjam-jam yang hanya berlandaskan “klik-klik-klik”, selalu hadir yang kita sendiri tidak ngeh melakukannya. Bermain media sosial adalah melakukan aksi tanpa kesadaran, jika pun dengan kesadaran itu hanya kesadaran palsu, yang selanjutnya menciptakan ketidakberpikiran. 

Bahkan kalaupun seseorang membuat konten, buat menjadi viral, acap kali moralitas yang menjadi domba kurbannya. Mulai dari menjual kelucuan, ruang privasi anak menjadi pundi-pundi adsense, konten yang mempertontonkan kesedihan, tindakan asusila, hingga memandikan ibu dengan lumpur bak babi, dapat dilihat secara kasat mata di peranti komunikasi kita.

Sederhananya banalitas sudah menjadi tumor dalam masyarakat digital sekarang, dan keranjingan maya adalah mulanya. 

Di bagian akhir puisinya, Malna mendesah lesu dengan nada cukup pesimistis, yang entah mengapa berdaya magis:

o dada yang bekerja di dalam waktu.

dunia berlari. dunia berlari
seribu manusia dipacu tak habis mengejar.

1984

*Sehari-hari menganggur atau tidur
Editor Mas Ahmad Zamzama N. | Ilustrasi Pablo Picasso, “Chat Saisissant un Oiseau” (1939)

Referensi

Hardiman, F. B. (2021). Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. PT Kanisius.

Jena, Y. (2009). Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem. Respons: Jurnal Etika Sosial, 14(02).

Rahmatullah, T. (2021). TEKNOLOGI PERSUASIF: AKTOR PENTING MEDIA SOSIAL DALAM MENGUBAH SIKAP DAN PERILAKU PENGGUNA. Jurnal Soshum Insentif, 4(1), Article 1. https://doi.org/10.36787/jsi.v4i1.509

Siswadi, G. A. (2022). HIPERREALITAS DI MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF SIMULAKRA JEAN BAUDRILLARD. Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama Dan Kebudayaan, 22(1), Article 1. https://doi.org/10.32795/ds.v22i1.2749