Oleh: Ahmad Ronal Anggoro*
Sekitar sebulan lalu saya mengkonsultasikan judul tugas akhir kepada dosen pembimbing. Judul ini sebenarnya saya cetuskan setelah berkonsultasi dengan dosen yang lain. Karenanya saya yakin judul hasil konsultasi ini akan mendapat hasil dan respon yang baik dari dosen pembimbing. Sayangnya apa yang saya harapkan ternyata tidak benar terjadi.
Judul saya mendapat banyak kritik dan dibantai habis-habisan. Mendengar itu tentu saya terpantik melakukan pembelaan. Dinamika kritik dosen terhadap judul mahasiswa sebenarnya hal yang lumrah. Namun dinamika yang terjadi kali ini bukanlah hal yang dapat diwajarkan.
Benar, saya diberikan waktu untuk menjelaskan apa yang saya maksud dengan judul tersebut. Tapi sebelum dijelaskan secara sempurna, kritiknya menghujam ke diri saya. Saya wajarkan. Yang tidak wajar adalah bahwa saya tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan secara kompleks bantahan-bantahannya. Ketika saya mencoba angkat bicara, si dosen langsung menghentikan saya dengan cecaran-cecaran kritik tanpa menyediakan pendengaran yang baik. Saya menjadi salah sebelum beliau tahu apa yang saya maksud. Pada akhirnya, saya lebih banyak diam dan mengiyakan. Tiada dialektika yang sehat. Tiada dialog yang nyaman. Yang ada hanya proses menunduk dan patuh terhadap apa yang diutarakan dosen.
Penghakiman dan dominasi tanpa mengindahkan dialog tak hanya terjadi antara dosen mahasiswa. Ia bahkan ada pada setiap relasi antar manusia. Maling, misalnya, selalu digeret, disalahkan, bahkan dibakar oleh massa. Bawahan selalu disalahkan dan dicerca oleh atasan atas kesalahan yang ia buat. Murid selalu disalahkan sepihak oleh guru karena nilainya jelek, sering kabur, dan melanggar aturan sekolah.
Saya tidak mewajarkan perilaku maling, kesalahan bawahan, atau pelanggaran seorang murid. Namun tanggapan yang berlebihan demikian juga tidak dapat dibenarkan. Penghakiman sepihak sering kali muncul dari perasaan benar sendiri dari pihak tertentu tanpa mengindahkan alasan pihak yang lain. Siapa yang tahu si maling mencuri karena anaknya memerlukan susu dan Ibunya harus segera operasi? Siapa tahu bawahan melakukan kesalahan karena kurangnya kucuran fasilitas? Siapa yang tahu bahwa murid kabur karena memang sistem pendidikan sama sekali tidak sesuai terhadapnya?
Begitulah realita manusia yang terjadi hari ini: menyalahkan, mendominasi, dan menghakimi tanpa mendengar bagaimana pihak lain berujar. Manusia terlampau sering mendaku kebenaran dan memaksakan kebenarannya terhadap orang lain. Ia selalu melihat dengan kata salah dan benar tanpa melihat dinamika apa yang terjadi pada lawan bicaranya. Ia sangat bengis untuk menundukkan, menguasai, dan memaksakan pikirannya untuk dilaksanakan orang lain.
Diakui atau tidak, hal ini terjadi dalam rentetan sejarah. Apakah memang selayaknya kehidupan manusia bergelimang dalam relasi dominatif? Ia yang dominan berkuasa? Ia yang kuat akan menindas yang lemah?
Kehidupan dan Kematian
Gagasan Erich Fromm barangkali dapat mengurai bagaimana itu terjadi. Manusia, menurut Fromm, adalah makhluk yang unik. Keunikan manusia terletak pada adanya ia di alam, tunduk pada alam, atau mengatasi alam. Hanya manusia yang menyadari keberadaan dirinya dan pengalamannya. Kesadaran akan diri tak dapat dialami makhluk lain. Manusia menyadari ia dalam posisi apa dan sedang apa. Berbeda dengan hewan yang hanya menggunakan insting dalam melakukan sesuatu, tanpa kesadaran. Dengan perbedaan ini, kehidupan manusia seharusnya juga berbeda dengan kehidupan makhluk lain.
Kehidupan ditandai dengan berkembangnya sikap yang terstruktur dan fungsionalis. Kehidupan manusia, dengan keistimewaan kesadarannya, tentu harus dibersamai dengan berkembangnya kesadaran dan sikap secara terstruktur dan fungsional. Maka manusia tak cukup hidup dengan makan, minum, dan pertumbuhan fisik. Manusia dapat dikatakan hidup secara sempurna ketika ia tak hanya mengikuti insting hewani namun juga mengembangkan kesadaran dan akalnya untuk menunjang suatu sikap yang lebih terstruktur.
Berbanding terbalik dengan tanda kehidupan, siklus kematian ditandai dengan berhentinya pertumbuhan, lalu penguraian dan pembusukan. Dengan keistimewaan di atas, manusia yang mencapai umur bukan hanya manusia yang nadinya tak berdenyut dan nafasnya tak berhembus, namun juga manusia yang kesadarannya terhenti, menerima apa yang diberi orang lain tanpa pertimbangan matang. Kondisi ini biasanya ditandai dengan kepatuhannya terhadap suatu hal tanpa mempertimbangkan dengan kesadaran. Kesadaran yang terhenti membuat semua yang diberi akan dilahap mentah-mentah. Di tahap ini manusia tak lagi disebut hidup. Ia tak ubahnya benda mati dan robot yang jika digerakkan akan mengikuti dan jika diinstruksikan akan selalu patuh tanpa pertimbangan kesadarannya.
Cinta Kehidupan dan Cinta Kematian
Di dalam diri manusia terdapat dua hasrat yang sedang bersemayam: hasrat kematian (Nekrofilia) dan hasrat kehidupan (Biofilia). Definisi kehidupan dan kematian di sini senada dengan definisi di atas. Orang yang didominasi hasrat kehidupan akan mencintai kehidupan dan kebertumbuhan. Orang ini, oleh Fromm, disebut Biofil. Sedangkan orang yang didominasi hasrat kematian akan mencintai kematian, kemandekan dan kepatuhan–disebut nekrofil.
Nekrofil menyukai berhentinya kesadaran, baik bagi dirinya atau bagi orang lain. Seorang nekrofil sangat suka dan haus kekuatan. Kekuatan, mengutip Simon Well, adalah kapasitas untuk mengubah manusia menjadi mayat. Kekuatan berakar dari kuasa untuk membunuh. Barangkali ia tidak membunuh fisiknya, namun ia menundukkannya, merampas kebebasannya, atau mempermalukannya. Kuasa atau potensi pembunuhan yang menjelma kekuatan seperti inilah yang sangat mereka sukai. Bagi seorang nekrofil, jenis kelamin manusia hanya dua: penguasa dan orang yang dikuasi. Relasinya idamannya adalah relasi kuasa atas-bawah.
Seorang nekrofil dengan cintanya terhadap kekuatan dan kuasa terus mencoba mengubah yang organik menjadi anorganik dan mengubah kehidupan menjadi mekanis. Kehidupan manusia dengan kesadaran yang tumbuh oleh lingkungan yang berbeda harusnya melahirkan pola pikir dan sifat yang berbeda pula, yang selanjutnya juga meniscayakan perbedaan sikap. Hal ini adalah yang dibenci oleh nekrofil. Kebenaran yang harus dianut manusia baginya adalah kebenaran yang ia anut. Ia menggunakan kuasanya untuk menciptakan keseragaman yang membunuh pertumbuhan kesadaran dan perbedaan sikap. Ia membuat pertumbuhan kesadaran yang organik menjadi sikap mekanik; patuh terhadapnya.
Hal ini dapat dilihat dari keresahan saya di atas. Dominasi yang dilakukan oleh dosen, bos, ataupun lainnya, pada hakikatnya berasal pada kebenaran mereka sendiri. Mereka menganggap hal itu sebagai kebenaran dan tidak mau menerima argumentasi pihak lain. Padahal argumentasi tersebut berasal dari kesadaran. Penghakiman yang mereka luncurkan akhirnya membuat orang lain patuh dan berpikir bahwa mereka sepenuhnya salah dan yang menghakimi adalah benar. Dari sini dapat dilihat bahwa relasi yang dibangun oleh nekrofil adalah relasi kuasa atas bawah. Padahal dunia tidak sesederhana warna hitam-putih; benar-salah. Dunia dibangun atas dasar kompleksitas di dalamnya. Tapi itulah hakikat dunia si nekrofil yang mencoba membutakan hati terhadap realitas.
Contoh yang lain di kalangan mahasiswa adalah ketika ada dosen yang menolak mahasiswa bersifat kritis dan menganggapnya sebagai aktivitas tidak sopan. Dengan relasi kuasanya dosen kemudian menganggap argumennya mutlak dan barang siapa menentang harus dibungkam. Hanya kebenaran dosenlah satu-satunya kebenaran yang harus dikunyah dan diimplementasikan dalam hidup. Kebanyakan mahasiswa akhirnya menyerahkan kesadarannya demi nilai dan keamanan proses pendidikannya. Padahal aktivitas kritis merupakan proses bertumbuhnya daya akal dan kesadaran mahasiswa.
Ciri khas lain dari seorang nekrofil adalah keberdiamannya pada masa lalu. Perasaannya sentimental dan merawat perasaan tentang hari kemarin. Sebutlah satu nekrofil A sedang direnggut kekuasaannya oleh nekrofil B yang mempermalukannya di depan umum, sehingga massa lebih menghormati si B ketimbang si A. Si A akan terus merawat perasaan saat ia dipermalukan dan akan mencoba membalas si B. Perasaan itu terus dipupuk untuk merebut kekuatan B, dan merenggut kembali massa yang dulu pernah takluk padanya.
Jika kita jeli, maka kita melihat satu pola baru dari barbarisme. Kaum barbar yang saling membunuh jiwa mungkin sudah mencapai titik nadir di dunia ini. Namun barbarisme hari ini menjelma perebutan kekuasaan dan merebut massa seperti hal di atas. Manusia tidak pernah hidup damai di masa ini. Ia terus mencoba saling mendominasi satu sama lain. Iya, kaum barbar hari ini telah lahir kembali dengan wujud dan cara yang lebih baru! Tiada kesetaraan, tiada persamaan hak. Siapa yang memiliki kuasa lebih mewujudkan kematian (penundukan dan kemandekan kesadaran) orang lain yang kuasanya lebih sedikit.
Nekrofil tidak selalu menjelma orang yang ingin menguasai seseorang, baik dari alam pikir atau tindakan. Seorang pecinta kematian kadang berupa orang yang dengan sengaja memberikan kematiannya sendiri. Jika orang menyukai berhentinya kesadaran dirinya, ia lebih suka untuk menjadi orang manut tanpa ingin diruwetkan dengan urusan yang ia anggap belibet atau ribet. Jika pengampu kebijakan mengeluarkan suatu kebijakan ia lebih memilih untuk berbaik sangka bahwa kebijakan itu dikeluarkan atas dasar kebaikan. Omongan senior organisasi ia anggap paling baik ketimbang argumentasi temannya. Ia bermodal pada patokan sosok, bukan melihat dengan kesadarannya bagaimana basis argumen senior dibangun. Padahal belum tentu pendapat senior lebih relevan ketimbang pendapat teman sejawatnya. Ia menolak sadar karena menganggapnya sebagai hal yang belibet dan cuma-cuma.
Kebalikan dari sifat-sifat di atas adalah sifat-sifat pecinta kehidupan (biofil). Seorang biofil lebih berorientasi untuk mempertahankan kehidupan. Biofil berada dalam orientasi produktif, memilih membangun daripada menguasai, pendekatan hidup yang fungsionalis ketimbang mekanis, mencari hal baru dan tidak nyaman alih-alih kemapanan. Ia selalu melihat proses, bukan hanya hasil akhir. Maka ketika dihadapkan dengan mahasiswa, dosen yang biofil akan selalu melihat bagaimana proses kesadaran mahasiswa dibangun; bagaimana ia menata argumennya. Lalu mengelaborasi kesadarannya dengan kesadaran mahasiswa dalam bentuk dialog yang nyaman tanpa usaha mendominasi. Biofil tidak mempengaruhi seseorang dengan kekuatan, mencerai-berai, dan sikap birokratis. Ia mempengaruhi sekitarnya dengan cinta, nalar, dan teladan.
Hasrat kematian dan hasrat kehidupan bukanlah dua hal yang inheren. Di antara keduanya, menurut Fromm, hasrat kehidupan adalah hasrat primer manusia. Jika hasrat kehidupan tidak mewujud, maka hasrat sekunder berupa hasrat kematian yang muncul. Hasrat kematian dapat muncul karena dua hal: kesalahan seseorang dalam mengartikan kehidupan atau keputusasaannya akan kehidupan. Kehidupan pada hakikatnya berkutat pada pertumbuhan. Jika manusia tidak dapat mengartikan demikian maka hasrat kematian dengan menguasai akan tumbuh di dalamnya. Manusia mesti memahami bahwa kehidupan itu perihal meniscayakan perbedaan. Untuk mewujudkan suatu kerukunan, manusia harus mengakomodir perbedaan itu dalam ruang dialog. Sayangnya, ia putus asa untuk mengakomodir perbedaan yang ada. Alih-alih membangun dialog yang baik, ia memilih kekuatan dan kekuasaan untuk menundukkan manusia lain demi membangun kerukunan. Keputusasaan ini yang membuat ia menjadi seorang nekrofil.
*Hamba Allah
Editor Mas Ahmad Zamzama N. | Ilustrator Nabil Ghazy H.