Beberapa minggu lalu, teman sekampung saya baru datang setelah sebulan lebih menikmati liburan semester. Perjalanan selama empat jam tak terlalu ia rasakan, wajahnya tetap riang. Saat itu saya tanya alasan cepat-cepat kembali ke Jogja, katanya buat ngurusin beasiswa. Saya pun menanyakan segala hal yang telah dipersiapkan teman saya untuk memenuhi persyaratan beasiswa, seperti KK (Kartu Keluarga). Saya pun melihat apa yang dibawanya, dan ia ternyata tidak tahu kalau beasiswa akademik hanya untuk angkatan 2008 ke atas.
Tak lama teman saya dengan lemas berkomentar, “Kalau ambil beasiswa akademik harus pake surat miskin po?” bertanya pada dirinya sendiri. Ia hanya menggelengkan kepala, karena usahanya cepat balik ke Jogja sia-sia.
“Kenapa UIN harus ribet kayak gitu sih, temenku anak 2009 aja kemarin juga udah bisa ambil yang akademik,” tambahnya dengan nada kesal
Hanya dua hari di Jogja teman saya ini dengan terpaksa, ia harus pulang lagi ke rumah untuk mengurusi surat keterangan tidak mampu dari kelurahan. Seperti mahasiswa-mahasiswa lain, teman saya ini memang sudah merencanakan untuk mengambil beasiswa setelah dua semester di bangku kuliah. Tak muluk-muluk mungkin karena usahanya untuk mencapai IPK diatas 3,00 dapat dilihat dari semangatnya berkuliah.
Bagaimana jika ini terjadi pada mahasiswa semester 2 yang berasal dari luar pulau yang ingin mengajukan beasiswa? Lebihlebih belum punya KTP DIY, tentu sangat kecewa. Kebingungan yang sama juga dialami teman satu kelas saya, saat mengambil blangko beasiswa di bagian TU fakultas, ia dan teman-teman yang lain tidak diberikan penjelasan tentang syarat-syarat pengajuan beasiswa.
Meskipun saat itu selebaran pengumuman telah dipasang di majalah dinding fakultas, tetapi ternyata pengumumannya tidak cukup jelas. Teman saya nyeletuk, “Dipersyaratan beasiswa akademik kan ditulisnya minimal semerter 3 atau 4, emang kita ini belum semester 3 ya?” dengan kecewa.
Pemahaman mahasiswa yang salah tentang persyaratan beberapa beasiswa seharusnya dapat dihindari jika pihak fakultas dengan tegas memberi himbauan (setidaknya mbok ya ditanya udah semester berapa dan mau ambil beasiswa apa), sehingga mahasiswa tidak kebingungan. Jika teman saya satu kampung tadi memilih untuk pulang lagi ke rumah, teman saya satu kelas ini memutuskan menunda hingga tahun depan untuk menyerahkan blangko yang telah dilengkapinya. Perasaan kesal dan kecewanya mungkin akan bertambah jika harus mondar-mandir Jogja-Jawa Timur.
Begitulah beberapa kasus yang dialami mahasiswa, bagi mahasiswa semester 2 yang memang baru pertama ini mengajukan beasiswa harus kecewa karena ketidaktahuannya serta kurangnya informasi yang diterima. Padahal gembar-gembor banyaknya beasiswa sudah sampai di telinga mereka, bahkan jauh hari sebelum mereka mendaftar di UIN. Semoga persoalan mendapatkan hak beasiswa seperti ini dapat di layani tanpa keribetan lagi.